Run

20 3 0
                                    

Semenjak Tuan Jaksa itu datang dan mengacaukan semuanya, traumanya kembali hadir, membuat Agatha was-was tiap kali melihat orang yang berpakaian formal.

Kemarin, seharian gadis bermata belo tersebut mengurung diri di kamar, mencari cara untuk kabur dari jeratan masalahnya.

Namun, sampai sekarang, Agatha belum menemukan titik terang. Karena sebenarnya, dia sangat-sangat payah dalam hal melarikan diri.

"Mustahil kalau aku kabur ke luar kota dan bermuslihat bahwa aku dapat pekerjaan .."

Agatha merasakan sesuatu di otaknya, sesuatu yang tampaknya sudah lama tak terpakai.

Ide!

"Justru itu, Agatha bodoh. Bilang saja aku diterima menjadi petani jeruk, atau apel di Jeju. Aku harus menyiapkannya!"

Sebuah senyum terutas di wajah perempuan itu, ia mengambil buku usang yang telah menguning, dan sebuah pulpen kuning pastel bercorak pisang. Gatha jadi mengingat sosok yang memberinya pulpen lucu ini.


Akankah semua ini akan berjalan mulus lagi? Ayo lakukan dan lihat.

Agatha memeluk buku catatan tersebut lalu berbaring di kasur empuknya. "Semoga Tuhan menolongku lagi, amin."

-extn

Seminggu berlalu, nampaknya Agatha sudah siap untuk menjalankan misinya kali ini, Tuan Jaksa itupun tidak terlihat sama sekali.

Sebagai persiapan awal, Agatha mulai menunjukkan kesibukan palsunya di depan sang ibu, tentu saja untuk menggiring presepsi Ibu Gatha yang bernama lengkap Kim Seohyun ini.

Ia sudah melaksanakan sebagian misinya hari ini, yakni memotong rambut dan membeli pakaian serba hitam itu.

Saking sibuknya, Agatha tidak pernah sadar, ia melewatkan dua hal yang sangat penting.

Saat sampai di rumah, pemandangan yang Gatha lihat pertama kali ialah tatapan takjub dari anggota keluarganya.

"Waah, siapa ini? Cantik sekali," ejek Kim Jeena, kakak perempuannya.

"Apa motifmu, Kak?"

Ikut bergabung memakan ubi rebus, Gatha meladeni lelucon saudaranya. "Tidak ada sih, aku hanya gerah."

Gangmin mendelik, "benarkah? Bukannya kau potong rambut untuk menggoda Tuan Tampan itu?"

Hampir saja ia tersedak karena ucapan aneh sang adik, "Tuan Tampan? Apa maksudmu!?"

Kemudian yang lain ikut kepo, "apakah dia yang selalu berdiri di depan jendelamu saat malam dan mengikutimu diam-diam belakangan ini?" yang paling muda mengangguk.

"Yang kalian maksud itu siapa, sih?" tanyanya agak gondok.

"Kau tidak mengenalnya!?" jerit Jeena panik, sama halnya dengan si bungsu Gangmin. "D-dia selalu menguntitmu, cepat lapor polisi!"

Agatha mendesah pelan, "ssh, aku akan memastikannya besok. Kalau orang itu menguntitku lagi, tolong laporkan ke polisi."

Dahi Jeena mengerenyit, "kenapa tidak kau saja?"

"Karena aku buro—"

"Maksudku, tentu saja karena aku sibuk!"

Lagi, Agahta mengela napasnya penat, "selamat malam. Aku mau tidur," pamitnya diiringi anggukan.

"Kak!"

Sontak ia menoleh. "Sini deh." Ujar Gangmin setengah berbisik. Disertai kemalasan, Agatha menghampiri adiknya yang kini memandangi sesuatu di balik jendela. "Ada apa?"

"Itu," telunjuk Gangmin mengarah pada sesosok yang menjulang tinggi tepat di depan gerbang rumahnya. Setelah ia melihat lebih jelas lagi, seketika pupil matanya membesar.

"Bukankah itu ibu?"

Gangmin mengangguk. Agatha segera beranjak menghampiri dua insan yang tampaknya tengah mengobrol serius. Ia menuruni setiap anak tangga dengan perasaan sedikit gusar.

"Ah, ini dia anaknya," ucap Seohyun lega. Kini, semakin banyak saja pertanyaan yang muncul dalam benaknya. "Hai!"

-extn

"Apa-apaan semua ini?" refleks Seohyun menyikut lengan anaknya itu. "Maaf mengganggu. Aku hanya ingin menyerahkan ini, tolong izinkan aku mengusutnya lagi, kumohon..."

Agatha membiarkan setumpuk kertas itu mengambang dalam genggaman lelaki yang baru saja memohon padanya. "Tidak, aku tak mau!"

"Aku hanya akan menjadikanmu saksi. Kami pun tidak ada bukti untuk menjadikanmu tersangka, tolong kerjasamanya..."

"Kau pikir aku peduli? Semua omong kosongmu itu tidak bisa membersihkan namaku, mengembalikan semua kepercayaan teman-temanku, jadi, percuma saja."

Seohyun terdiam, dia sama sekali tak memahami kondisi yang rumit ini, sedikitpun tidak.

Sedang Taehyung termenung melihat gadis yang tampak ringkih itu uring-uringan mengusap rambutnya kasar. Apa tindakannya itu sudah berlebihan?

Lantas, Seohyun memilih untuk meninggalkan dua anak muda ini dengan permasalahan mereka yang akan membuat kepalanya pening jika ia terus berada di sana.

Setelahnya, suasana mendadak hening, hanya lantunan angin yang berhembus disertai siulan burung hantu menemani mereka berdua, musim semi akan berakhir beberapa minggu lagi, mungkin itulah alasan mengapa malam ini udaranya tidak sedingin malam-malam sebelumnya.

"Kim Goorae. Mengapa semua orang yang mengetahui kasus ini, selalu berkata bahwa kaulah pelakunya?"

"Mengapa kau tidak berasumsi seperti mereka? Bukankah sangat masuk akal jika akulah yang menyebabkan Daniel terbunuh?"

"Jawab dulu pertanyaanku, maka akan kujawab juga pertanyaanmu," tegas Taehyung, dia tidak menyukai sebuah pertanyaan yang dijawab oleh pertanyaan juga.

"Kalau kau akan menjawabnya karena kalian tidak memiliki bukti, lebih baik aku pergi," dengus Agatha.

"Tidak. Aku akan menjawabnya dengan jujur," balasnya mencoba tuk yakinkan Agatha.

"Baiklah, aku menjawabnya satu kali. Jika kau tidak mengerti, tolong lupakan kasusnya," pinta Agatha kepada lelaki yang kini menatapnya serius. "Kau serius, kan?"

Agatha memicingkan matanya, "apa gunanya aku bercanda denganmu?"

Perempuan berhoodie abu itu mengembuskan napas beratnya. "Saat itu, aku hanya tutup mulut, tapi dia malah menjadikanmu kambing hitam."


-cont

Back In TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang