Sobekan Lima:
Tekatku bulat, namun apa aku kuat?[ASA]
Tekatku kini bulat. Aku ingin dilihat. Tak hanya menetap. Dalam cangkang yang gelap.
Lelah rasanya mengemis belas kasih dengan mengandalkan status aku ini anak mereka bahkan dengan menggaris bawahi kalimat anak kandung mereka.
Aku mulai mengerti tentang slogan yang sering kudengar dulu, perihal di dunia ini tidak ada yang gratis. Bahkan kasih sayang. Kamu harus membuat aksi terlebih dahulu baru kamu bisa mendapatkan reaksi. Tidak ada kata menunggu keajaiban. Semua butuh imbalan.
Aku mengerti kenapa si sulung bisa mendapatkan kasih sayang. Iya, karena ia melakukan sebuah aksi dan kedua orangtuaku memberikannya sebuah reaksi. Orangtuaku sangat memuji nilai, memuja prestasi. Si sulung punya semua itu. Tak elak ia mendapat sebuah reaksi.
Pujian menjadi gaya hidup. Kian hari menjadikan pencandunya semakin hari semakin haus. Membuatku muak. Aku ingin sekali mereka tahu bahwasanya pujian tak ada apa-apanya. Hanya sebuah kesenangan sesaat.
Pujian manusia kepada manusia itu tak khayalnya sebagai ungkapan meninggikan tak tahu hal sebenarnya. Hanya ungkapan yang terlalu berlebihan kadarnya bahkan ada pula yang sekadar ungkapan bualan tanpa makna apa-apa malah seperti majas ironi yang memiliki arti berkebalikan.
Namun, pada saat ini pun aku tak dapat melontarkan pada mereka tentang hal tersebut. Hal itu hanya mengisi kepalaku. Terlebih pada nyatanya bila aku mendapatkan pujian aku pun akan merasa tersanjung dan terbang menjulang tinggi hingga lupa cara menapak.
Acara kumpul bersama dengan keluarga besar merupakan hal yang paling kuhindari di dunia ini. Menurutku acara tersebut hanya menaruh embel-embel dua kata yang sangat mulia, berkumpul dan keluarga. Namun pada nyatanya itu hanya sebuah agenda yang bermaksud untuk saling memamerkan masing-masing anggota keluarganya. Di sana pun punya hukum semacam hukum rimba kalau boleh aku bilang; yang mana, yang sanjung akan semakin tersanjung dan yang cela semakin tercela. Belum lagi orang-orang bak serigala berbulu domba. Aku sempat bertanya; apa sungguh ini dapat dikatakan sebuah keluarga?
Belum lagi bila ibu berkumpul bersama teman-teman arisannya. Saling menyanjung diri dan merendah untuk meroket. Padahal yang mendengar belum tentu menaruh peduli.
Namun, yang begis dari itu semua adalah baik ayah maupun ibu tak pernah menyinggung namaku untuk bersanding dengan ucapan yang mengatakan mereka bangga memilikiku barang sepersen pun. Bahkan untuk dijadikan topik pun jarang, toh untungan-untungan saja namaku dapat disebut bahkan kalau iya, itu akan bersanding pada kata perbandingan.
Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]