Sobekan Sebelas:
Tangkai Berduri Milik si Sulung[ASA]
Asaku kini jadi nyata. Perhatian kini tercurahkan dari keduanya. Terlampau dari dugaan pertama. Tetapi, rasanya tidak akan bertahan.
Aku sudah mendapatkan perhatian dari kedua orangtuaku sama halnya yang didapatkan oleh si sulung. Namun rasanya begitu hambar. Apa sulung juga merasakannya?
Apa artinya bila seperti ini. Apa kehadiran kami hanya ada karena kami berprestasi? Lalu bila itu tiada, apa kami akan lenyap?
Aku sangat bahagia ketika ayah dan ibu menyayangiku tentang bagaimana hari ini selepas kami makan bersama. Tetapi harus kah topiknya selalu tentang prestasi, nilai dan mendali? Bolehkan kita bercerita tentang ku. Aku ingin sekali ditanya bagaimana kamu hari ini? Bukan bagaimana nilaimu hari ini? Aku ingin menjawab aku baik bukannya nilaiku baik.
Aku baru mengetahui satu fakta tentang si sulung yang aku yakini ia menyembunyikannya dari kedua orangtua kami. Lagi-lagi aku bertindak sebagai manusia yang menyedihkan aku hanya terdiam seribu bahasa di belakang pintu ini. Tidak tahu bagaimana menangani si sulung yang kini tengah memuntahkan cairan merah kental.
Tangkai berduri miliknya kini sudah sangat tinggi dan berduri tajam hingga melukai tenggorokannya. Aku sangat menyedihkan karena hanya bisa melihatnya dari sini sambil bergetar hebat. Hingga tatapan kami bertemu. Ia tersenyum amat lebar hingga matanya menyipit. Terlihat sangat cemerlang.
"Tidak apa-apa, kakak baik-baik saja, ayo tidur, besok kamu harus mengukir cerita hebatmu," ucapnya seakan semuanya baik-baik saja. Aku benci ia yang berpura-pura kuat seperti ini.
Aku menggeleng, "Ayah dan ibu harus tahu, kakak harus ke rumah sakit," ucapku menahan isakkanku.
"Itu tidak perlu, kakak baik-baik saja. Tolong rahasiakan ini ya?" ucapnya sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
"Aku bukan anak kecil lagi."
Ia terkekeh lalu mengangguk, "Iya, kamu sudah dewasa sekarang. Tinggimu sudah hampir mengalahkanku. Walaupun begitu, kamu tetap adik kecil yang lucu bagiku."
"Dirga," panggilnya lirih. "tolong patahkan tangkai milikmu itu ya, aku yakin kamu kuat," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tidak menjawab aku hanya diam seribu bahasa. Aku ingin memarahinya. Bagaimana bisa ia menyuruhku mematahkan tangkai ini sementara ia sendiri tidak melakukannya. Namun, mulutku terlalu kelu untuk bersuara.
"Kembalilah ke kamarmu," ucapnya lalu melangkah meninggalkanku yang masih terpaku sambil beradu dengan pikiran yang begitu melunjak.
Si sulung pernah berkata.
Rumus yang paling rumit itu bukan fisika.
Matematika ataupun kimia.
Melainkan rumus semesta.Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]