Delapan -Ruang Baru?

31 4 0
                                    

Sesekali aku merapihkan tumpukan kertas yang berserakan diatas karpet sembari memperbaiki posisi kacamataku yang bertenggger  dihidung. “cukup melelahkan” batinku berkecamuk setelah menutup tugas makalahku tadi. Kemudian, merebahkan tubuhku diatas kasur menatap langit-langit kamar.
Memikirkan kehidupanku di masa selanjutnya. Memang benar, tidak ada yang kekal di dunia. Begitupun dalam menjalin hubungan. Ada masa ketika kata berjarak seolah terasa lebih baik daripada berdekat.
“Alika..” aku menoleh ke arah pintu kemudian membukanya.
‘Jihan’
“Lu mikirin apa sih, gue ngetok daritadi ga disautin” ujarnya sewot
“hehehe” ringisku sambil menyengir datar kearahnya.
Aku kembali menuju kasurku kembali menatap langit-langit hampa. Hingga akhirnya aku terlelap tidur.
֍
Aku kembali masuk kuliah dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Terlihat seperti membosankan dan kenyataannya sungguh membosankan. Pulang-pergi menju kampus tanpa melakukan suatu hal lain layaknya pasangan pada umumnya. “Rey, kamu sebenarnya serius sama aku ga sih”. Lagi-lagi jika memikirkan perihal pasangan batinku kembali bergejolak memikirkan keberadaannya.
Awan kian menggelap. Perjalananku menuju kos-an masih terbilang jauh. Aku menikmati perjalanan sembari memperhatikan sekeliling yang di hiasi lampu jalan menemani langkah kakiku pulang. Namun, pandanganku terhenti dengan sosok di ujung jalan yang seperti sedang menyeret tubuhnya. Perlahan aku berjalan mendekatinya kemudian melompat mundur melihat seorang pria sedang meremas tiang lampu di balik semak. “too..lo..ng” katanya membuatku merinding.
“Anda, kena..” belum sempat menyelesaikan kata-kataku, aku kembali tercengang melihat luka tusuk di sekitar punggungnya. Buru-buru aku meraihnya menuju jalan setapak. Kulihat di bawah remang lampu jalanan,sebuah luka menganga lebar di area perutnya.
Pria tersebut mencengkramku erat sambil terus mengucapkan kata tolong. Aku sudah menghubungi ambulans untuk menolongnya. Kulihat ia meringis kesakitan. Buliran keringat akibat menahan sakit bercucuran di sekitar dahinya. Kulihat ditangannya yang telanjang walaupun mencengkram pergelanganku buku-buku jarinya memutih. Aku menangis.
Tiba-tiba ambulans datang, aku pun ikut kedalam. Beralih peran sementara ini menjadi wali nya. Entah perasaan apa yang merasukiku, aku mulai menangis melihatnya. Seolah perasaan terpendamku ikut terenyuh mengalir bersamaan bersama luapan tangisan ini.
Pria tersebut tiba-tiba menatapku lalu menjulurkan tangannya dan menghapus air mataku. Aku terdiam, membeku. Kulihat ia memberikan seulas senyum. Aku berhenti menangis kemudian ikut tersenyum kepadanya.
֍
Tak sadar jam menunjukan pukul 23.00. kulirik handphoneku, lalu menyalakan jaringan data. ’50 panggilan tidak terjawab’. Ya ampun aku lupa mengabari Jihan perihal kejadian malam ini. Segera, aku mengabarinya dan menceritakan kejadian yang tadi terjadi. Setelah ia puas memarahiku, kemudian ia meminta maaf. Aku hanya tersenyum geli mendengarnya lalu panggilan disudahi.
Dari ruang operasi, lampu kini berubah menjadi hijau. Beberapa suster keluar dari ruangan tersebut. Aku berdiri hendak bertanya. Lalu, seorang dokter keluar menghampiriku.
“Anda walinya?” tanya dokter tersebut. Aku mengangguk
“Kurang lebih Ia mendapatkan 10 jahitan di perutnya. Dan untungnya pendarahannya tidak begitu parah karna pasien langsung dibawa kerumah sakit”
Aku menghela nafas lega. Bersyukur bahwa kondisinya tidak terlalu parah seperti yang aku bayangkan. “iya, terimakasih dokter, Saya bisa masuk ruangannya?” tanyaku yang disambut dengan anggukan “silahkan”. Buru-buru aku membuka pintu kemudian menjejalkan langkah menengoknya.
Kulihat sosok pria tersebut sedang terbaring lemas diatas pembaringan dikelilingin berbagai selang di tubuhnya. Aku berjalan mendekat. Lalu sepasang mata teduh itu terbangun. Aku berhenti melangkah. Atmosfer keadaan berubah menjadi canggung. Kulihat jemarinya bergerak memintaku datang menghampirinya.
Mendapati hal tersebut aku kembali berjalan mendekatinya disambut dengan seulas senyum miliknya lagi. “tri..ma..kasih..” katanya pelan dibalik alat bantu bernafasnya. Aku tersenyum kikuk. Bingung harus bersikap apa sekarang. Kemudian aku mengambil langkah untuk duduk disisi kanannya. Hingga tak sadar aku pun terlelap tidur.
֍
Secercah cahaya matahari menyelusup diantara gordyn jendela, kilaunya menusuk retina mataku tajam sehingga membuatku terbangun dari alam mimpi. Aku menatap langit kamar kemudian kembali menarik selimut erat. Tunggu. Selimut? Aku segera bangun dari tidur dan memperhatikan sekeliling. Kulihat pria tersebut sedang menatap keluar jendela dengan infus yang masih menempel di punggung tangannya.
Dengan langkah pelan, aku berjalan menuruni ranjang. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi. “udah bangun?” ujarnya membuatku langkahku seketika membeku. “mau kemana?” katanya sambil berjalan menghampiriku. Aku langsung berdiri tegap dan menutup wajahku dengan punggung tangan. Ia tertawa renyah.
“kenapa? Malu ya?” katanya ramah.
Aku mengangguk malu.
Tanpa suara, ia tetap mendekatiku lalu meraih kedua tanganku turun. Aku menutup mata. Berusaha menahan malu dengan tak melihatnya. Aku hendak melangkah mundur. Namun ia mencengkram pundakku erat.
“biar saya bersihin” katanya tiba-tiba membuatku kikuk
“engga ka, saya aja.. maaf” ujarku sambil melepas cengkramannya
Namun, tangannya sudah terlanjur menyentuh area permukaan wajahku. Aku tersipu dibuatnya. Ia menatapku gemas lalu menurunkan tangannya. “udah tuh” aku tertawa renyah, malu-malu.
“Saya ke kamar mandi dulu ka” ujarku disambut senyum hangat miliknya. Setelah berada di kamar mandi, aku segera menghubungi Jihan untuk menitip absen bahwa aku sedang izin tidak mengikuti kelas dulu hari ini dengan alasan sakit. Mendengar hal itu seperti biasa, beberapa omelan miliknya akan bersaut-sautan di telingaku. Aku hanya diam mendengarkan dan meng-iya-kan. Kemudian, sambungan terputus.
Keluar dari kamar mandi, pria tersebut menatapku lekat hingga membuatku agak sedikit risih olehnya. “sekali lagi saya berterima kasih” katanya. Aku menganggguk dan tersenyum kikuk. Sejujurnya, aku sedikit canggung dalam situasi seperti ini. Tak mengenal sosoknya namun aku sukarela menolongnya. Sejujurnya, itu termasuk hal baik sih, tapi. Yasudahlah sudah terjadi.
“mikirin apa?” tanyanya sambil menatapku binggung
Aku menggeleng pelan. “kalo boleh tau nama kamu..”
“Ares. Panggil saya Ares.” Ujarnya tiba-tiba menyela ucapanku. Aku tersenyum “oh,iya” kataku. “Kamu?”
“Alika.” Kataku disambut dengan acungan jempolnya.
“Boleh minta no telponnya Alika?”
“Eh?”
“Saya berhutang sama kamu, mungkin di lain waktu saya bisa ngebalas kebaikan kamu.” Kata ares membuatku terenyuh.
Kemudian, aku dan Ares saling bertukar nomor handphone dan berbincang kecil tentang diri kami. Hingga tak terasa waktu pun mulai berangsur sore. Aku pamit pulang karna besok masih ada jadwal kuliah dan tugas-tugas yang mesti dikerjakan.
֍
Setelah kejadian tersebut, aku dan Ares belum berjumpa kembali, bahkan saling mengontak satu sama lain. Aku sendiri pun masih belum ingin membiasakan diri untuk terlalu dekat berinteraksi dengan lawan jenis. Tidak ingin melibatkan urusan perasaan lebih jauh nantinya.
“Alika? Kopi lagi?” ujar Jihan dengan ekspresi yang terlihat seakan menerkamku lalu melahapku hidup-hidup. Aku menyengir lebar.
“Mau sampe kapan sih, Alika? Lu mau bunuh diri lu perlahan?”
“Baru 5x mah ga ngebunuh kali han” jawabku santai
Jihan menoyorku kasar kemudian menarik kopi tersebut, hendak membuangnya. Aku buru-buru mengejar dan menahan gerakannya. “Jihan, Plis bentar”
“Alasan apalagi sekarang?” katanya menatapku bengis
“Gue lagi banyak tugas serius deh ini”jawabku bohong
“Terakhir buat hari ini, inget!” aku menghela nafas kasar “Iye!” ujarku malas lalu kembali melanjutkan pekerjaanku berada di depan laptop. Tiba-tiba handphoneku berdering. Sebuah notifikasi masuk.
“P”
“Dengan Alika?”
Entah mengapa darahku seakan berdesir mendapat pesan tersebut. Tidak seperti biasa.
“Iya, ini Alika. Ini dengan siapa?”
“Ini Saya Ares. Bisa bertemu besok?”
Aku hampir berteriak girang. Eh?
“Iya bisa Ka Ares. Dimana?”
Lama ia tak membalas.
“Cafe 36.5”
֍

Pulang, Pergi dan PerasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang