Sobekan Tujuh:
Parade Nilai[ASA]
Terbilang sudah ada seminggu penuh diri bekecamuk dengan berbagai mata pelajaran yang terasa begitu menuntut. Menuntut minta di mengerti. Tidak memaruh peduli, apa diri menyukainya atau tertekan atasnya. Yang ia mau aku harus paham bagaimana pun caranya.
Aku selalu bertanya arti belajar itu apa? Apa untuk mengejar sebuah nilai? Lalu guna nilai itu apa? Toh, pada waktunya, nilai itu hanya sebuah pajangan yang tak punya arti lebih kecuali sebuah angka.
Namun, aku tahu bila aku selalu berfikir naif seperti itu aku akan tertindas oleh koloni manusia bertera ambis. Dunia itu berkembang, terus maju tidak peduli diri telah siap atau tidak. Kalau diri tidak siap, harus terima konsekuensi menjadi sampah masyarakat.
Hari ini, menjadi hari penentuan setelah berjuang kurang lebih enam bulan lamanya. Dan lucunya penentuan itu ditentukan dengan angka. Di deretkan lalu ditotalkan. Lalu, diabadikan dalam bentuk peringkat. Peringkat dengan debit kecil itu yang terbaik.
Aku ikut menghadirkan diri pada mading sesak yang dihadiri murid-murid yang begitu menaruh rasa penasaran pada peringkat global pada satu angkatan.
Aku tidak dapat menerawang berapa peringkat yang akan bersanding dengan namaku kini. Karena saat ini aku belum berani membuka raport yang masih ku jinjing dengan kuatnya ini.
Rasanya, aku belum kuasa menerima apa yang ada di dalamnya. Saat ini aku hanya menerka-nerka berapa digit yang akan kuperoleh, apa dua atau malah tiga.
"Wah, peringkat pertama semester ini berbeda."
"Siapa?"
"Dirga."Sayup-sayup redup aku mendengar namaku dituturkan oleh seseorang. Namun, aku tidak ingin menaruh harap tinggi takut terdapar jauh. Toh, nama Dirga tak hanya aku yang memilikinya.
"Siapa dia?
"Dirga Rahendra Senjaya anak 11-2, kalau tidak salah adeknya kak Angga."Mendengar nama tersebut dilontarkan, aku langsung menerobos para koloni insan yang berdiri kokoh di depan mading. Diri ingin sekali meyakinkan kalau mereka semua salah membaca. Namun, yang kudapati tak ubah seperti kata mereka, namaku bersanding dengan angka 1 yang merupakan digit angka terkecil di sana.
Sambil kaki mengikis jarak untuk kembali ke kediaman, aku mengedarkan netraku pada langit yang kini kian menjingga. Aku bingung harus melempar rona muka apa untuk diluapkan, pada langit yang kini membentang luasnya seakan tahu aku ingin bercerita.
Jujur aku merasa bahagia, namun bersamaan dengan itu rasa getir terbesit dalam sukma.
Aku sedikit gemap ketika seseorang merangkul pundakku. Saat ku lirik lewat sudut mata, ku dapati ia si sulung. Ia melontarkan senyum yang cemerlang padaku. Entah apa maksudnya.
"Selamat atas peringkat satunya," ucapnya dengan lembut namun tak memudarkan sirat semangatnya.
Aku hanya diam dalam hati tertawa remeh, "Tidak perlu begitu. Toh, kakak juga- ya kakak sih selalu," cicitku yang entah tersampaikan padanya atau tidak.
"Mari kita kabarkan kepada ayah dan bu perihal hal yang luar biasa ini. Kak Angga yakin pasti mereka bangga denganmu, dek," tuturnya.
Oh, langit aku ingin menjerit kuat saat ini. Apa iya, ayah dan ibu akan menaruh rasa bangga pada ku? Menyanjungku? Memulus suraiku dengan lembut? Oh, langit aku tidak ingin berharap tinggi. Aku takut. Bukannya, aku takut diri jatuh karena harapan tinggi yang kubuat sendiri. Hanya saja, aku takut bila aku jatuh aku tidak akan bangkit lagi.
Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]
[kata saya:
semangat selalu
untuk kamu
insan yang kuat]