Aku berjalan menyusuri toko buku di pinggir kota. Sudah tahun keempat Rey berada di sana. Email terakhir kami hanya berbincang kabar dan pemberitahuan bahwa ia ingin aku tetap menunggunya dan tidak marah saat tahu bahwa ia harus melanjutkan pendidikan kuliah disana. Aku menatap miris diri. Masalahnya hanya di waktu. Menunggu atau meninggalkan kamu, Rey. Waktu dan gurat takdir yang akan menjawab.
Tahun ini aku beralih status menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas terkenal di Indonesia. President University. Mengambil program studi hubungan internasioanal. Membahas mengenai sejarah, relasi, dan masalah politik ekonomi, mungkin sedikit menjadi bumbu sedap untuk meramaikan waktu luangku dengan tugas-menugas dan praktek lapang sehari-hari, dan sudah pasti berbeda dari temanku yang lain yang mendapat dukungan dari kasihnya.
Sesampainya di kos-an, aku segera merebahkan badan. Menatap langit-langit kamar. Membayangkan hal-hal yang dilakukan Rey di tahun keduanya kuliah di sana sekarang bersama para pelajar dari penjuru dunia. Ah-ya! Aku dan Rey. Umur kami terpaut setahun lebih tua Rey. Apa Rey sedang memikirkanku juga disana? Mungkin saja tidak. Buktinya, jarang sekali dia mengirimkanku email masuk. Frustasi sekali rasanya tiap kali memikirkan Rey!
"Alika, tugas udah?" ujar salah satu teman satu prodiku yang segera membuatku bangkit dan menepuk jidat.
"Emang pengingat yang baik lo tuh, gue aja udah lupa, hehe" ujarku sambil menyengir lebar.
"Galau lagi? Reyhan lagi?" ujarnya membuat gerakanku terhenti.
"Ga usah di sebut namanya lagi lah ji, gue udah males" kataku sarkatis
Entahlah, ada emosi berbeda kali ini jika namanya disebutkan oleh orang lain. Entah jenuh atau bosan yang jelas perasaanku serta-merta tak terdefinisi lagi. Lagi pula pesan terakhir darinya juga tak kunjung kubalas. Dan, setelahnya ia juga tak mengirimkanku email. Yasudah!
"Belum ada kabar lagi?" Tanya jihan padaku. Aku segera menggeleng pelan.
"Jadi, bagaimana rencanamu? Masih mau meneruskan?" lanjut jihan membuatku membeku sesaat.
"Alika?" panggilnya. Aku menoleh. Mengangkat bahu.
"Entahlah, belum kupikirkan hinga sana" bohongku padanya. Berat sekali menyudahinya. Karna memang sejujurnya aku bukan seseorang yang tahan untuk menunggu. Lagi pula mana ada wanita di dunia ini jika dipinta menunggu akan baik-baik saja. Tidakkah Rey memikirkan itu?
"Hmm.. baikah. Lanjutkan dulu saja tugasmu" kata jihan lalu berjalan pergi
Aku menghela nafas kasar. Lagi-lagi aku memikirkannya. Apa mungkin dulu aku terlalu kecil sehingga dengan naif aku menelan mentah-mentah setiap ucapannya. Dan seiring aku bertambah umur kini aku tersadar bahwa yang telah lama kutunggu sepertinya takkan kunjung datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Pergi dan Perasaan
Teen FictionPulangmu untuk pergi. Pergimu untuk tinggalkan kenangan. Termasuk aku. Bayanganmu. Dan, segudang perasaan.