01

123 22 50
                                    

Warn

Mention alot of brands along this story

♧ ♧ ♧

Aileen membuka pagar rumah bercat hijau mudanya dengan lesu, tas sekolah diseret pelan sepanjang ke dalam rumah berlantai dua. Gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu tersebut melepaskan sepatunya dengan pelan menggunakan tumit kakinya yang lain. Telapak tangannya menggapai knop pintu.

Suasana hangat yang ia rasakan sejak kecil mengguar di rumah tersebut. Sayup-sayup, ia mendengar tawa anggun mamanya kemudian satu suara lain menimpa tawa tersebut dari bilik ruang keluarga.

Aileen menutup pintu pelan. Ia berjalan lebih dalam lagi hingga mendapati dua wanita dewasa duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.

"Ma, Aileen pulang."

Seorang wanita yang mendengar suara buah hatinya segera memalingkan kepala dan tersenyum lembut kepadanya, "Segera ganti baju dan turun untuk makan ya." Aileen mengangguk lesu dan segera pergi ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Sebelum itu, dia berpamitan kepada wanita satunya, tetangga mereka yang rumahnya terletak di depan komplek.

Delapan menit kemudian, Aileen turun dan segera ke dapur untuk mencari makan. Tidak ada yang menarik dari sepiring nasi putih dengan rendang sebagai lauknya. Namun, mata anak tunggal keluarga ini berbinar cerah dan perutnya semakin keroncongan.

"Omong-omong, Callista. Aku tidak pernah melihat tetangga sebelahmu ini."

Sesi gibah dimulai...

Aileen menajamkan indra pendengarannya saat mendengar kata 'tetangga sebelah', mulutnya mengunyah nasi dengan pelan untuk bisa mendengar dengan jelas. Tidak, Aileen bukan sosok yang kepo dalam segala hal. Hanya saja, topik tetangga sebelah ini memang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Ucapan Tante Sri -Aileen lebih suka memanggilnya Tansri- tersebut dibalas oleh sang ibunda, "Aku juga belum pernah melihatnya. Padahal, dia sudah pindah ke sini sejak enam bulan yang lalu."

Aileen menganggukkan kepalanya, membenarkan perkataan mamanya. Rendang masuk ke dalam mulutnya, ia sempat mengagumi masakan ibunya. Tetangga sebelah mereka itu tidak pernah terlihat wujudnya. Aileen rasa waktu mereka yang tidak pas untuk bertemu dengan tetangga sebelah, tetapi, saat Aileen keluar rumah di hari Minggu, ia mendapati jendela tersebut ditutup rapat dengan tirai berwarna gelap. Malam harinya, Aileen tidak mendapati sinar apapun dari dalam rumah tetangganya itu.

Aileen bahkan tidak tahu siapa namanya, sudah berumur berapakah dia. Aileen hanya tahu satu hal, dia adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap nan tinggi. Kira-kira begitulah yang dilihat oleh tetangga mereka yang lain saat hari pertama kepindahan tetangga sebelahnya itu.

Aileen mengunyah makanan sembari menguping pembicaraan dua wanita tersebut sampai Tansri berpamitan pulang. Sang mama duduk di depan putri tunggalnya setelah memastikan sang tamu sudah pulang.

"Ada les tambahan di sekolah ya? Tidak biasanya Aileen terlambat pulang." ucap mama dengan nada lembut. Ia menuangkan segelas air putih untuk putrinya.

"Aileen harus banyak minum air." lanjut mama yang dibalas sebuah senyum lebar oleh Aileen.

Aileen mengangguk mengerti, "Tadi guru olahraga minta Aileen untuk ikut lomba pertandingan bisbol, ma. Jadi, mulai hari ini latihannya." lalu gadis itu meminum air putih.

Sang ibunda mengerti, putrinya suka sekali dengan bisbol, "Lain kali kalau pulang terlambat, usahakan bawa bekal atau tidak makan di sana."

"Ya, ma. Tadi Aileen juga mendadak latihannya. Lain kali gak gitu lagi deh." Aileen menyengir.

Selesai dengan makan siang, Aileen segera naik lagi ke kamarnya, bermain sebentar dengan ponsel dan ketiga sahabatnya begitu ribut di group chat.

Tidak ada yang istimewa dari keseharian Aileen hari itu. Group chat tersebut hanya berisi tentang tugas sekolah, ujian, dan spamming yang tidak jelas. Aileen memilih tidur siang dan malamnya dia akan mengerjakan tugas. Esok paginya, ia kembali menjalankan rutinitas.

Ada yang berbeda dari ia pergi ke sekolah. Aileen biasanya tidak peduli dengan sekitar, mendadak peduli dengan tetangga sebelah.

Aileen menatap bingung rumah bercat biru muda. Netra coklatnya bisa melihat jelas perkarangan rumah tersebut yang ditumbuhi begitu banyak bunga. Sebuah ayunan diletakkan di tengah-tengah perkarangan yang sudah sedikit berkarat. Satu yang sedikit mengganjal, tirai hitam itu tidak terlihat, tergulung ke samping dan menerima cahaya matahari lewat. Tetapi, tidak ada siapapun di sana.

Terasa hampa.

Aileen memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan ke sekolahnya. Aileen terbiasa untuk jalan kaki ke sekolah yang hanya terletak di seberang komplek perumahannya. Menghemat uang jajan juga di satu sisi.

"Alin!"

Aileen memutar matanya malas, dari suaranya ia bisa menebak manusia mana yang memanggilnya dengan nama yang salah.

"Kenapa tidak berhenti sih?" Aileen menatap siswi yang tengah mengatur pernapasannya.

"Namaku Aileen, Ra. Bukan Alin." Balas Aileen dengan wajah tanpa dosa kemudian menarik siswi yang bernama Fira untuk berjalan bersama ke kelas.

"Sama saja kan? Itu panggilan sayang dariku, Alinnnn." jawab Fira dan dengan sengaja ia memanjangkan nama Aileen. Aileen tersenyum lebar, tapi, di mata Fira begitu menyeramkan.

"Baik. Baik. Buang senyummu itu. Aku memanggilmu Linlin saja."

Sepertinya saudari Fira tidak sadar dengan maut yang akan segera datang.

"NAMAKU AILEEN! DAN AKU TIDAK MENERIMA PANGGILAN KECIL APAPUN!"

Fira mendesis risih sembari menutup telinganya rapat-rapat.

Karna, suara Aileen nyaring sekali di koridor sepi pagi ini.

Poor you, Fira...

To Be Continue

AN:
Yesssss... begitu garingggg kek krupuk udang dah...

Masih awal, man teman... masih panjang perjalanan untuk membabat habis ini semua.

The Side Neighbour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang