Aileen menghapus air matanya yang terus mengalir di pipi. Napasnya terdengar tidak beraturan, hidungnya memerah karena sejak lima menit yang lalu, ia terus menangis. Matanya menatap Arvin yang masih meringis kesakitan saat Fitri mengoles salep di pipi kirinya.
Saat ia hampir memasuki rumah Arvin, Fitri datang dengan sebuah bekal untuk makan malam Arvin. Dengan telaten, Fitri mengganti posisi Aileen untuk memapah Arvin ke dalam rumah. Mata Aileen berkabut kala itu, tidak tahu bagaimana harus bertindak, akhirnya ia hanya bisa mengikuti Fitri, duduk di kursi meja belajar, sedangkan Arvin duduk di kasur. Aileen masuk ke dalam kamar pemuda tersebut.
"Istirahatlah dulu, Vin." ucap Fitri dengan lembut, bak seorang ibunda ia menyelimuti tubuh Arvin yang berbaring. Fitri berbalik dan melihat Aileen serius, hampir membuat gadis tersebut tidak bisa berkutik. Ia mengerti, wanita tersebut meminta untuk mengikutinya.
Aileen berdiri di perbatasan antara teras belakang dengan perkarangan kecil belakang rumah Arvin, sedangkan Fitri sibuk menyiram bunga. "Vino, dulu adalah anak laki-laki yang periang, dia tidak pernah mengeluh tentang tuan dan nyonya yang tidak berada di rumah hampir dua puluh empat jam. Dia selalu membantu Bibi mengerjakan pekerjaan rumah, dia juga anak yang senang ke sekolah." Fitri membuka percakapan tanpa menatap Aileen yang hanya membisu.
"Saat dia berusia delapan tahun, bermain bola di lapangan dengan teman-temannya dibawah teriknya matahari, kehidupannya menjadi berbeda. Vino berteriak kesakitan, sekujur tubuhnya yang tidak terlapisi pakaian seperti mengalami luka bakar, Nyonya segera membawanya pergi ke rumah sakit. Dan, dokter mendiagnosis ia terkena porfiria." Mata Fitri meredup, kegiatan menyiram terhenti sejenak, menatap ke angkasa yang masih terik untuk dipandang. Aileen bisa melihat kesedihan wanita tersebut saat membicarakan peristiwa tidak mengenakan ini.
Fitri mematikan airnya, meletakkan selang ke tempatnya, lalu membawa Aileen untuk duduk di hamparan rumput. "Vino berubah menjadi lebih pendiam, dia masih senang membantu Bibi walaupun tidak lagi seaktif dulu. Dia dijauhi teman-temannya, Tuan dan Nyonya memilih untuk memberikan homeschooling untuk Vino. Beberapa kali, ia berdiam diri di bawah panas terik matahari, dan tidak lebih dari enam menit, ia berteriak histeris. Butuh waktu lama untuk mendapatkan Vino yang seperti ini."
"Apa tidak bisa disembuhkan, Bu? Kak Arvin terlihat tersiksa karena ini." kata Aileen dengan nada berharap, matanya mengalih ke jendela kamar Vino sendu. Membayangkan hidup dalam bayang-bayang kegelapan setiap detik yang berjalan.
Fitri menggeleng, "Dokter berkata ia tidak bisa sembuh, walaupun dijalankan operasi berkali-kali, persentase kesembuhannya sangatlah kecil. Bibi tahu rumor yang beredar di komplek ini tentang dirinya, tapi, Bibi tidak bisa mengatakan dengan jujur. Tidak semua orang bisa menerima fakta ini."
Aileen tersenyum getir, merasa bersalah telah pernah berpikir yang aneh-aneh tentang tetanggannya ini, padahal kenyataan pahit menimpa Arvin sampai sekarang, bahkan selamanya. "Maafkan mereka dan Aileen, Bu. Kami tidak tahu, seharusnya kami harus memperhatikan Kak Arvin lebih dalam lagi, bukan asal menebak." sesal Aileen.
"Tidak apa-apa, nak. Kamu mau mengerti dan berusaha menjalin hubungan pertemanan dengan Vino, Bibi sudah senang. Tuan dan Nyonya tidak memiliki waktu yang banyak untuk Vino, setelah dua tahun dan Vino terlihat telah bisa beradaptasi dengan penyakitnya, mereka kembali sibuk sampai sekarang."
"Itukah alasan Ibu bertahan untuk Kak Arvin?" pertanyaan Aileen dijawab dengan sebuah anggukan pelan dari Fitri.
Aileen terenyuh saat mendengarnya. "Bu, jika saya memberikan hadiah kecil untuk Kak Arvin, apa Ibu akan marah?"
Fitri melihat Aileen dengan tatapan bingung.
♧ ♧ ♧
Aileen baru saja akan pamit pulang, Arvin terlihat lebih baik tetapi luka bakar itu masih ada di pipinya.
"Kak, maaf. Aileen tidak tahu."
"Tidak. Saya yang salah, saya tidak berterus terang denganmu." jawab Arvin tenang. Lima menit yang lalu Arvin bangun dan duduk di sofa ruang tamu dengan Aileen seorang diri di sana melamun menghadap ke arah televisi yang menyala. Arvin mengangguk paham, sudah jam enam sore dan Bibi Fitri pasti sudah pulang.
"Harusnya Aileen tidak boleh memaksa jika Kakak sudah menolak. Maaf." balas Aileen, tidak sadar jika dirinya menyebut namanya sendiri saat membalas. Aileen memiliki kebiasaan untuk menyebut diri sendiri jika sudah merasa bersalah, ataupun sudah dekat dengan orang tersebut.
Arvin meletakkan tangannya di pundak sempit Aileen, sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tinggi dengan gadis tersebut, "Kamu tidak salah. Saya memang korban disini, tetapi itu bukan murni perbuatanmu, saya yang memberi celah untuk luka ini. Jadi, ini bukan salahmu."
"Tapi,-"
"Bukan salahmu. Jangan terus menyalah diri sendiri terhadap yang bukan salahmu." potong Arvin saat gadis tersebut masih menyalahkan dirinya.
Arvin melepaskan tangannya pada bahu gadis tersebut, "Kamu tidak pulang, Aileen? Saya rasa mama kamu pasti mencari anaknya."
Aileen terdiam, "Mama tahu aku ke rumah kakak."
"Mamamu tidak kenapa-napa? Saya mendengar..."
Aileen menggeleng pelan, berusaha menyangkal kalimat yang belum selesai itu, "Mama tidak seperti warga sekitar sini, kak. Mama mengerti dan baik-baik saja dengan kakak." Arvin menghembuskan napas lega setelah mendengar kalimat tersebut dari Aileen. Lalu, keheningan melanda mereka.
"Kak Arvin," panggil Aileen, membuyarkan pemikiran random Arvin.
"Semua orang itu tidak sama. Tidak semua orang berpikir buruk tentang penyakit kakak. Bu Fitri, aku dan mama adalah buktinya, aku ingin berteman dengan kakak, mama ingin mengajak kakak untuk makan malam bersama, Bu Fitri yang sangat perhatian dengan kakak. Kakak tidak perlu berburuk sangka dengan semua orang."
Arvin mengulas senyuman, tampak begitu menenangkan. "Terima kasih, Aileen."
Aileen mengiyakan, "Besok, aku boleh datang lagi kan? Aku ada hadiah untuk kakak. Tidak begitu besar tetapi, semoga kakak senang menerimanya."
"Tentu, saya senang jika kamu datang."
♧ ♧ ♧
To Be Continue
♧ ♧ ♧
Update terossss sampai mabok
KAMU SEDANG MEMBACA
The Side Neighbour ✔
Teen FictionAileen penasaran dengan tetangganya. Sang tetangga yang bahkan ia tidak tahu menahu tentang namanya, gendernya saja Aileen tahu dari tetangga yang lain, ia tinggal di sebelah rumah Aileen. Rumor mengatakan tetangganya itu adalah salah satu kaum vamp...