Prolog • KELAM

173 59 8
                                    

Defano memijat pelipisnya guna menghilangkan rasa pening yang sedari tadi mengganggunya. Sebentar lagi, ia akan membalaskan dendamnya. Dendam yang selama ini terus menerus mengacaukannya. Dendam yang menyangkut orang terkasihnya.

"Fan, lo jangan bodoh deh. Lo belum ada persiapan yang mantap" ucap seseorang di seberang sana.

"Gue gak perlu izin lo untuk ngelakuin ini."

"Jangan Fan! Lo udah gila apa?!!"

"Jangan ikut campur urusan gue!"

Telepon terputus. Inikah akhirnya? Ia tak peduli jika ia akan mati di pertempuran kali ini. Itu yang diinginkannya. Dendamnya terbalaskan dan menyusul wanitanya.

*******

"Jadi, apa rencana tuan?" ucap salah satu anak buah Fano.

"Kirim beberapa pasukan. Setelah itu, bakar rumahnya. Gue gak peduli. Dia harus mati ditangan gue." ucapnya dingin.

"Tapi tuan, apa tidak ada rencana yang lebih efisien? Saya takut jika nanti mereka menyerang kita lebih dari yang kita persiapkan."

"Kalau lo nggak mau, gue bisa bales sendiri."

"Ma... Maaf tuan, saya tidak bermaksud. Baiklah. Saya akan laksanakan sesuai perintah anda."

Ternyata rasa dendam bisa membuat seseorang bodoh ya. Seperti Fano, seseorang yang dulunya sangat teliti, telaten dan sangat waspada. Jauh berbeda dengan dirinya yang sekarang. Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa akibatnya.

Seseorang telah mengubah Fano. Seseorang yang sangat Fano sayangi. Seseorang yang membuat Fano buta akan dunia gelapnya. Seseorang yang telah menjadi dunia kedua bagi Fano. Dan sekarang, ia pergi meninggalkan Fano.

Pembalasan dendam ini, mungkin akan membuat perasaan Fano sedikit lega. Ya, hanya sedikit. Lega karena dendamnya terbalaskan. Tapi ia tau, ia akan sangat merasa bersalah. Bersalah karena tidak mengingat janjinya. Bersalah karena melanggar perintah

Dan Fano berharap, hidupnya akan berakhir secepatnya.

*********

Malam ini, sesuai rencana. Fano akan melancarkan aksi balas dendamnya. Ia sudah tak peduli akibatnya. Bahkan kalau bisa, ia akan membalaskan dendamnya seorang diri. Tidak dengan pasukannya. Tapi, ia tidak bodoh dalam hal ini. Musuhnya pasti membawa pasukan lebih.

"Kita sudah melesatkan pasukan kesana tuan."

"Bagus." ucapnya dingin.

Kemudian anak buahnya pun pergi keluar ruangan bawah tanah. Tuannya yang dulu menurutnya sudah tidak ingin lagi masuk ke dunia gelap ini, sekarang kembali. Membawa luka untuk dibalas dendam kan.

Seseorang tiba dengan tergesa gesa. Ingin mencegah teman bodohnya itu untuk melakukan aksi, tapi ia tau itu tidak akan bisa dicegah lagi.

"Fano benar benar bodoh!" rutuknya.

Apa yang sedang dipikirkannya? Dasar bodoh!

Pria itu masuk dan dengan lantangnya berteriak

"Apa yang lo lakuin! Lo tau kan itu bahaya Fano! Lo gila!" Ia meluapkan amarahnya.

"Itu gak akan ngebuat dia balik! Dia gak akan bisa kembali Fan! Sadar! Dia udah ngerubah lo, lo tau? Dia pasti sekarang lagi nangis disana! Ngeliat lo kayak gini!" lanjutnya.

"Pergi lo!" balas pria itu dingin.

Revan nyerah. Dia menyerah. Temannya tidak akan mendengarnya lagi. Mungkin membantu bisa menghilangkan beban pikiran Revan. Ya, mungkin.

"Terserah lo Fan. Gue nyerah. Perlu bantuan gue?"

Fano menaikkan alisnya.

"Gue khawatir sama lo! Ngerti dong Fan."

"Oke." singkat Fano.

"Tapi ini yang terkahir kalinya. Gue gak mau tau!"

"Terserah lo."

Lalu mereka beranjak ke tempat pertempuran. Bertempur hanya karena saling balas dendam. Inilah dunia gelap.

Mereka sampai di tempat, melihat keatas dan itulah musuhnya. Musuh yang telah menghilangkan gadisnya. Jiwanya dan semangatnya untuk melanjutkan hidupnya.

"Hoho, siapa yang kita lihat di sini? Fano? Sejak kapan kamu mau sampai turun tangan begini? Ternyata saya tidak salah target kan?" tantang Ardi, musuhnya.

Suara tembakan terdengar, itu Fano. Fano tidak ingin berlama lama. Ia sudah menembakkan senjatanya tanpa berfikir panjang. Yang ia inginkan sekarang adalah menamatkan cerita hidup seseorang seperti Ardi. Ardi tertembak di bagian dada. Bodoh jika ia tidak memiliki pengaman. Jelas, Ardi tau ini akan terjadi.

Fano memang bodoh. Karena amarahnya yang memuncak ia sampai lupa untuk berjaga diri, mengamati taktik, bahkan memikirkan pertahanan dirinya.

"Ternyata perasaan dendam bisa bikin orang bodoh ya Fan."

Terdengar kalimat itu dari belakang, Fano tersadar. Ia ingin melarikan diri, tapi ia terlambat, semuanya terlambat. Semua pasukan musuhnya mengepung Fano. Fano tak tau harus bagaimana. Ia buntu. Suara tembakan pun terdengar nyaring di telinganya. Ia mati rasa. Dan yang terfikir oleh Fano adalah, Ia mati.

"Fano!" teriakan Revan bahkan tak bisa ia jawab.

Inilah akhirnya. Ia akan menyusul gadisnya. Fano tersenyum tipis, mengingat ia akan segera bertemu Sella. Sellanya.

"Tunggu aku sayang, aku akan menemui mu" ucapnya dalam hati.

********

Aku mau terimakasih buat tim AP author_project. Aku dapet banyak ilmu dari sana. Terimakasih buat bimbingannya kakak kakak🖤

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang