2. Rasa iri

85 52 1
                                    

"Tidak cukupkah jika penindasan dari keluargaku saja? Tidak cukupkah penderitaanku selama ini?"

*******

Dua minggu berlalu, kini Sella berada di dalam perpustakaan untuk mengerjakan tugas fisikanya. Bersama dengan Dista.

Ini pertama kali untuk Sella memiliki teman. Ya mungkin Dista enggan untuk menganggapnya teman. Ntahlah. Sella merasa begitu karena Dista sangat irit bicara. Seolah tidak menerima Sella sebagai temannya.

"Dis, ini bukunya?" tanya Sella setelah mendapatkan buku yang mereka cari.

"Iya" jawab Dista seadanya

"Kita ngerjain disana?"

Sella menunjuk satu tempat duduk yang kosong yang tidak terlalu pojok dan tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Tapi Dista menolak. Ia ingin dipojokan.

"Disana aja. Lebih sepi."

Sella hanya mengangguk.

Tanpa Sella sadari, Dista tersenyum tipis. Dista rasa, ia tidak salah memilih teman. Dista sudah menganggap Sella sebagai temannya tepat pada saat Dista bertanya tentang Fano. Ya wajar, siapa yang tidak mengenal Fano? Tapi Sella? Dia dengan polosnya bilang "Siapa Fano" memang benar benar langka.

Dista masih belum bisa terbuka dengan Sella karena trauma masa lalunya. Dikhianati oleh sahabat sendiri mungkin sudah biasa. Tapi Dista, ia bahkan dijual oleh sahabatnya sendiri. Dan parahnya, Dista harus melakukan aborsi karena ulah sahabatnya itu. Sehingga ia menjadi pribadi yang tertutup, dan peka terhadap sesuatu.

"Dis?"

Sella menyadarkan Dista dari lamunannya. Dista menangis. Ia mengingat betapa kelam masa lalunya waktu itu. Tidak memiliki sandaran. Semuanya menghilang. Seolah olah tidak sudi menerima Dista.

"Eh? Kamu kenapa nangis Dis? Aduh."

Sella bingung, tapi ia juga menenangkan Dista. Aduh. Bagaimana ini. Mereka sudah menjadi pusat perhatian. Sella paling benci menjadi pusat perhatian.

"Dis, udah dong. Kita dilihatin semua orang nih."

Ampuh. Dista berhenti menangis dan melanjutkan aktivitasnya seolah tidak terjadi apa apa. Dista juga benci menjadi pusat perhatian. Setelah menghapus air matanya, Dista menatap tajam orang orang yang menatapnya. Mereka segera melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda.

Tanpa sadar, ada sepasang mata yang menatap kedua perempuan itu dengan intens.

*******

"Na, perempuan itu tuh yang sering banget diperhatiin sama si Fano. Lihat deh. Tuh kan, sekarang aja Fano merhatiin dia." kompor salah satu teman yang dipanggil dengan sebutan 'Na' tadi.

"Ih! Sok cantik banget sih! Enek gue lihatnya."

"Udah deh Na, dia itu emang cantik, polos lagi. Katanya sih logatnya dia itu 'aku-kamu' bukan 'lo-gue'. Tapi gue belum coba ngobrol sama dia sih."

"Bego bego bego! Bego lo Ren! Itu bisa bikin Hanna makin marah bego!" bisik temannya yang mengompor tadi, Gea.

"Ya itu kan kata hati gue Ya."

"Udah diem! Gue gak mau tau ya! Nanti kita habisin itu anak!" bentak Hanna, si leader.

*********

"Kenapa gak lo deketin aja sih? Kayak orang bego tau gak. Lo lihatin dia dari jauh. Dia gak bakal pernah tau lah. Deketin Fan. Bukannya malah gini. Laki gak sih lo?"

Fano menghela napasnya. Apa apaan si Revan? Fano tau kali. Tapi Fano cuma bingung aja. Masa iya sih dia suka sama cewek itu? Gak mungkin lah.

"Udah deh. Gak usah ngelak. Gue tau Fan. Lo lagi bingungkan? Cowok mah gitu. Suka bingung padahal udah jelas."

Fano menatap Revan jengah. Lalu menatapnya dengan isyarat "Apasih lo? Gak jelas tau nggak!" tapi emang si Revan nya aja yang pura pura bego.

