Aku segera menyetujui ucapannya. Percakapan kita berakhir disana. Ini terlihat bukan seperti perasaanku sebenarnya. Apa aku mulai mencoba membuka hati baru lagi dengan pengharapan-pengharapan dalam angan? Apa aku akan mulai membiasakan diri terhadap seseorang selain Rey?
Kembali. Aku kembali meratapi diri. Sembari sesekali menyeruput kopi dan memikirkan Rey disana. Masih belum ada email baru dari email yang dua bulan lalu ia kirimkan. Aku menghela nafas kasar. Tidak mudah jika aku harus terus melanjutkan hidup seperti ini.
Seolah takdir ini menyeret untuk menyiksaku menanggapi skenario yang telah terbungkus rapi karna menyayanginya. Membiarkan aku terlanjur larut memikirkan, membiarkan aku terlalu lemah untuk melawan sebuah perasaan. Dan, hingga detik ini pun aku hanya bisa bertahan.
“Kamu jahat Rey”
Lagi-lagi hujan menghampiriku. Kubenamkan wajahku dalam pada bantal. Meredam tangisan agar tak terdengar. Meredamnya agar perasaanku mungkin nanti akan lekas hilang.
֍
Hari ini. Hari ini aku akan bertemu dengannya. Rasanya aneh sekali saja. Baru kali ini aku mementingkan penampilanku selain bersama Rey untuk berpergian. Kali ini aku memilih busana long dress untuk pertemuan kita selepas aku pulang kuliah nanti.
Sesampainya di kampus juga banyak yang memuji penampilan baruku.aku sedikit tersipu dibuatnya. Bagaimana tidak? Yang biasanya aku datang ke kampus mereka acuh tapi kini beramai-ramai memuji. Namun seberusaha mungkin aku terlihat untuk humble tidak terlalu mencolok dihadapan teman-teman.
“Ada apa ni Al?”
“Pajaknya doonggg”
Aku hanya tersenyum dan menyilangkan tangan. Sembari sesekali memberi penjelasan pada mereka bahwa tidak ada hal yang begitu spesial sehingga membuatku untuk merubah sedikit penampilanku hari ini.
Pukul tiga sore. Pas sekali waktu kuliah selesai. Aku segera beranjak menuju kafe tersebut. Kulihat didalamnya ada seorang lelaki memakai topi dan kacamata hitam. Ragu jika itu dia.Aku segera menelfonnya. Dan, benar saja pria tersebut juga sedang mengangkat ponsel. Aku buru-buru masuk kedalam dan menyapanya.
“Hai, ka” sapaku
“Hai, Alika. Pulang kuliah langsung kesini ya”
Aku mengangguk. “Mau minum apa Alika, biar saya traktir”tambahnya.
Aku menggeleng. “Gak usah ka.”
“Saya maksa loh ini.” Katanya meledek. Aku tertawa kecil.
“Iya ka, lemon tea aja”
“Oke” jawabnya sembari memanggil pelayan resto tersebut.
“Gak usah nunduk gitu Alika, jadi gimana kuliahnya?”
Aku tersenyum. “Hehe, iya lancar ka. Kaka, kuliah juga?” kataku spontan penasaran
Ia terbahak mendapati pertanyaan tersebut. “Keliatan masih muda ya?”
Aku tersedak. Merasa malu akan sikapku tadi. Lalu menunduk malu.
“Gapapa Alika. Saya sebenarnya dokter spesialis tapi pekerjaan sampingan saya juga menerima konseling ”
Aku melotot mendengarnya. Dokter spesialis? Berarti umurnya?
“Kalo kamu mikirin umur saya,ga terlalu beda jauh kok. Sekitar enam tahun mungkin” katanya percaya diri. Aku menelan salivaku bulat. Enam tahun ia anggap tidak beda jauh. Aku tersenyum kecil kearahnya.
“Saya, berhutang budi sama kamu. Kalo kamu gak nolongin Saya, mungkin Saya udah berada dibawah tanah ini. Oh iya ini kartu nama Saya. Kalau kamu butuh bantuan apa-apa silakan hubungi Saya. Atau hanya butuh teman bercengkrama? Hahaha” ujarnya terlihat tulus. Aku tersenyum.
“Iya Ka Ares. Terima kasih banyak.”
Setelah berbincang banyak dengannya. Aku merasa hari baruku mulai ter-awali lagi. Rasanya menyenangan saja berbincang banyak dengannya. Seolah-olah ia seperti bisa menerka-nerka apa yang aku pikirkan bahkan beberapa sifatku hanya dengan melihat sebuah pohon yang aku gambar.
Hari ini terlihat begitu lucu. Beberapa yang hadir dan singgah dalam hidup kita terkadang pergi. Hingga kita berada di masa kehilangan percaya. Sesuatu dikirimkan pada kita. Entah sesuatu tersebut lebih baik dari rencana atau berbanding terbalik dengan fakta.
֍
Pertama kalinya dalam hidupku, aku mengikuti saran seseorang untuk mendatangi bimbingan konseling. Iya. Siapa lagi kalo bukan karena paksaan Ka Ares. Sekaligus dokter konseling pribadiku. Aku melangkah masuk kedalam rumah sakit dan ketika hendak memasuki ruangannya, beberapa tatapan aneh itu muncul.namun, aku tidak terlalu menghiraukannya.
“Permisi..” kataku pelan. Disambut senyum hangat milik ka Ares
“Alika, sini duduk. Pas banget. Saya juga lagi nunggu kamu”katanya
Aku tersenyum kikuk mendengarnya. Antara perasaan bahagia dan tertahan bercampur menjadi satu disana. Sesi konseling kami di awali dengan menggambar sebuah pohon.
“buat apa ka?” tanyaku bingung
“Udah gambar aja” katanya yang akhirnya disetujui olehku
Selama sekitar sepuluh menit menggambar, sesekali aku melirik Ka Ares yang masih membeku memperhatikanku. Terkadang aku merasa risih dibuatnya. Namu dengan tingkah alami buatannya membuatku secara tak sadar kembali merasa nyaman. Selesai menggambar, dia memperhatikanku sekilas lalu tersenyum dan meraih telapak tanganku.
“Eh?” ujarku kaget
“Gapapa, kaka cuman mau liat aja”ujarnya sambil memejamkan mata
Aku tersenyum tipis.
“Boleh kaka tau cerita kamu dari masa kecil dulu?”
Aku terdiam.
“Boleh?” tanyanya memastikanku
“Eum.. aku gatau persis kisah masa kecilku ka...”ujarku menunduk
Ia tersenyum. Lalu mengelus pucuk kepalaku lembut.
“yang kamu tau aja gapapa, Alika. Apapun itu. Jangan ditahan.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Baik ini kisahku.
"Alika Nadia Putri. Kehidupanku sebagai seorang anak-anak tidak begitu istimewa seperti layaknya beberapa anak lain. Ketika aku masih menjadi anak kecil, aku lebih banyak mengingat kesedihan diriku. Lebih banyak mengasihani diriku. Lebih sering mengutuk diriku. Kemudian, bertanya-tanya. Kenapa aku dilahirkan hidup.
Aku hidup untuk dituntut selalu bisa. Bahkan aku juga harus menjalani masa taman kanak-kanakku hingga tiga tahun lamanya. Hingga ketika teman-temanku bertanya perihal berapa tahun mengalami masa taman kanak-kanak aku ikut menjawab dua tahun. Mengingat bahwa aku terlampau tua untuk berada di lingkungan sejajar dengan mereka.
Dari kecil aku di tuntut untuk hidup mandiri. Orang tuaku seorang yang giat bekerja hingga terkadang jika pulang sekolah, aku akan berjalan sendiri bersamaan dengan bayangan menyusuri setapak demi setapak langkah untuk pulang.
Ketika waktu libur sekolah keduanya bekerja, aku akan tetap berada di rumah sambil menonton kartun hachi ‘seorang lebah yang mencari ibunya’ namun terlihat seolah hachi yang di telantarkan. Kemudian aku menangis. Dan itu aku dapatkan selama tiga tahun sebelum memasuki sekolah dasar, kemudian aku lantas berfikir. ‘Apa mungkin aku juga sama seperti hachi?’
