Sobekan Sepuluh:
Asaku Bersembunyi dibalik Gemilangnya Prestasi
[ASA]
Otaknya terbuat dari apa ya?
Apa dia tidak lelah?
Dia itu terlalu ambis
Ucapan tersebut selalu tercurahkan padaku. Anak ambis. Itu gelar yang kudapatkan setelah berjuang mati-matian mendapatkan berbagai piagam, piala, dan mendali. Bohong bila aku berkata telinga ini tidak gatal dan sukma ini tidak terasa panas. Namun, mau bagaimana lagi, aku hanya dapat menghembuskan napas kasar dan mencoba meluluhkan si kepalan tangan yang kini terkepal begitu eratnya.Aku ingin sekali menghadiahi sebuah pukulan di wajah mereka sebagai apresiasi atas penuturan yang mereka ucapankan dengan gamblangnya. Namun, lagi-lagi aku tidak bisa melakukannya. Bukan, bukan karena aku takut dengan mereka. Aku tahu, mereka itu cukup beruntung dari padaku, jadi mereka begitu karena tidak mengerti apa-apa. Katakan saja aku kasihan pada mereka.
Yang terpenting saat ini, aku melakukan ini semua untuk diriku sendiri. Jadi mau apa yang mereka katakan aku tidak menaruh peduli apa pun. Toh, mereka tidak membantu sedikit pun.
Pernah dengar ungkapan, semanis apapun apel itu kamu buat, kamu tidak akan bisa membuat semuanya menyukai apel tersebut. Iya, seberapa baik kamu melakukan sesuatu, kamu tidak bisa merubah arah pandang seseorang padamu. Begitulah rumitnya rumus semesta. Rumus kimia di atas mejaku saja kini mungkin jadi rendah diri karenanya.
"Dirga, kamu itu enak ya. Apa pun yang kamu ingin 'kan pasti bisa terkabul."
Dari banyaknya untaian kalimat yang terlontar untukku, entah bagaimana kalimat ini yang tidak dapat ku tahan. Aku terkekeh geli. Mendengarnya membuat perasaanku bercampur aduk. Entah perasaan apa yang terasa saat ini.
"Tidak usah membandingkan kehidupanmu dengan kehidupan orang lain, bersyukur saja sudah lebih dari cukup untukmu."
Setelahnya, aku langsung berlalu karena bel pulang sekolah sudah berbunyi dari dua puluh menit yang lalu. Sambil menatap lekat mendali yang baru saja kudapatkan aku menapaki hamparan bumi. Mencari arti dibalik semuanya. Apa benar ini yang kuinginkan? Sebuah piagam, piala dan mendali? Apa ini aku lakukan untuk diriku sendiri? Aku coba menegadahkan pandanganku ke atas langit. Mencari jawaban atas pertanyaanku ini.
Nyatanya aku masih mengharapkan kasih sayang keduanya. Dibalik piagam, piala, dan mendali ini ada sebuah asa yang ku coba senyembunyikan.
Hai langit, apa yang harus aku lakukan?
Hai, semesta, aku tidak ingin terjebak dalam lingkaran setan.
Apakah asa benar-benar tidak berarti apapun?
Oh, kenapa semuanya terlalu membingungkan?
Napasku pun kini hanya terasa hingga tenggorokan.Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]
[bagaimana bila dobel update?]