Sobekan Delapan

301 52 33
                                    

Sobekan Delapan:Tawaku tak pernah bersuara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sobekan Delapan:
Tawaku tak pernah bersuara

[ASA]





Aku memasuki rumah dengan kaki yang begitu kaku dalam merajut langkah. Sungkan rasanya. Padahal sudah lama aku beradu temu dengannya.

Kalau aku mencari makna rumah dalam kamus besar bahasa, aku akan mendapati maknanya sebagai bangunan untuk tempat tinggal atau kalau pada pencarian lain aku mendapati maknanya sebagai tempat berlindung kala dinginnya hujan dan teriknya matahari.

Tetapi, palung hati berkata rumah memiliki arti yang lebih dari sekadar itu. Namun sayang, hingga saat ini aku belum menemukan makna yang seirama dengan palung hati untuk merujuk artinya.

Untuk sekarang kalau dikata rumah sebagai bagunan untuk tempat tinggal sekadar untuk merujuk pada kata istirahat dan tidur aku akan membenarkannya, namun bila merujuk pada makna tinggal yang sesungguhnya aku tidak setuju karena pada nyatanya aku merasa sekadar singgah tak benar-benar untuk tinggal.

Lalu, bila dirujuk pada kata untuk berlindung dari dinginnya hujan dan teriknya matahari, jujur aku tidak penah merasa seperti itu, karena yang ada, dinginnya rumah ini teramat dingin dari pada hujan yang turun di luar sana dan teriknya pun kalah saing dengan terik milik matahari.

"Kakak sama adek pulang," ucap si sulung dengan lantang ketika langkahnya telah merajut masuk ke dalam rumah.

Seper sekian detik suara lembut lagi hangat langsung menyambut. Aku sempat berkhayal, bagaimana bila diri ini yang berteriak seperti itu, apa diri akan disambut seperti itu juga. Karena yang terjadi setiap aku memasuki rumah ini, selalu saja suasana ranah lagi hampa yang menyambut. Membuat pita suaraku seakan terjepit ketika ingin berteriak.

Aku berjalan mendahului si sulung menuju kamarku. Bila boleh ku kata. Dari seluruh bilik rumah ini hanya kamarkulah yang menerimaku dengan suka cita, selebihnya terasa amat eksentrik.

"Bagaimana kakak, pasti peringkat satu lagi ya?" Aku yang mendengar samar-samar pertanyaan yang ibu tuturkan pada si sulung hanya dapat menghembuskan napas berat.

"Ibu tahu, adek juga peringkat satu," ucap si sulung membuat tapakkan langkahku pada anak tangga terhenti.

"Oh, ya? Peringkat satu di kelasnya?" tanya ibu.

"Tidak, Peringkat satu seangkatannya." Setelahnya aku langsung mempercepat langkahku menuju kamar.

Aku langsung melempar tasku kesembarang arah, lalu menenggelamkan wajahku ke atas kasur. Rasanya tak karuan. Entah bahagia atau malah rasa getir yang kurasa.

Tiba-tiba ketukan pintu menyapa telingaku, membuatku langsung merubah posisi tubuh. Pintu langsung terbuka dan menyuguhkan wanita yang kukenal sebagai ibuku berdiri diambangnya.

Siapa bilang aku tidak gemap? Pasalnya ibu jarang sekali menapakkan kakinya ke bilik ini.

"Ibu masuk ya?" Aku mengangguk kaku. Ibu langsung mendudukkan dirinya di kursi belajarku.

"Dimana raport mu?" Dengan cepat aku langsung mengambilnya dari tasku dan memberikannya.

Jantungku kini berdebar tak karuan. Tangan pun kini kebanjiran keringat. Netra tak kehabisan objek melihat ibu yang begitu teliti mendikte seluruh deret angka yang ada pada lembaran tersebut.

"Bagus."

Telalu berlebihan bila aku berkata rasanya kini aku seperti terbang ke langit tertinggi, dibawa menari oleh bintang-bintang cemerlang dengan keadaan suka cita. Namun, itulah yang kurasakan. Rasanya sangat sulit untuk bernapas namun teramat menyenangkan.

"Tingkatkan lagi, nilai kakakmu waktu itu lebih tinggi dari ini."

Hahaha... Hahaha... Hahaha. Bukan kah ini sangat lucu? Iya, aku ini sangat lucu bukan? Selalu berdiam diri dalam tempurung bernama harapan. Hingga lupa perbandingan yang amat nyata adanya.

"Ganti bajumu dan istirahatlah," ucapnya lalu berlalu begitu saja.

Aku tertawa keras untuk diri yang teramat malang ini. Diri yang begitu percaya dengan harapan berbuah angan. Namun, anehnya kenapa bulir-bulir kecil di mataku turun begitu derasnya. Tidak berhenti bagaikan air terjun. Padahal sudah jelas diri ini sedang tertawa.


















Aku rasaSebuah asaTak menaruh kuasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa

[ASA]

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang