Subang, 04 September 1996
Ketika suara sayup azan bergema, memecah sepinya subuh hari. Kehidupan, baru saja dimulai. Seorang bayi laki-laki lemah, yang hanya bisa menangis karena takut menghadapi kehidupan, baru saja lahir dari rahim seorang wanita bernama Siti Cahaya.
Detik mengalir tak begitu lambat, sementara paraji membersihkan tubuh Cahaya yang berlumuran darah. Muhammad Juani telah sibuk menggendong dan mengazani bayi laki-laki yang baru lahir tersebut.
Bayi mungil itu putih dan bersih, Juani tak kuasa menahan bibir yang terus melebar kesamping. Hati pria berkulit sawo matang itu berbunga-bunga merasa bahagia, ia tak percaya bahwa yang digendongnya sekarang tak lain adalah anaknya sendiri.
Juani meletakan wajahnya tepat di samping kanan putra sulungnya. Perlahan azan itu dikumandangkan dengan suara khasnya yang begitu merdu.
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.... Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.... Asyhadu allaa illaaha illallaah. Asyhadu allaa illaaha illallaah... Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah... Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah... Hayya 'alashshalaah... Hayya 'alashshalaah... Hayya 'alalfalaah. Hayya 'alalfalaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar... Laa ilaaha illallaah...." Tak terasa butiran bening pun menetes di atas permukaan pipi Juani.
Pria yang baru saja menyandang gelar ayah itu tak hentinya memandangi wajah bayi mungil di hadapannya. Juani mengecup kening putra sulungnya, ia duduk di atas kursi yang tak jauh dari ruangan tempat Cahaya melahirkan.
"Nak, kamu begitu indah. Matamu memancarkan ketulusan. Insya Allah, kelak kamu akan mejadi anak yang saleh. Ini Abah, Nak. Ini Abah!" ujar Juani yang terus menciumi putranya.
Juani menengadakan kepalanya, ia berkata, "Terima kasih, ya Allah. Engkau telah mengaruniakan hamba seorang putra yang begitu sempurna. Terima kasih, Engkau telah memberi hamba sebuah kepercayaan untuk mengemban amanah sebesar ini," ungkap Juani mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Saat memandang wajah mungil putra sulungnya, ingatan Juani membawanya pada masa enam tahun lalu, saat dirinya baru saja menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliah.
***Purwakarta, 1990
Semua siswa-siswi MAN Cipulus telah berdiri di hadapan papan pengumuman sekolah. Mereka berdesakan satu sama lain untuk melihat hasil kelulusan angkatan 1990. Muhammad Juani sedari tadi menunggu mading sekolah itu sepi dari riuh teman-temannya.
Juani menyaksikan teman-temannya yang berlarian menguncap syukur atas kelulusan yang didapatkan mereka. Setelah tempat itu cukup sunyi, perlahan ia mendekat ke arah mading. Lelaki berkulit tak begitu gelap itu melihat ke papan pengumuman.
Nama Muhammad Juani berada di urutan ke dua setelah rival sekaligus teman dekatnya, yaitu Abdul Aziz. "Alhamdulillah, ya Allah." Juani mengucap syukur.
Juani menundukan kepalanya, tak terasa mata pemuda itu mulai mengeluarkan butiran bening yang ada di dalamnya. Juani perlahan mulai mengusap air mata yang hendak mengalir ke pipinya. 'Semoga emak dan abah bangga dengan hasil nilaiku ini, ya Allah.' Juani membantin
Terdengar suara seseorang berteriak memanggil nama pemuda yang sedang berdiri di depan mading itu. "JUANII!!"
Juani pun membalikan badannya untuk mencari siapa sumber suara tersebut. Ia mendapati Aziz yang telah berlari pelan mendekatinya.
"Juani, maneh teh baru lihat pengumuman?" tanya Aziz dengan nada khas sundanya.
"Enya atuh, Ziz. Memangnya, kenapa?" balas Juani.
"Enteu sih, eh tapi maneh teh kamana wae? Pan pengumuman teh dipajang dari pagi," ujar Aziz.
"Urang mah dari tadi geh berdiri wae di sana." Juani menunjuk ke suatu tempat yang tak begitu jauh.
![](https://img.wattpad.com/cover/218854235-288-k470863.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Naluri, Ujian, Rizki - [TELAH TERBIT]
General FictionNovel ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Cahaya, putri dari kiai yang ingin mencari arti kebahagiaan. Tapi, banyak sekali rintangan yang ia hadapi, sehingga sulit untuk mendapatkan kebahagiaan. Lewat pemuda yang memiliki nama berartikan...