Sobekan Duabelas

438 50 45
                                    

Sobekan Duabelas:Mari Buat Rangkaian Baru dari Sobekan yang Lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sobekan Duabelas:
Mari Buat Rangkaian Baru dari Sobekan yang Lalu






Semakin hari wajah si sulung semakin memucat pasi. Namun, entah bagaimana ia masih bisa merekahkan senyuman yang amat cemerlang bak bintang sirus di langit malam ini. Ia selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Memang ia siapa? Bisa memastikan semua akan baik-baik saja.

"Dirga tahu tangkai berduri itu tumbuh karena apa?" tanya si sulung yang membuatku memberikan atensiku penuh padanya. Merelakan netra yang sedari tadi merajut temu dengan bintang-bintang di langit malam.

"Semakin Dirga memendam kebencian ia akan semakin meninggi dan berduri," jelas si sulung sambil menahan suara menyalaknya disela-sela pembicaraan, "jadi Dirga harus berjanji untuk mematahkannya."

"Tidak usah berkata seperti itu kalau kakak sendiri tidak bisa mematahkannya," jawabku kesal.

Ia terkekeh, "Kakak tahu kakak tidak sekuat dirimu, jadi kakak minta tolong ya."

Aku menghembuskan napas kasar, "Tidak usah berbicara omong kosong, ayo pulang," tuturku sambil kembali menapakkan kaki pada hamparan bumi yang lurus namun terasa begitu menanjak.

"Katanya menghembuskan napas bisa mengusir keberuntungan, tetapi kenyataannya tidak seperti. Menghembuskan napas secukupnya bisa meningkatkan sirkulasi darah dan menyeimbangkan syaraf otonom serta membantu kita agar tenang," jelasnya sambil menyamakan tapakan kakiku dengannya.


Netraku tak lepas menatap lekat pada beberapa piala, dan mendali yang berjajar rapi di kamarku. Entah, kenapa jantung ini terasa begitu sakit setiap melihatnya, tangkai yang tertanam subur pada jantung ini seakan semakin meninggi dan berduri. Ini semua karenanya. Hidupku seperti ini karenanya.

Aku langsung mengambil seluruh piala, mendali, dan piagam lalu meletakkannya ke dalam kardus. Aku  mengingat sesuatu yang sudah lama ingin aku lakukan. Setelah, memasukkan semuanya dan memastikan tidak ada yang tertinggal aku langsung bergegas menuruni anak tangga.

Ibu dan ayah yang melihatku berlari  keluar dengan tergesa-gesa sambil membawa kardus berisi penuh perhargaan yang tiada nilainya ini langsung terlihat bingung. Walaupun begitu mereka mengikuti langkahku menuju taman belakang.

Dengan cepat tanganku menyalakan pemantik api dan melemparkannya ke arah kardus tersebut. Iya, aku membakar semua penghargaan tersebut.

Suatu saat aku akan menyesal? Tidak, karena inilah yang 'ku inginkan. Aku sudah memikirkannya dari lama. Malah, kemungkinan yang ada, kalau tidak kulakukan aku akan menyesal di kemudian hari.

Ayah dan ibu langsung berlari mendekati kardus yang sudah termakan api. Wajah keduanya tampak begitu kalut. Tanpa pikir panjang tangan keduanya langsung bertegur sapa dengan api tersebut. Tidak menghiraukan rasa panas yang akan mengenai mereka.

"Ayah... ibu," lirihku memanggil keduanya.

"Dirga! Lihat apa yang kamu lakukan, Hah?!" ucap ayah dengan nada suara yang meninggi, dihiasi roman geram pada wajah senjanya.

"Anakmu ada di sini bukan di sana," tuturku sambil menahan luka hati yang kian mengaga lebar tak dapat dihiraukan.

"Dirga! Kamu-"

"Anakmu ada di sini bukan di sana," ulangku lagi.

"Apa maksudmu?"

"Anakmu ada di sini bukan di sana." 

Aku mengulang-ngulang kalimat tersebut terus menerus sampai mereka menghentikan uluran sapa. Dan merelakan semuanya terbakar tanpa sisa. Hilang jadi abu tanpa bekas tanpa jejak.

"Ayah, ibu, bisa kalian jelaskan makna dari kata perbandingan yang melekat pada 'ku dan kakak?"

"Ayah, ibu, kenapa aku dan kakak harus dibandingkan? Bukankah sudah jelas kami berbeda?"

"Ayah, ibu, kenapa aku dan kakak harus dibandingkan? Bukankah lebih baik kami saling merangkul?"

"Dirga! Apa kamu hilang akal?" Lontaran ayah membuat tangkai pada jantung kian meninggi.

Aku menggeleng kuat, "DIRGA KEHILANGAN AYAH DAN IBU." Teriakkanku kini tak dapat kubendung lagi. Air mata yang tak dapat terbendung lagi kini kian lepas landas meninggalkan tempat bernaungnya.

"Ayah ibu, bisa kalian beritahu Dirga makna kata perbandingan itu?" tanyaku dengan suara yang begitu serak.

"Nak, maksud ayah dan ibu seperti itu untuk memberimu semangat."

Aku mengangguk, "Ibu tahu? Semangat ibu membuat Dirga dan kakak sakit." Entah sudah sederas apa air mata ini keluar bahkan langit pun kini mulai mendung, perlahan ikut menurunkan bulir jernih miliknya. Aku mencoba menarik napas panjang sambil menatap langit. Merasakan tetesan rintik yang menyapa wajahku lalu menjadi satu dengan bulir jernih milikku.

"Ibu tahu kakak sekarang sakit? Iya kakak sakit, ibu."

"Ayah, ibu, apa arti kami untuk kalian?"

"Ayah ibu bisakah Dirga mendengar dari mulut kalian pertanyaan  bagaimana kamu hari ini? bukannya bagaimana nilaimu hari ini?" Dadaku kini terasa semakin sesak, rasanya duri pada tangkai tersebut menusuk seluruh bagian tubuhku.

"Ayah, ibu tahu? Dirga sayang kalian.  Boleh Dirga mendapatkan pelukan dari kalian?"

Rasanya tangkai pada jantungku kini tumbang bersamaan datangnya dekapan hangat merangkul tubuh rapuhku. Langit pun kini telah runtuh. Bersamaan dengan itu benteng diri yang tidak lagi bisa berdiri tegak, jeritanku kini tak dapat lagi membisu. Isak tangisku kini menggema dalam diri, menumbuhkan kelopak bunga sebagai pengganti duri yang telah runtuh.

"Ayah, ibu, boleh kita selalu seperti ini?"















Asaku telah jadi nyataDalam kurun waktunyaDengan rajut rumus semestaAtas izin kuasa-Nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asaku telah jadi nyata
Dalam kurun waktunya
Dengan rajut rumus semesta
Atas izin kuasa-Nya

[ s e l e s a i ]








[00.00]
Ingin sekali dipublikasikan pada waktu tersebut. Namun nyatanya saya tidak kuasa. Terlampau banyak menit yang terlewat. Sedikit, alasan saya memilih waktu tersebut karena usainya cerita ini dapat dianalogikan dengan waktu tersebut.
Kita boleh mengira waktu tersebut bertanda usai untuk hari ini. Namun, bukan berarti berakhir. Pada nyatanya ia menunjukkan sebuah awal baru. Jadi, usainya cerita ini mejadi awal baru milik si lakon. Terima kasih.

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang