Sobekan Enam

291 53 24
                                    

Sobekan Enam:Bahkan langit pun menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sobekan Enam:
Bahkan langit pun menangis

[ASA]



Semua buku-buku pelajaran, ku susun tinggi di atas meja belajar. Menargetkan diri menghabiskan sedikitnya dua mata pelajaran dengan berbagai judul bab, serta berpuluh-puluh sub bab dalam satu malam.

Aku membaca seluruhnya secara berurutan. Tidak boleh ada yang terlewat. Rasanya seluruh kalimat dalam buku tersebut harus kuhapal bahkan angka yang menunjukkan halamannya pun.

Suara ketukan pintu membuatku harus rela menyudahi kegiatanku untuk sementara waktu. Istirahat untuk menyantap makan malam bersama.

Sekiranya agenda makan-makan telah selesai, ibu dan ayah akan menuturkan beberapa pertanyaan mengenai bagaimana hari ini dan hal-hal lain yang menyangkut kegiatan yang lampau maupun yang akan datang. Terdengar harmonis bukan?

Seperti saat ini ayah membuka topik mengenai ujian yang tanggalnya akan segera tiba.

"Ujian sebentar lagi, ayah ingin kalian melakukannya dengan sungguh-sungguh."

Ibu tersenyum sambil menatap si sulung, "Ibu yakin kakak bisa melakukan yang terbaik untuk ibu dan ayah." Sudut netraku kini memotret ayah yang mengangguk setuju atas penuturan ibu. Tampak raut bangga keduanya tercurahkan pada si sulung.

Dan kini aku hanya terdiam membisu, bagaikan boneka tak punya daya yang sengaja diletakkan di sini hanya untuk sekadar menyaksikan semuanya sambil menaruh asa bahwa akan ada keajaiban yang tercipta di sini. Aku ingin sekali sebuah kata semangat terlontar dari mulut keduanya jikalau sanjungan tak dapat ku peroleh.

Aku meletakkan sendok di samping piring makanku yang kini telah tandas yang hanya meninggalkan becak noda di sana. Setelahnya, aku langsung berajak dari kursi peraduanku tersebut. Yang mana terasa amat dingin sepanjang diri mendudukinya. Tidak sopan saat orangtua sedang berbicara aku malah berajak pergi. Tetapi, tenang mereka tidak begitu menaruh peduli. Karena saat ini mereka hanya membiarkan ku saja, tanpa bertanya. Entah apa mereka memang tidak menyadarinya atau mereka benar-benar tidak peduli.

Malam ini begitu dingin. Rintihan hujan kini menjadi teman. Dalam malam yang membentangkan kelam sendunya. Tubuh kini merikuk kedinginan, menjerit dalam sukma.

Ingin berkesah lalu mengeluh. Namun pada siapa? Langit tempatku menaruh harap pun kini tengah menangis.













 Namun pada siapa? Langit tempatku menaruh harap pun kini tengah menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa

[ASA]


[7%]

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang