11

38 11 1
                                    

"Jadi, begitu Ra. Bantu aku ya?" Aileen mengatupkan kedua tangannya di depan dada, Fira menimbang-nimbang jawabannya.

"Ayolah, Ra. Kak Arvin pasti sangat kesepian selama ini." bujuk Aileen lagi, Fira menghela napas yang disambut dengan senyuman lebar oleh Aileen. Senang kalau rencananya dipartisipasi oleh sahabatnya tersebut.

Aileen segera mengambil ponselnya, dan mengontak seseorang yang ia kenal sejak bangku menengah pertama, sama seperti saat mengenal Fira. "Kau akan memintanya untuk ikut?" tanya Fira saat melirik nama penerima yang terdaftar di layar ponselnya. Aileen mengangguk semangat.

"Sudah. Tinggal tunggu persetujuannya."

"Cih. Kau akan membujuknya sampai dia menyetujui." balas Fira dengan pedas. Aileen terkekeh malu, perilakunya diketahui oleh Fira. Wajar sih, mereka sudah bersama sejak sekolah.

"Ra, porfiria itu apa?"

"Kau tidak mungkin tidak mencari tahu kan?" balas Fira yang telah mendengar kejadian Arvin tersebut.

"Sedikit. Aku hanya tahu penyakit yang tidak boleh terkena sinar matahari." jawab Aileen apa adanya, kemarin setelah pulang dari rumah Arvin, ia bercerita tentang rencananya kepada mama sampai larut malam. Melupakan keingintahuannya tentang Porfiria itu.

"Porfiria memang memiliki banyak gejala, dari yang kau katakan, dia mengalami porfiria kulit, dia sensitif dengan sinar, bahkan beberapa orang sensitif terhadap sinar buatan dari lampu. Sepertinya Vino tidak begitu. Dia harus baik-baik menjaga diri dari sinar matahari, atau tidak kulitnya akan terasa perih, mengalami pelepuhan dan butuh waktu lama untuk sembuh." jelas Fira dengan kalimat sederhana agar mudah dipahami oleh Aileen.

"Umumnya diturunkan dari genetik, hanya salah satu dari orang tua untuk menurunkan porfiria ini, ataupun dari faktor lainnya." sambung Fira lagi.

Aileen menghela napas, perasaan bersalah mulai menggerogoti dirinya, tidak seharusnya dia membawa Arvin keluar di terik matahari, di satu sisi ia bisa pergi sendiri ke minimarket dan pulang dengan dua buah es krim dan menikmatinya bersama di rumah. Harusnya ajakan kemarin menyenangkan, malah menjadi sebuah musibah untuk Arvin.

"Ayo masuk kelas, sudah waktunya belajar. Bukan ngelamunin si Vino." kata Fira sambil merangkul lengan Aileen untuk mengantarnya ke kelas, beruntung mereka bersebelahan.

♧ ♧ ♧

Skip time

Ting tong...

Arvin membuka pagarnya dan Aileen langsung masuk ke dalam, "Kak Arvin, bantuin Aileen mengerjakan tugas Inggris ya? Aileen belum paham tentang third conditional." Aileen menatap Arvin dengan binar harapan di matanya. Kalau sudah begini, Arvin bagaimana bisa menolak permintaan gadis ini? Lagipula, ia paham dengan materi tersebut.

"Duduklah, saya akan mengajarmu."

"Apa kakak selalu memakai 'saya' dalam berbicara? Terasa kaku dan asing di telinga." 

Arvin menggaruk tengkuk belakangnya, "Jadi, saya harus bagaimana?"

"Pakai aku dan kamu saja, kak." Arvin mengangguk, sejujurnya Arvin juga tidak sekaku itu, hanya saja Aileen adalah orang asing saat bertemu pertama kali kan?

"Ayo, sekarang belajar."

Aileen mengeluarkan buku catatan dan modul bahasa Inggrisnya. Membiarkan Arvin melihat-lihat sebentar tentang materi yang ia tunjukkan tadi. Berselang dua menit kemudian, Arvin mengangguk.

"Third conditional, itu membicarakan tentang masa lalu atau past. Dia berbicara tentang sesuatu yang tidak terjadi di masa lalu dan membayangkan apa yang akan terjadi di masa sekarang. Seperti yang tertulis pada bukumu, if she had gone to university, she would have become a doctor. Kita semua tahu, jika dari kalimat ini, dia tidak melanjutkan pendidikan ke universitas dan dia tidak menjadi dokter sekarang." ucap Arvin sembari menjelaskan materi tersebut di sebuah kertas.