Memasuki sekolah dasar, kegiatanku semakin di padatkan sepulang sekolah dengan mobil jemputan, aku harus langsung segera mengikuti bimbingan belajar bahasa Inggris. Di susul tiga tahun kemudian aku juga mengikuti bimbingan belajar bahasa Arab dan semua mata pelajaran.
Momen itu selalu mengatakan bahwa aku harus terus berusaha, bekerja keras. Menuruti kemauan orang tuaku agar aku bertahan pada posisi ranking tiga besar di sekolah. Semata-mata aku melakukannya agar mereka dan orang-orang di sekitarku melirikku. Nyatanya. Aku masih sama dengan yang lalu.
Terlepas dari itu terkadang aku ingin membodohi diri lalu bisa dengan leluasa dan bebas bermain seperti teman-teman yang lain. Tapi, sekali lagi. Aku sudah berada sampai sini, dan mustahil untuk kembali mengulang waktu yang tak mampu kuraih. Aku hanya mampu tersenyum lesu dan mengurung diri.
Kerap kali, intonasi tinggi dan ayunan kepal tangan melayang kepadaku. Aku hanya bungkam dan menangis. Membuatku merasa semakin sulit melanjutkan hidup dan ingin menghilang saja dari bumi. Dimana dalam mimpi dan doaku berharap aku di kirimkan seseorang yang mengertiku dan aku ikut mengertinya.
Hingga akhinya, aku beranjak memasuki masa sekolah menegah pertama. Tanpa basa basi segera kupilih sekolah berasrama. Mereka menghargai keputusanku. Lalu, menjengukku yang terkadang pernah beberapa kali tiga bulan per semester. Aku baik baik saja. Disini aku bersorak senang. Banyak pengalaman dan orang-orang yang lebih memerhatikanku disana.
Masa sekolah menengah pertamaku adalah masa terindah dalam hidupku. Di masa itu banyak pengalaman dan kenangan yang seakan membuatku lupa akan aku yang lama. Disana mereka mengubahku menjadi seseorang yang lebih berani dan percaya diri untuk tampil dan terus mencintai diri sendiri.
Hingga.. akhir masa tersebut selesai. Aku kembali jatuh pada sekolah pilihan orangtuaku untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Fase dimana dua tahun lebih aku menjadi seorang yang larut bersendu. Merasa bahwa aku ibarat manusia yang tak pantas mendapat bahagia.
Hari demi hari, aku mulai membangun dunia milikku atas kesedihanku. Aku mulai belajar beberapa hal mengenai menulis. Lalu membaca beberapa referensi buku, kemudian mulai membuat garis cerita dengan menentukan alur dan menambahkan tokoh disana.
Saat itu aku mulai berkeinginan menulis kisah hidupku. Sehingga ketika para pembaca menjadi orang tua nanti aku berharap, agar kalian bisa mengatur diri, memahami perasaan keturunan kalian nanti kedepannya. Agar mereka bisa memahamimu ataupun dirimu yang seharusnya bisa memahaminya.
Pesanku tulus. Aku tak peduli jika harus di ingat atau tidak. Karna ada beberapa hal yang mesti kita jaga sebelum raib dimakan usia. Maka, jagalah. Jagalah, sebelum yang berada di sekitar kita menjadi tidak ada."
Kisahku berhenti dengan setetes air mata membasahi pipi.“Itu lebih dari cukup Alika. Terima kasih”
“Saya paham perasaan kamu. Dan salut dengan pribadi kamu yang bisa bertahan hingga saat ini. Ini ada beberapa resep obat buat kamu, jangan lupa untuk rutin di minum.” Jelas Ka Ares padaku. Aku menanggapinya dengan anggukan.
“Makasih ya kak. Saya pamit dulu.” Ujarku sambil berlalu keluar ruangan
Aku pamit.
֍
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Pergi dan Perasaan
Teen FictionPulangmu untuk pergi. Pergimu untuk tinggalkan kenangan. Termasuk aku. Bayanganmu. Dan, segudang perasaan.