Aileen tidak menyerah tentunya. Rasa penasaran menggerogoti Aileen perlahan. Coach berhalangan untuk melatih dia dan teman-temannya, sehingga jam satu siang ia segera pulang, cuaca sangat sejuk untuk di jam yang seharusnya matahari bersinar terik. Awan berkumpul menjadi satu, dan langit tampak gelap.
Ting tong
Aileen bersabar menunggu pemuda tersebut keluar dari pagar tersebut. Selain untuk segera pulang untuk menghindari hujan, ia juga mengunjungi tetangganya tersebut. Aileen menundukkan wajahnya, memandangi aspal dengan tatapan khawatir.
"Kenapa?"
Suara berat menginterupsi kegiatan Aileen, saat ia mengangkat kepalanya, ia tercengang. Masih tidak bisa berkata-kata selain membuka mulut lebar dan memindai tubuh tersebut ke dalam kepalanya.
"Tidak ada yang dibicarakan? Saya akan kembali masuk." jawab sosok tersebut dengan nada dingin, ia kembali masuk dan menutup pagar.
"Tidak. Saya dari tetangga sebelah, kak. Saya lupa bilang kepada Ibu kemarin, Mama minta kembali kotak makannya. Boleh?" tanya Aileen takut-takut. Ia takut akan menimbulkan kesalah pahaman. Kotak makan itu sebenarnya lucky present yang Aileen dapatkan, saat membeli kue tersebut dari toko kue sekitar sekolahnya. Mama tentu tidak tahu, ia membawa satu kotak kue lagi untuk mama, hanya dengan mengatakan ingin menghadiahkan sang mama secara tiba-tiba.
Walaupun, kue tersebut berakhir dimakan bersama.
"Masuklah. Saya akan mengambilnya untukmu." ucap suara berat tersebut, Aileen sangat yakin pemilik suara berat ini adalah Vino.
Ya, daritadi ia berbicara dengan Vino. Apakah Tuhan mengabulkan permohonannya? Ia tidak menyangka kalau pemuda tersebut akan membuka pintu untuknya, karena kemarin ia ditolak secara halus oleh pemuda ini.
Jika ia mengatakannya pada Fira, apa gadis itu akan mempercayainya?
Aileen menyusuri kediaman pemuda tersebut dengan kedua matanya, bertingkat dua, pencahayaan yang minim dari luar karena, saat ia menoleh jendela ditutupi oleh tirai hitam itu lagi. Nuansa putih dengan cream, serta perabot dari kayu. Sederhana dan nyaman untuk dihuni.
"Ini, segera pulang. Mama kamu di rumah pasti menunggu kan?" tanya Vino seraya memberikan kotak makan yang terlihat telah dicuci bersih kepada Aileen.
Aileen mengangguk, tetapi, petir terdengar dan tetesan hujan lebat mengguyur Kota Medan membuat Aileen berpikir dua kali untuk menerobos hujan.
Aileen yakin ia tak akan semudah itu jatuh sakit, tetapi, ia tidak mau membuat mama khawatir dengan keadaannya jika pulang dengan basah kuyup.
"Sepertinya, masih ada payung tersisa. Sebentar, akan saya ambilkan." ucap pemuda tersebut saat mengerti dengan diamnya Aileen yang sesekali melirik ke arah luar. Vino memasuki salah satu ruangan dekat dengan tangga, lalu tak berapa lama ia muncul dengan sebuah payung berwarna hitam.
"Ini pakailah untuk melindungimu dari hujan." kata pemuda tersebut seraya memberikan payung hitam tersebut di tangan Aileen. Aileen tidak beranjak dari sana, masih ada satu hal yang menganggu dirinya saat ini. Pemuda di depannya hanya diam menunggu Aileen pamit untuk pulang.
"Kak, boleh kenalan?" tanya Aileen dengan nada was-was, ia merasa tidak enak karena mengajak berkenalan di timing yang menurutnya kurang pas, tapi, ia juga tidak yakin bisa mendapatkan kesempatan seperti ini lagi.
"Arvin Arentino. 23 tahun." jawab pemuda tersebut membuat Aileen mengangguk paham.
"Aileen Elvarette. 17 tahun. Kakak tinggal sendiri?" tanya Aileen sembari mencuri dengar suara hujan yang masih terdengar lebat di luar. Sesekali ia masih bisa mendengar suara petir bergemuruh keras dan hampir membuat jantungnya terlepas dari tempat.
Aileen tidak memiliki trauma apapun sebelumnya, tetapi ia hanya tidak menyukai suara petir yang bergemuruh kuat seperti ini berkali-kali. Seperti terasa terindimidasi dari belakang.
Bisa dibilang, ia mengulur waktu untuk menunggu hujan tersebut menjadi sedikit reda. Tidak sampai berhenti tentunya.
"Ya. Saya sendiri."
"Jadi, ibu tersebut-"
"Dia yang mengasuh saya sejak saya lahir. Seharusnya, dia tidak lagi mengasuh saya, tetapi karena dia bersikeras untuk tetap merawat saya. Maka, orangtua saya juga tidak bisa memaksanya lagi." jawab Arvin datar. Tidak ada intonasi tinggi ataupun rendah, seolah-olah ia tidak berminat dengan pembicaraan ini sama sekali.
Aileen mengangguk mengerti, tidak lucu jika Arvin yang telah berumur lebih dari dua puluh tahun masih diasuh layaknya bayi mungil tak berdaya.
"Kamu tidak mau pulang? Orangtuamu tidak cemas?"
Aileen tercekat, merasa tidak memiliki jalan lain, "Diluar masih deras, kak Arvin. Aku sedikit takut dengan ... petir." Aileen meringis ketakutan saat mendengar suara dari luar lagi.
Arvin menjauh dari sana dan duduk di sofa, merasa tidak diikuti ia membalikkan tubuhnya, "Kemari, duduk. Tidak mungkin kamu berdiri di sana sampai hujan sedikit reda."
Aileen mengikuti langkah sang tuan rumah, dan duduk di sebelahnya. Kesunyian yang terasa aneh menjadi suasana setelah itu. Aileen yang periang dengan Fira berubah menjadi Aileen yang pendiam, rasanya seperti bukan dirinya. Salahnya, ia tidak pernah memikirkan apa yang akan ia katakan jika bertatap muka dengan tetanggannya ini.
Karena, pikirannya duluan berkata ia tidak akan berhasil dengan caranya.
Arvin menyalakan televisi, Aileen sebagai tamu di sana masih sadar diri untuk tidak mengganti channel, karena sejujurnya ia tidak terlalu suka dengan berita yang disiarkan. Arvin menontonnya dengan serius. Aileen menahan rasa kantuk mendera, tidak elit jika ketiduran di rumah orang asing.
Tidak lama, hanya lima menit setelah itu, Aileen mendengar suara pukulan dan sorakan nyaring dari arah televisi.
Pertandingan bisbol.
"Kakak suka menonton pertandingan bisbol?" tanya Aileen basa-basi.
Arvin mengangguk, "Menarik untuk ditonton. Saya juga pernah bermain bisbol. Walaupun, tidak mahir."
Mata gadis tersebut menjadi berbinar, ia tidak pernah mendapatkan teman untuk membicarakan bisbol selain di tim. Fira tidak tertarik dengan bisbol. "Aku juga tidak terlalu mahir." tutur Aileen.
"Kamu bisa memainkannya?"
Aileen mengangguk, "Kalau kakak mau, kita bisa mencari waktu untuk bermain. Aku memiliki tim, bisa dimintai tolong untuk bermain bersama. Bagaimana?"
Aileen terdiam, ia merasa gurat dari pemuda tersebut sedikit tidak mengenakan. Ia juga tidak mengerti kenapa. Ia merasa, ia melakukan sebuah kesalahan.
"Kak, aku pamit pulang, ya? Hujannya tidak begitu lebat."
Aileen meninggalkan Arvin seorang diri yang tidak membalas pernyataannya. Hujan yang tidak begitu lebat di luar tersebut menemani Aileen pulang ke rumah.
Maaf...
♧ ♧ ♧
To Be Continue
♧ ♧ ♧
Double uppppppp...
Dah lama gak double up seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Side Neighbour ✔
Teen FictionAileen penasaran dengan tetangganya. Sang tetangga yang bahkan ia tidak tahu menahu tentang namanya, gendernya saja Aileen tahu dari tetangga yang lain, ia tinggal di sebelah rumah Aileen. Rumor mengatakan tetangganya itu adalah salah satu kaum vamp...