"Pergi datangi lelaki itu, sebelum semuanya terlambat."
Gadis itu menatap pemuda di depannya sedikit gugup, "benar, tapi ini sudah tengah malam, kau gila?!"
Lelaki Huang tersebut tertawa kecil, "kemarin kau minum berapa kapsul?"
Ia mengadahkan tangannya ke dahu, mengingat-ingat jumlah pil yang berhasil ia habiskan kemarin malam, "sekitar lima? Atau tujuh, aku tidak ingat."
"Ini, pakai ini saja."
Jisoo tersentak, "t-tapi—"
Terlambat. Renjun segera menarik pergelangan tangannya dan menyuntikkan cairan haram tersebut hingga membuatnya melenguh perih, entah sudah berapa kali ia merasakan euforia ini, namun Jisoo tidak pernah merasa puas. "Relax, ini akan jadi malam yang menyenangkan."
Perlahan, rasa pening memabukkannya, Jisoo tertawa seiring pandangannya mengabur. Ia melihat pemuda bersurai biru laut di depannya tengah tersenyum begitu hangat, "Daniel? Astaga, ini mimpi?"
"Bukan, aku nyata. Kau ingin bersamaku 'kan?"
Tanpa pikir panjang, gadis bersurai sepinggang itu mengangguk, mengekori lelaki yang ia sebut-sebut sebagai Danielnya, cowok yang berhasil membuat Jisoo jatuh cinta pada pandangan pertama dan kini ia haus akan sorotan mata seorang Daniel, lelaki maskulin yang sebulan terakhir selalu menghiasi pandangan, meski tatapan manis bukan tertuju untuk dirinya.
Berbalut piyama merah jambu, Jisoo menurut saja ketika imajinasinya mengharuskan ia memanjat tembok belakang sekolah, tak ada rasa takut sedikitpun akan hawa tidak menyenangkan yang ia hadapi, sebab Jisoo percaya pada dirinya, percaya pada semua fatamorgana serta delusi-delusi hampa yang membawanya ke dalam perpustakaan, Jisoo mengerjap, bahu lebar nan rambut birunya menghilang.
"Daniel? Kau di mana?"
Di sisi lain, Pemuda Choi terperanjat ketika mendengar dirinya terpanggil, Daniel segera mengambil senternya dan meninggalkan perpustakaan.
"Daniel?! Jangan tinggalkan aku!"
Entah sejak kapan Jisoo menggenggam pisau di tangannya, ah, ia tak peduli, yang kini ada di pikirannya hanyalah Daniel, Daniel, dan Daniel. Gadis itu meringis menyadari kakinya menginjak kerikil.
Jisoo menumpu tubuhnya pada lutut, menyeringai kecil melihat objek yang ia kejar berada di ujung ruang kelas."Mau lari ke mana lagi, Sayang?"
"Kau mau apa hah?!"
Daniel ingin lari, namun kilat-kilat rembulan di benda tajam itu yang membuatnya segan, dan tentu saja takut. Atmosfir yang tadinya sudah seram kian menegang, entah apa yang ada di pikiran Jisoo, rasanya Daniel ingin menangis sekarang juga, seringai itu, rambut tak beraturan, dan iris kelam Jisoo membuat lelaki sembilan belas tahun tersebut tak habis pikir.
"T-tolong, katakan apa maumu, jangan seperti ini," pipinya memanas, seumur hidupnya, Daniel tidak pernah memohon untuk hal sepele macam ini. Ia gengsi, sangat.
"Kau tahu apa yang membuatku gila seperti ini?"
Daniel menggeleng, menelan salivanya susah payah. "Semua, semuanya membuatku hilang akal! Orangtuaku, teman-temanku, dan sekarang, kau! Kau tak pernah melihatku yang selalu peduli, kagum, dan terpesona atas sikapmu!"
"Kau hanya melihat ke arahnya, cewek aneh dan cuek itu, dan kau takkan pernah tahu apa jadinya aku saat kalian saling menyukai 'kan? Aku benar-benar putus asa."
Daniel tertegun, jadi, gadis ini ialah salah satu dari banyaknya perempuan yang patah hati karena perasaan sepihak mereka? Tapi ini 'kan bukan salahnya, sebab mereka yang jatuh hati, kenapa Daniel yang harus repot akan hal itu?
"J-jisoo? Apa yang kau lakukan?"
Atensi dua insan itu berpindah pada perempuan jaket putih dengan seabrek buku di tangannya, tiba-tiba Jisoo terbahak kencang. "Bahkan malam inipun kalian bersama? Tch, aku terkesan."
Goorae mendekat, melirik pisau Jisoo takut-takut, debaran jantungnya terus menggila saat Jisoo yang berada tak jauh darinya sangat berbeda dengan perempuan anggun yang ia kenal.
"Kalau ada masalah, bisa dibicarakan baik-baik, dengan kepala dingin. Aku tidak mengerti dengan situasi ini, t-tapi tolong letakkan pisaunya, Jisoo?"
Gelak tawa terdengar menyeramkan, benar-benar tak bisa ditebak, Jisoo secara abstrak menangis kemudian memeluk kakinya dengan kedua tangan, menenggelamkan kepalanya dalam-dalam. Sesak, sakit, hanya itu yang bisa dirasakan olehnya.
"Giliranmu, Jisoo. Kau akan bebas setelah ini, kau percaya padaku 'kan?"
"Renjun? Aku tidak bisa, a-aku takut."
Yang tersisa saling melirik, tak paham dengan gadis menyedihkan di depan mereka; mendongak, bermonolog pada angin malam yang dinginnya menusuk sampai ke tulang.
"So? Let me in, then."
Belum sempat ia menolak, kesadarannya sudah menghilang terlebih dahulu, Jisoo kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri, tubuhnya berdiri tegak, dengan kilat mata yang jauh lebih mengerikan, kuning emas serta biru permata akan menjadi warna yang mereka benci seterusnya.
"wah, ternyata sangat mudah."
Daniel terintimidasi, air mukanya kian memucat tatkala genggaman Jisoo pada senjatanya terlihat semakin erat. "Tenang saja Yeon—maksudku, Daniel. Tenanglah."
"Apa maksudmu?!"
Jisoo—lebih tepatnya yang terasuki oleh Renjun menunjukkan seringai seramnya, "sst, jangan banyak omong. Kau tak mau mati gantung diri 'kan? Maka begini saja, tidak akan menyakitkan, kok."
Kejadian yang selanjutnya terjadi membuat Goorae ternganga lebar, saking syoknya, ia tak berhasil mencegah pisau itu menancap tepat di dada Daniel. Tangannya bergetar, tak berani menatap kawannya yang berubah menjadi iblis dalam sekejap.
"Maaf kau harus berakhir dengan miris—oh, dan selamat datang, Choi Yeonjun."
Jisoo ambruk, sedang pisau yang tadi menusuk Daniel belum membuatnya mati, dia sekarat. Goorae melempar buku-buku yang tadi sangat ia khawatirkan dan berlari menuju Daniel. Darah terus merembes dari balik bajunya, Goorae tak lagi kuasa menahan liquid panas itu mengalir dari matanya.
"M-maafkan aku, maaf. Hiks!"
Daniel menggeleng lemah, mengusap air matanya lembut, "jangan menangis. A-aku mencintaimu."
Seperti yang bisa ditebak, monolidnya seketika terpejam kaku, Goorae memeluknya erat, menggenggam jemari Daniel yang mulai terasa dingin, tak ingin kehilangan sosoknya.
"Tuhan, tolong aku kali ini saja! Kumohon, biarkan cinta kami bersemi."
Tak kehilangan akal, ia langsung menelpon ambulans meski layar pipih itu kini berlumuran darah.
Bau obat-obatan, suara roda brankar yang bergerumuh, dan alaram dari alat monitor pasien masih menjadi mimpi buruknya meski tahun-tahun telah berganti, dan empat musim sudah ia jalani berkali-kali tanpa melihat secercahpun cahaya.
Agatha tersentak, terbangun dari mimpi buruk yang lagi-lagi datang untuk yang kesekian kalinya, bulir-bulir keringat menghiasi permukaan wajahnya. Ia mendesis antara rindu, takut, dan khawatir yang menyatu padu.
"Kau merindukanku ya? Aku juga, sangat."
-cont
KAMU SEDANG MEMBACA
Back In Time
FanfictionDi malam yang sunyi, hanya sinar rembulan yang setia menemaninya kembali ke sekolah pada pukul sebelas malam hanya untuk mengambil buku catatannya. Gadis dengan sifat angkuh serta cuek itu tidak pernah tahu, bahwa rasa penasarannya akan menghasilkan...