"Rumus yang dipakai adalah if disambung dengan past perfect, dan kalimat keduanya memakai would have dipadu dengan past participle. Sekarang, kamu coba kerjakan latihan dibawahnya, kakak akan periksa."

Aileen mengangguk patuh, di kelas, saat guru menerangkan, Aileen tidak bisa fokus, dan sepuluh menit kemudian, seorang siswa memintanya untuk menemui pelatih dan ternyata sesi latihan dipercepat untuk hari ini. Mau tidak mau, Aileen harus berganti pakaian, ia duduk di ruang ganti dengan botol minuman yang tinggal setengah. Mengumpulkan fokusnya sebelum menuju ke lapangan untuk latihan.

Aileen mengerjakan tugas dan mengerjap matanya, terasa silau dari arah jendela, saat ia mengalihkan perhatiannya, jendela terbuka lebar memberi celah untuk cahaya masuk. Aileen bergegas menutup tirai tersebut.

"Kenapa ditutup?"

Aileen terkejut, "Ah! Terlalu silau, kak. Jadi, aku memutuskan untuk menutupnya, tidak apa-apa kan?"

Arvin mengangguk, ia menyodorkan satu gelas berisi air putih untuk Aileen. "Kakak hanya punya air putih, tidak masalah kan?" Aileen menggeleng, ia mengucapkan terima kasih, air putih adalah minuman terbaik untuk saat ini. Aileen mengerjakan latihan tersebut, dan berselang beberapa menit kemudian, Aileen merenggangkan tangannya. 

"Sudah?" tanya Arvin, Aileen mengangguk. Arvin mengambil tempat duduk di sebelah Aileen, dan memeriksa pekerjaan Aileen dengan serius, sedangkan pemilik buku memandang wajah serius pemuda itu.

Terlihat kemerahan di kulitnya, ia menduga itu bekas kemarin. Karena, tadi Fira mengatakan bahwa luka tersebut akan mengalami proses penyembuhan yang lambat. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangannya, menyentuh luka tersebut dengan pelan nan hati-hati. Arvin refleks menjauh, karena, masih merasa perih di lukanya.

"Masih sakit ya, kak?"

"Sedikit, tapi, sebentar lagi juga hilang lukanya."

Aileen terdiam sebentar, "Tapi, kudengar proses penyembuhannya lama."

"Tidak juga. Kakak masih ingat, dulu saat pertama kali kakak mengalaminya, di kaki kiri kakak terdapat satu luka besar dan tampak gosong karena, kakak terlalu lama bermain di bawah sinar matahari. Awalnya, kakak mengira karena gigitan atau apapun itu. Tetapi, semakin lama semakin perih," ucap Arvin dengan mata yang berusaha mengingat masa lalunya. "memang berbekas, tapi, tidak terlalu kentara karena berada di kaki. Sedangkan wajah kakak, ini adalah perilaku bodoh. Kamu tidak boleh menirunya."

Aileen memasang wajah bingung. Ia mengira itu adalah hasil dari terpapar sinar matahari, bukan ya?

"Kakak setelah diberi tahu oleh dokter, kakak dengan sengaja melukai diri dengan pisau, Bibi melihatnya, tetapi ia tidak bisa mencegah karena kakak jauh lebih cepat melukai diri sendiri. Bibi langsung membawa kakak ke dokter, kakak diberi pelatihan secara psikis rutin dan Bibi melarang kakak untuk ke dapur sampai sekarang. Maka dari itu, Bibi selalu memberikan makanan rutin."

Aileen menyentuh guratan tersebut, ya jika dilihat memang berbeda dengan luka bakar tersebut. "Kakak berpikir pendek. Omong-omong, kakak tidak takut bertemu dengan orang banyak kan?"

"Tergantung. Asal tidak menimbulkan suara ramai dan berisik, kakak tidak masalah."

"Bagus. Sabtu malam, kakak ke rumahku ya. Mama mengundang makan malam."

Arvin menimbang ajakan tersebut.

"Ayolah, kak Arvin. Mama akan sedih, Aileen juga sedih." bujuk Aileen dengan wajah memohon.

"Baik. Kakak ke rumah sabtu malam."

♧ ♧ ♧

To Be Continue

♧ ♧ ♧

Ngebut terussss

Double uppppp 🎉

The Side Neighbour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang