06

43 10 2
                                    

Ting tong

Aileen mengetuk sandalnya di atas tanah, mama yang ternyata sedang ke rumah Tansri sehingga rumah kosong. Gadis yang menjadi anak tunggal di rumah itu segera menuju ke rumah tetangganya setelah mengganti sepatunya tanpa berganti baju.

Pakaian khas olahraga sekolah.

Ting tong

Aileen kembali menekan bel rumah bercat biru tersebut, ia mengintip ke dalam dan tirai hitam tersebut masih lah terbuka lebar. Ia yakin sekali pemuda tersebut berada di dalam. Tetapi kenapa ia tidak mau membukanya? Tidak juga terdengar suara sahutan untuk membalas suara bel tersebut dari dalam rumah. Benar-benar dibuat seperti tidak ada orang di dalamnya.

Sekali lagi, Aileen mengulurkan tangannya untuk menekan bel tersebut. Kalau saja...

"Cari siapa, nak?"

Aileen menghentikan gerakan tangannya dan mengalihkan perhatian ke sebelahnya. Wanita paruh baya yang menggantungkan plastik di pagar ini!

"Mau ketemu dengan pemilik rumah ini, bu. Mama tadi membuat kue, maksudnya untuk dibagi-bagi." ucap Aileen seraya menunjukkan sebuah kotak makan yang sedikit bening, terlihat sepotong kue di dalamnya.

Wanita tersebut tersenyum, "Mari saya yang bawakan masuk, nak. Kebetulan pemilik rumahnya sedang tidak ada di tempat."

Aileen mengernyitkan dahinya, ia ingin menyangkal, tetapi wanita di depannya terlihat lebih mengenal Vino daripada dirinya. Dengan sedikit tidak rela dalam hati tetapi tetap membingkai senyum ramah di wajahnya, gadis tersebut berkata, "Ini, bu. Semoga suka, ya. Kalau begitu, saya pamit dulu, bu. Masih ada yang mau dikerjakan."

Wanita tersebut mengangguk paham, mengucapkan ucapan hati-hati. Lalu, Aileen pun mundur dari sana.

Dia pasti berada di rumah kan? Masa sih tirai terbuka, batin Aileen sepanjang jalan pulang.

♧ ♧ ♧

Wanita paruh baya tersebut menatap penuh arti punggung Aileen yang menghilang saat masuk ke dalam rumahnya. Lalu, dia juga masuk ke dalam rumah biru tersebut.

"Siapa tadi, bi?"

Wanita tersebut menutup pintu utama seraya menatap pemuda yang sedari tadi berdiri di depan pintu dengan jarak dua meter.

"Tetangga sebelahmu, Vin. Dia terlihat gadis yang baik-baik." ucap sang wanita lalu menuju ke arah dapur, membuka kotak makan tersebut dan menghidangkannya untuk pemuda yang telah ia rawat sejak bayi.

Ia tersenyum saat melihat pemuda tersebut berusaha mengintip dari jendela, tetapi tidak memaparkan anggota tubuhnya dengan sinar matahari yang sangat terik.

"Dimakan dulu, Vin. Mama gadis itu yang buat. Tidak baik membuang pemberian orang lain apalagi gadis tersebut tampaknya berkepribadian baik." ucap wanita tersebut menganggu kegiatan anak laki-laki, pemuda yang dipanggil 'Vin' segera mendekat ke arah meja makan dan memakan kue tersebut. Melihat wanita yang ia anggap sebagai mama kedua menarik tirai hitam tersebut untuk menghalau cahaya masuk.

Rasanya mirip dengan toko kue di sekolah swasta tersebut, batin Vino dengan ragu. Ia yakin bahkan citra rasanya persis sama dengan buatan toko tersebut. Mungkin, hanya sebuah kebetulan.

"Bi. Fitri, kenapa bisa ketemu dengannya?"

"Ketemu saat bibi baru saja akan masuk ke rumah, dia berdiri di depan menekan bel. Dari yang bibi lihat, dia sudah berdiri lama di depan pagar." jawab wanita yang dipanggil Bibi Fitri oleh pemuda tersebut.

"Bi, bukannya aku tidak mau membuka tetapi-"

"Kamu tidak bisa. Bibi paham. Tidak apa-apa, dia akan mengerti jika bibi jelaskan." kata Fitri dengan lembut.

Pemuda tersebut menggeleng kepalanya, "Jangan, bi. Tidak apa-apa, Vino rasa seperti ini sudah lebih baik, kok."

Fitri memasang wajah tidak pasti, "Bibi yakin, dia tidak seperti yang lain. Dia akan mengerti."

"Darimana bibi bisa tahu? Bibi hanya bertemu dengannya satu kali." balas Vino dengan tatapan yang menyorot tajam. Terkesan tidak suka dengan perkataan bibi yang akan mengatakan semuanya kepada gadis yang tidak ia kenal.

Fitri diam membisu, tidak bisa menjawabnya karena itu fakta yang benar. Vino pamit untuk duluan ke kamar pribadinya, dan meminta waktu sendiri untuk tidak diganggu.

Kamarnya yang minim cahaya, ia suka dan semakin terbiasa dengan ini. Berjalan ke arah cermin yang tergantung dan menampilkan tubuhnya sampai ke setengah badan. Menghela nafas, ia tidak akan bisa berteman dengan siapapun, dari kalangan manapun. Selamanya hanya dia seorang diri.

Hanya dirinya dengan sebuah kegelapan menemani.

Ia tidak bisa membuka jendela hanya untuk sekedar mengintip, alhasil dia meringkuk di samping kasur, mengenang kisah menyeramkan yang ia hadapi tujuh belas tahun yang lalu.

"Aku ... tidak sanggup."

♧ ♧ ♧

Sementara itu

Aileen memangku tangannya di atas meja belajar. Mama masih belum pulang, bisa jadi Tansri membawa mama ke pembicaraan yang panjang dan menarik. Tidak ada yang tahu bukan?

Ia tidak mengerti.

Kenapa tetangganya itu sangat tertutup?

Ia yakin, ada orang di dalam sana. Karena, sempat ia mendengar suara televisi menyala, namun, di saat ia menekan bel, suara televisi tersebut lenyap. Ia mengira, penghuni sedang bersiap membuka pintu lebar-lebar untuknya. Ternyata, hasilnya nihil.

Tidak ada yang terjadi.

Setelah Aileen berusaha kilas balik apa yang ia lihat, ia merasa satu hal yang janggal.

Kenapa wanita paruh baya tersebut seperti menyembunyikan sesuatu?

Seperti, wanita tersebut bersekongkol dengan Vino. Sama-sama menyembunyikan sesuatu. Apa ada yang terjadi dengan Vino sebelum ia pindah ke komplek perumahan ini?

Aileen meremat rambutnya, semakin tidak mengerti dengan yang terjadi.

"Tidak. Tidak. Lupakan, fokus belajar." ucap Aileen untuk mengakhiri pemikiran anehnya dengan mengalihkan diri untuk belajar.

Walaupun, pada akhirnya ia ketiduran karena tidak sanggup lagi untuk berpikir.

♧ ♧ ♧

To Be Continue

♧ ♧ ♧

Jadi, pertanyaannya apakah Vino dengan Vin itu sama?

Orang yang sama, ok?

Secara Fitri memanggil pemuda itu Vino, maka Aileen juga memanggilnya Vino. Nama lebih kecilnya lagi adalah Vin.

Tapi,...

Nama asli pemuda tersebut bukan Vino.

Hehe ^^

The Side Neighbour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang