Dering suara telepon yang begitu memekakan telinga memaksaku bangkit dari pembaringa. Sambil merutuk kesal aku mengangkat panggilan tersebut.
"Hmmmm..."
"Kamu masih tidur Al? Dasar! Ayo kita lakuin list keinginan kamu selanjutnya." Oceh Rey bersemangat.
"Iya-iyaaa.."jawabku malas. Kemudian segera mematikan sambungan telepon.
Aku segera berjalan menuju ke kamar mandi dan bersiap berbenah diri. Setelah siap untuk berangkat, tiba-tiba rasa sakit yang aku dera semalam kembali lagi. Aku segera mendudukan diri lemas. Memikirkan bahwa Rey sudah menungguku lama disana pastinya.
Suara klakson mobil bersautan di depan kos-an. Buru-buru aku memeriksanya khawatir itu adalah Rey yang sedang menunggu. Tapi, bagaimana Rey tahu alamat kos-an ku? Aku berjalan perlahan menghampiri mobil tersebut. Tak lama muncul seseorang dari balik kaca mobil.
"Neng, Alika ya?"
Aku bingung. "Iya dengan Saya sendiri. Bapak siapa ya?"
"Saya supir yang bertugas menjemput Neng"katanya membuatku paham. Aku mengangguk mengerti lalu menaiki mobil tersebut.
Pukul sepuluh pagi, aku masih berada di jalan. Sesekali aku mengirimkan pesan permintaan maaf karena membuatnya lama menunggu disana. Tiga puluh menit kemudian aku sampai menuju destinasi. Kulihat sebuah danau terhampar luas di depan sana. Aku tersenyum berbinar.
"Makasih banyak Rey." Ujarku pada Rey disambut sebuah senyuman lebar dari wajahnya.
"Rey, benar-benar mengabulkannya. Dari dulu aku memang ingin sekali berada di depan hamparan danau nan sunyi untuk menenangkan pikiran." Batinku membuncah.
"Dor. Kamu ngelamunin apa sih Al?"
Aku tersenyum.
"Gimana masa depan nanti." Kataku asal. Rey menatapku dalam.
"Gabisa ya Al? Kita hidup dengan ngejalanin masa sekarang?" ujar Rey yang membuatku dengan cepat beralih menatapnya.
"Maksud kamu Rey?" kataku dengan nada agak meninggi.
"Terlalu memikirkan masa depan tanpa memikirkan dan berusaha menerima apa yang kita jalani sekarang, bukankah hanya terasa menyakitkan? Selamanya kamu akan hidup dengan waspada dan curiga." Kata Rey membuatku mulai merintikan air mata.
"Maksudmu?"
"Tetap berada disisiku." Ujar Rey
"Rey, Sudah hampir lima tahun aku menunggumu. Dan kamu hanya berkata seperti itu? Kamu tau tidak ada wanita yang baik-baik saja jika harus menunggu. Dan kamu meintaku untuk terus disisimu? Lalu, bagaimana mana kita di masa depan?" kataku berurai air mata.
Rey terdiam. Aku bangkit berdiri.
"Bahkan aku gak tau apa yang kamu lakuin, apa yang kamu pkirin. Seolah kamu gak ngebiarin aku masuk dalam dunia kamu. Dan dengan mudahnya kamu buat aku nunggu tanpa kabar..."
"Aku pikir kamu butuh waktu buat nenangin diri, Al. Makanya aku ga langsung mengirim email lagi." Sela Rey sambil menahan pergelangan tanganku
Aku memejamkan mata. Menahan tangisku yang sepertinya akan membludak.
"Aku pikir sekarang pikiran kamu lebih tentram, makanya aku..."
"Cukup. Menentramkan pikiran ga semudah yang kamu bayangin Rey. Bagaimana aku menjejalkan langkah kalo fikiran kita ga lagi sepadan dengan tujuan? Gimana lagi Rey....." ucapanku terhenti. Aku menanis tersedu. Bukan. Bukan hal ini yang kuharapkan.
"Gimana lagi aku harus berkata, kalo hati sama logika kita juga sekarang seolah ga berjalan bersisian?" tambahku lagi sambil melepas cengkramannya lalu berjalan pergi.
֍
Aku segera membaringkan tubuh dalam pembaringan. Hari masih sore. Tapi permasalahan hidup seolah sudah mencapai puncak membuatku muak untuk meneruskan kisah ini. Dalam hal ini, hal dimana aku dipertemukan dalam titik kehilangan percaya dan lelah dengan perjalanan yang ada. Tapi perasaanku menolak untuk menjauhinya.
Memikirkan Rey teus menerus membuatku ingin berhenti dalam membangun hubungan yang dasarnya tak memiliki fondasi kuat untuk dibangun. Iya. Aku ingin sekali menyerah untuk menunggu dan hendak membuka lembar baru. Nyatanya, aku tidak bisa. Perasaanku pada Rey lebih besar daripada memenuhi egoisku sendiri. aku segera bangkit untuk berganti dan menyeduh kopi.
Jihan akan menetap dua minggu di kampungnya, dan membuatku leluasa untuk meminum kopi tanpa ocehan dan omelan darinya. Aku meraih laptop kemudian berinisiatif melanjutkan sebuah kisah disana. Selang sepuluh menit telfonku berdering.
"Halo.."
"Halo, Alika.."
Ini Ka Ares.
"Iya, Ka. Ada apa?"
"Bisa kita ketemu di Cafe 36.5?"
"Oh iya ka. Jam?"
"Sejam, setelah ini." Ujar Ares. Aku menyetujuinya. Tak lama sambungan terputus.
Aku segera merapihkan, sisa makan minum juga pekerjaan mengetik tadi. Kemudian rasa sakit beberapa jam yang lalu kembali lagi, kali ini menyerangku lebih menyakitkan. Aku terduduk lemas sambil memejamkan mata dan menarik napas. Lima menit kemudian rasa sakit tersebut menghilang. Aku mulai khawatir dan was-was mengenai hal ini.
Merasa sudah siap. Aku segera berangkat menuju cafe tersebut. Sesampainya disana kulihat Ka Ares telah sampai terlebih dahulu. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun membalas.
"Gimana keadaannya Al?"
Aku terdiam sejenak. "Oh, sehat Ka!"
"Ada keluhan?" tambahnya. Aku menggeleng.
Kemudian kami menhobrol banyak hal mulai dari hasil konselingku hingga masa laluku dahulu. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan memukul Ka Ares. Aku berteriak histeris. Kulihat wajah seseorang yag begitu familiar disana.
"Ngapain lo berduaan sama cewek gue?" ujarnya membuatku terkejut. Tak lama ia melayangkan pukulannya kembali membuat memar di sekitar bibir Ka Ares.
"Rey, cukup" teriakku sambil berusaha menghadang pukulan tersebut yang akhirnya melayang ke arahku membuatku tersungkur.
Remang-remang kulihat wajah keduanya menatapku.
"Alika, Al.. bangun Al.."
"Alikaa.."
Sesuatu terasa mengalir. Aku merabanya. Kemudian aku terlelap tak sadar.
֍
Aku terbangun di sebuah hamparan rumput luas. Kemudian ikut bermain dan berlari bersama kawan sebayaku. Seorang nenek tersenyum diatas sebuh kursi kayu lalu membuka buku dan membaca dengan suara keras apa yang ada di dalamnya.
"Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi. Tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi tapi diantara larik-larik sajak ni, kau akan tetap kusiasati. Pasda suatu hari nanti, impianku tak dikenal lagi. Namun di sela-sela huruf sajak ini, kau takkan letih-letihnya kucari"
Aku berhenti berlari. Kemudian berjalan menghampiri nenek tersebut.
"itu karya siapa eyang?" salah satu dari kami menyeletuk
"Sapardi Djoko Damono."
Aku membeku. Kupandang kembali nenek tersebut dan anak perempuan disampingku. Aku kembali di masa sepuluh tahun lalu. Kemudian mereka tersenyum.
"Kembali untuk hidup adalah sebuah anugerah." Ujar eyang tiba-tiba
"Maksud Eyang?" kataku tak mengerti
"Dahulu, ketika aku tidak bisa memprediksi kematianku sendiri, aku terlalu sibuk memikirkan apa yang kurasa. Aku terlalu sibuk memenuhi egoku. Tanpa memikirkan bahwa ada sesuatu yang sebenarnya lebih penting" Ujar Eyang sambil menatap langit
"Ketika sudah seperti ini aku kembali berharap akan ada lampu peringatan atau sekedar pesan untukku sebelum nasib buruk tiba-tiba datang. Mungkin rasa sakitnya memang tak terhindarkan. Namun, setidaknya aku siap." Tambah Eyang sendu. Aku memeluknya erat
"Namun bukankah hidup tidak seperti apa yang kita inginkan? Kita juga tidak tahu kapan akan berpisah. Karna takdir kita hari iini akan mempengaruhi takdir kita esok." tambah eyang membuatku ikut menangis.
Eyang menarik wajahku. "Setiap orang pasti mengalami masa kelam dalam hidupnya, Alika. Seolah yang ia rasakan tak ada cahaya dalam terowongan yang sangat panjang." Aku mengangguk pelan.
"Tapi, Alika gak punya alasan untuk ngelakuin hal indah buat diri Alika sendiri atau melanjutkan hidup. Alika mau disini sama Eyang aja."
Eyang menarikku kedalam pelukannya lalu mengusap punggungku lembut. "Alika, mungkin hal terindah bagi kamu sudah tidak ada. Itu sugesti hatimu. Tapi, ada beberapa hal indah yang masih kita bisa rasakan selagi kita masih hidup. Ungkapkanlah perasaan kita kepada orang terkasih dan berterima kasihlah pada mereka. Sebelum tiba waktunya, lakukanlah." Ujar Eyang membuatku berbinar menatapnya diikuti anggukan pelan milikku.
Aku bangkit berdiri kemudian secercah cahaya menghampiriku.
"Ketika seseorang di sisimu tak lagi menganggapmu ada. Tetaplah bertahan dan bahagia.pepatah mengatakan karna kebahagiaan tidak dicari tapi diciptakan."
֍
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Pergi dan Perasaan
Teen FictionPulangmu untuk pergi. Pergimu untuk tinggalkan kenangan. Termasuk aku. Bayanganmu. Dan, segudang perasaan.