"Fan, coba deh lo tanyain dia. Ajakin pulang bareng kek, apa kek. Deketin lah. Orangnya polos gitu."

Fano mendadak pergi. Tapi sebelum ia beranjak Revan memperingati nya.

"Jangan terlalu sering lo perhatiin dia, orang juga banyak yang perhatiin gerak gerik lo. Kalau lo emang suka dia, deketin, lindungin dia. Kalau cuma kayak gini, lo bisa aja nyakitin dia Fan."

Setelah itu Revan juga beranjak mendahului Fano. Membiarkan sahabatnya itu berfikir tentang tindakannya. Yasudahlah. Fano juga butuh privasi.

"Gue gak suka dia." gumam Fano.

*******

Sepulang sekolah, Sella memilih untuk menunggu lima belas menit sebelum memutuskan untuk pulang. Sella sendirian, Dista pulang lebih awal. Tanpa berpamitan ke Sella. Itu salah satu alasan mengapa Sella selalu menepis pikirannya jika Dista menganggapnya teman.

Sella menghela napas dan beranjak untuk pulang. Tanpa semangat. Pulang? Mungkin kata kata itu lebih tepat untuk mereka yang memiliki keluarga hangat. Untuk mereka yang bisa mendapatkan tulusnya kasih sayang orang tua. Tidak seperti Sella.

Sella berjalan dengan santai. Suasana tenang inilah yang Sella inginkan. Sepi, sunyi, mungkin Sella terjebak dalam kehidupan yang seperti itu. Biarlah, toh tujuan ia hidup juga demi membanggakan Omanya. Agar Oma tidak sia sia menyekolahkan Sella. Begitu pikirnya.

Saat Sella melewati toilet perempuan, toh tiba ia ditarik oleh orang asing. Tapi tunggu, mereka menggunakan seragam sekolah. Itu tandanya, mereka anak sekolah ini. Tapi apa yang akan mereka perbuat? Sella takut.

"Oh jadi ini yang namanya Sella? Gak ada cantik cantik nya, tapi kok Fano sering banget ya merhatiin lo?" tanya Hanna dengan tajam.

"Maksudnya?"

Sella bingung. Fano? Memperhatikannya? Apa si Fano Fano itu dendam sama Sella? Tapi mengapa tak langsung bicara pada Sella? Huh.

"Gak usah pura pura bego deh! Lo nabrak dia waktu itu buat caper doang kan? Udahlah Na, langsung habisin aja!" kompor Gea.

Tak lama, Sella didorong kearah wastafel dan punggungnya ditahan. Kemudian Hanna datang kearahnya dengan membawa gunting. Seringaian tercetak di wajah cantik Hanna. Cantik? Jika tau apa yang diperbuat perempuan itu kata cantik itu akan hilang.

Hanna menggunting baju Sella. Membuat perut Sella sedikit terekspos. Hanna gila! Ini diluar kendali Sella. Sella menangis, Gea menjambak rambut Sella hingga Sella histeris. Siren yang menahan Sella hanya bisa menyaksikan kelakuan keji teman temannya.

Hanna menampar Sella. Bahkan meludahi wajah Sella. Sella hanya bisa menangis berharap ada yang mendengarnya dan menolongnya. Tapi itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

"Apa yang kalian mau, Sella gak ngerti kenapa kalian lakuin ini ke Sella." isak Sella dengan wajah memelas.

Percayalah, siapa pun yang melihat keadaan Sella saat ini akan kasihan dan ingin menangis melihatnya. Tapi Hanna, Gea dan Siren? Mereka bahkan lebih ganas daripada tadi. Dasar iblis.

"Kalau lo botak, kayaknya asik juga ya haha"

Hanna mengambil gunting tadi dan mengarah kan nya ke rambut Sella. Sella memelas.

"Jangan, jangan" isak Sella lagi.

Tak lama, pintu toilet didobrak. Dan terlihatlah Fano didepan pintu.

"Hentikan!" teriakan Fano menusuk di pendengaran para iblis itu dan segera melepaskan Sella.

Sella terjatuh. Ia menangis hingga seluruh badannya bergetar. Apalagi ini? Tidak cukupkah ia mendapat penindasan di keluarga nya? Tidak cukupkah penderitaan nya selama ini? Sella semakin terisak.

*******

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang