08

40 11 4
                                    

Aileen menepuk lengannya yang terpercik tetesan air hujan, saat berteduh di teras rumahnya sendiri. Setelah memastikan bahwa dirinya tidak kebasahan total seperti setahun yang lalu, ia memberanikan diri untuk masuk rumah.

"Ma, Aileen pulang."

Mama dari arah dapur langsung tergopoh-gopoh menemui dirinya, Aileen bisa mendengar suara blender yang masih menyala. Helaan napas lega terdengar saat mendapatkan Aileen pulang dengan kondisi kering.

"Tenang, ma. Aileen tadi dipinjam payung untuk pulang." ucap Aileen dengan kalem.

"Sekarang, Aileen mandi, mama tadi buat cheese mousse untuk Aileen." ucap mama lembut. Aileen tersenyum lebar, senang diberikan camilan sore, dengan semangat ia menuju kamar untuk mandi.

Berselang sepuluh menit, Aileen keluar kamar dengan tampilan kaus biru longgar dengan celana pendek berwarna putih. Aileen menuju dapur, dan melihat mama sedang memotong kue tersebut. "Ini punyamu, sayang." ucap mama dengan sepiring kecil cheese mousse di tangannya.

Aileen mengambil piring tersebut, tidak lupa dengan ucapan terima kasih, lalu memakannya di meja makan dalam diam.

"Ingat untuk mengembalikan payungnya, ya." ucap mama dengan senyuman. Aileen mengangguk, tidak mungkin tidak dikembalikan, malahan ini adalah kesempatan yang bagus untuk dekat dengan Arvin.

Sedikit perasaan dalam hatinya, ia bangga dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu tentang tetangganya, tetapi ia tahu walaupun tidak banyak dari hasil percakapan singkat nan kaku tadi.

1. Tidak mudah dekat dengan semua orang.

2. Irit bicara. Tapi, sedikit banyak berkata-kata jika membicarakan hal yang ia sukai.

3. Tinggal sendiri.

4. Penyuka bisbol.

Masih itu yang ia ketahui.

Ia masih ingat bagaimana wajah bak artis itu menatapnya tanpa minat dengan mata elangnya. Bibirnya tipis, dengan hidung yang tidak terlalu mancung, pipinya tirus. Dan satu hal yang telah ia pastikan...

Masih ingat dengan Aileen yang mengatakan bahwa dia melihat guratan panjang kala kepergok oleh Arvin?

Itu bukan guratan dari kaca bening.

Itu benar-benar menggores kulit kuning langsat pemuda tersebut. Membentang panjang di area wajah kirinya, lebih tepatnya menggores melintang melewati mata kirinya.

Seperti sebuah bekas luka yang tidak bisa lagi disamarkan.

"Kenapa tetangga kita lebih suka keluar malam?" tanya mama tiba-tiba.

Aileen menjawab seadanya, tidak memiliki petunjuk akan hal itu.

"Sri selalu mengatakan pada mama, kalau tetangga kita itu selalu menggenggam sekantung cairan merah di tangannya kala malam."

Aileen tersenyum maklum, "Ma, itu bisa saja jus tomat yang ia bawa keluar. Atau jus stroberi."

"Mama tahu. Vampir jelas tidak ada, itu hanyalah dongeng. Tapi, kenapa dia harus selalu keluar malam."

"Selarut apa, ma?" tanya Aileen penasaran, tak lupa cheese mousse disantap nikmat olehnya.

Mama menuangkan air mineral untuk Aileen, "Minumlah. Sri selalu mendengar satpam komplek, pemuda itu berjalan di atas jam sepuluh malam."

Aileen mengangguk, "Mungkin ia lebih suka angin malam, ma."

"Bagaimana jika cheese mousse ini Aileen bawa ke rumahnya, sebagai tanda perkenalan kan? Aneh jika saling bersebelahan tetapi tidak saling mengenal." ucap mama yang sedikit membuat Aileen tersenyum. Ide itu sudah dipakai oleh Aileen kemarin, setidaknya sekarang ia mengerti kenapa ada yang mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Nanti malam, ma. Masih hujan diluar." ucap Aileen yang menunjuk arah jendela yang menampilkan tetesan air hujan yang masih turun namun, tidak selebat kala ia mengunjungi rumah Arvin.

"Bagaimana latihannya, sayang?"

"Lancar, ma. Walaupun, ada hambatan sedikit. Coach meminta Aileen untuk menjaga kesehatan."

Mama mengangguk, turut merasakan kesenangan anaknya, karena menurut mereka, potensi anak harusnya dikembangkan, dipaksakan sesuai keinginan mereka juga percuma. Aileen hanya akan menderita perlahan-lahan dibalik kesuksesannya kelak. Stres akan melanda dirinya, karena yang dilakukan bukan dari dalam dirinya.

Setiap anak memiliki kesuksesannya sendiri. Hanya saja waktu mereka yang berbeda.

"Perbanyak air putih, itu kunci rahasianya." ucap mama yang dibalas anggukan dari Aileen. Sebagai seorang atlit bisbol, tentu ia tahu seberapa pentingnya air putih di hidupnya.

♧ ♧ ♧

"Serius kau, Lin?!"

"Tidak pakai teriak-teriak juga, Ra. Tentu saja serius." ucap Aileen dengan ketus. Langit sore berganti menjadi gelap, tanda malam.

"Bagaimana rupanya? Pasti tampan, ya kan?"

Aileen berdeham berniat menjahili, ia menceritakan semua detail saat bertemu dengan Arvin. Fira tentu saja terkejut mendengarnya, dan respon yang diberikan tentu kurang lebih khas Fira.

"Jelaskan, dengan jelas padaku besok. Aku tidak mau tahu."

Tut...

Aileen berdecak kesal. Fira seenaknya memutuskan panggilan secara sepihak, ia bahkan belum sempat membalas ultimatum aneh sahabatnya itu. Ia mengangguk pasrah, bisa jadi Fira tengah mempersiapkan diri untuk ujian olimpiade Biologi, seperti yang ia dengar darinya kemarin.

Fira termasuk jajaran siswi yang diperhitungkan kepintarannya dalam akademik. Berbeda dengan Aileen yang diperhitungkan dalam non-akademik. Tapi, tidak apa-apa, tampil beda dari yang lain.

Aileen memilih keluar kamar, dan mengambil cheese mousse untuk dipotong dan dimasukkan ke dalam bekal. Tentu setelah izin dari mama, ia keluar rumah dan ke rumah tetangganya.

Ting tong...

Tak lama pagar tersebut terbuka dan menampilkan Arvin dengan kaus lengan pendek, dan celana training hitam berdiri di balik pagar.

"Kak Arvin, ini mama memberikan cheese mousse. Dimakan ya." kata Aileen seraya memberikan bekal tersebut.

Arvin memandang bekal tersebut dengan tatapan yang Aileen tak mengerti, lalu mengambilnya dari tangan gadis tersebut. "Kak,"

Arvin mengalihkan pandangannya, menatap lekat gadis tersebut untuk meminta lanjutannya.

"Payungnya besok aku kembalikan."

"Tidak masalah." ucap Arvin singkat.

"Tadi ... kak Arvin marah?" tanya Aileen dengan ragu-ragu. Sekelibat kejadian tadi siang sebelum pamit pulang menghantui dirinya.

Ia menahan napas saat melihat wajah Arvin mengeras, semakin menguarkan aura tajam dengan guratan panjang di wajahnya, "Tidak. Saya tidak marah." ucap Arvin yang terasa berbanding balik dengan ekspresinya.

Tetapi, Aileen tidak bisa membalasnya lebih lanjut.

"Kak, aku pamit ya. Goodbye." Aileen segera masuk ke rumah tanpa melihat Arvin yang mengawasi gadis tersebut sepanjang perjalanan pulang.

Ia membuka bekal tersebut setelah masuk ke rumah, mengambil secuil adonan matang tersebut, dan memakannya dengan pelan.

Tidak lama kemudian, Arvin tersenyum tipis.

"Setidaknya, kali ini ia tidak berbohong."

♧ ♧ ♧

Ngejar deadlineeeee...

The Side Neighbour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang