Chapter 🍎 24: Nur Al-Iman Bogor

35 7 0
                                    

Setelah lolos audisi dan berhasil menjadi salah satu juara se-Kabupaten Subang, Pondok Pesantren Nur Al-Huda berhak mendapatkan hadiah sebesar 30 juta untuk mendanai usaha di pesantren tersebut. Namun, hadiah uang itu baru bisa dicairkan ketika peserta yang terdaftar mau mengikuti program praktek kerja di salah satu pondok pesantren terbesar di Bogor.

Berita tersebut telah sampai pada Rizki dan Ainiy. Sebagai anak, Rizki ingin pergi mengikuti program tersebut. Namun sebagai suami, ia tidak bisa meninggalkan Ainiy. Karena sang istri baru saja keluar dari rumah sakit dan harus kontrol kesehatan di tanggal yang sama dengan pemberangkatan peserta SPSU ke Bogor. Ainiy juga meminta Rizki agar tetap bersamanya dan tidak berangkat ke Bogor.

Di sisi lain, Juani selalu menghubungi Rizki dan meminta anak sulungnya untuk menjadi perwakilan dari pondok pesantren yang dikelolanya. Sebagai anak, akhirnya Rizki lebih memilih mengikuti instruksi dari orang tuanya. Ia akan tetap berangkat ke Bogor walau Ainiy masih butuh dirinya untuk mengantar kontrol kesehatan ke rumah sakit.

Namun malangnya, di hari keberangkatan Rizki, Ainiy justru dirawat lagi ke rumah sakit. Rizki dan mertua laki-lakinya menyaksikan keadaan Ainiy sangat buruk. Pemuda yang baru menikah satu tahun lalu itu melihat begitu banyak kabel menempel di tubuh sang istri.

Dalam keadaan seperti itu, Juani dan Cahaya tetap meminta Rizki untuk pergi ke Bogor. Sejujurnya Rizki merasa sangat dilema. Ia bingung harus bagaimana. Istrinya masih sangat butuh perhatian. Sedangkan orang tuanya butuh Rizki agar hadiah uang 30 juta dapat dicairkan.

"Ki, harus kamu yang berangkat. Yayah sakit, nggak mungkin kalau Ibu yang berangkat," ujar Juani lewat telefon.

"Ya udah, Bah. Insya Allah nanti Rizki yang berangkat. Besok Rizki berangkat dari rumah sakit."

Siang itu Rizki tetap memutuskan akan berangkat esok hari. Namun sorenya, ia melihat Ainiy semakin kritis. Sang istri mengeluarkan banyak darah dari hidung dan mulut ketika berada di kamar mandi. Dengan sigap ia pun menggendong Ainiy dan membaringkan.

Perasaan Rizki semakin berkecamuk, ia bingung harus mengambil keputusan apa. Ia pun memberi kabar pada Ibu dan Abah-nya bahwa keadaan Ainiy semakin memburuk. Lalu dengan terpaksa Juani mengatakan, tidak udah berangkat ke Bogor.

Pukul sembilan malam, Rizki pun memberi kabar bahagia tersebut pada Ainiy.

"Sayang, kamu cepat sembuh, ya... aku nggak jadi berangkat ke Bogor. Aku akan selalu di sini temani kamu. Kamu yang semangat untuk sembuh," ungkap Rizki seraya menggenggam tangan Ainiy.

"Kenapa nggak jadi berangkat? Terus, nanti hadiahnya bisa dicairkan enggak? Kasian, Abah sama Ibu, atuh. Maafin aku, ya, Mas." Ainiy menangis merasa sangat bersalah.

"Enggak, Sayang. Kamu nggak usah minta maaf, kamu nggak salah. Insya Allah nanti Abah bilang sama panitia acaranya. Sekarang kamu istirahat aja, ya."

Mendengar kabar melegakan tersebut, Ainiy dapat tidur dengan tenang. Perempuan yang sudah satu tahun berstatus menjadi istri itu mengalami komplikasi penyakit akibat sakit yang pernah dirasakannya beberapa tahun lalu. Ainiy tidak bisa berpikir keras atau stres. Jika terjadi, maka kesehatannya akan memburuk hingga mengharuskan untuk dirawat agar mendapatkan perawatan yang efektif.

Sementara Ainiy tertidur, Rizki tetap berinteraksi dengan Juani. Namun, seperti burung yang terbang tinggi lalu jatuh. Perasaan Rizki yang sebelumnya sudah tenang kembali bimbang ketika mendapat kabar dari Juani bahwa semua peserta atau minimal satu perwakilan dari pesantren.

Rizki telah memberi harapan pada istrinya. Ia takut jika memberi kabar pada Ainiy justru akan membuat kesehatan sang istri semakin memburuk.

Akhirnya, Rizki meminta sang mertua yang berbicara pada Juani untuk menceritakan bagaimana keadaan Ainiy yang tidak bisa ditinggalkan Rizki.

"Assalamu'alaikum, Pak Juani," ucap Papa kandung dari Ainiy.

"Wa'alaikumussalam, Pak. Gimana kabar Ainiy sekarang, Pak?"

"Kabar Ainiy sekarang alhamdulillah lebih baik dari sebelumnya, Pak. Sekarang sedang istirahat setelah dapat kabar dari Rizki bahwa suaminya tidak jadi pergi ke Bogor."

"Iya, Pak, tapi kami benar-benar butuh Rizki untuk ke Bogor. Karena salah satu syarat agar dana hadiah itu bisa cair adalah dengan mengikuti praktek kerja di Pondok Pesantren Nur Al-Iman."

"Iya, Pak, Rizki sudah menceritakan semuanya sama saya. Sejujurnya, saya tidak keberatan Rizki pergi. Bahkan, saya siap mengantar Ainiy menyusul suaminya ke Bogor apa bila Rizki jadi pergi. Di sini memang banyak yang menjaga Ainiy, Pak. Ada saya, Mama-nya, di rumah juga ada kakak, adik dan bibinya. Tapi, semuanya seolah tidak dianggap, karena obat sakitnya Ainiy itu cuma satu, yaitu Rizki, suaminya. Dari kemarin dia muntah darah, mimisan, terus waktu di IGD diperiksa jantungnya. Keadaannya memang buruk, saya selalu bawa Ainiy ke rumah sakit karena takut penyakit lamanya kambuh lagi."

Mendengar penjelasan yang masuk akal dari orang tua Ainiy yang tak lain besannya sendiri, Juani pun mulai pasrah. Ia harus menerima dengan ikhlas bahwa anak sulungnya tidak bisa pergi ke Bogor.
***

Keesokan paginya, Cahaya memandanf langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia tak habis pikir, anak sulungnya yang menjadi kebanggaan, sumber kebahagiaan serta kiblat cintanya, justru tidak bisa diandalkan. Wanita itu tidak ingin tinggal diam. Jika Rizki tidak bisa pergi ke Bogor, maka dirinya yang harus bertindak. Cahaya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan serta peluang yang menjadi satu-satunya jalan untuk memulai usaha.

Pagi itu Cahaya memutuskan untuk pergi ke Bogor dengan membawa Syamsiyah yang masih berusia sepuluh bulan serta Juani dan Ali. Mereka berempat berangkat menggunakan mobil yang sudah disediakan oleh pemerinta lewat panitia pelaksana.

Pukul 11 siang, Juani memberi kabar pada Rizki bahwa ia berangkat ke Bogor bersama istri juga kedua anak yang masih kecil. Juani memaksakan diri karena tidak ada pilihan lain.

Di perjalanan, Juani selalu berkomunikasi dengan Rizki. Ia berangkat dari Subang menggunakan mobil, sampai di Jakarta lalu pindah dengan kereta.

Namun, hal buruk terjadi pada Juani dan keluarga. Satu-satunya alat untuk komunikasinya justru hilang. Juani pun terpaksa meminta rombongan peserta SPSU untuk pergi lebih dulu, karena ia ingin berusaha mencari ponselnya.

Di Cirebon, Rizki dan Ainiy sangat mengkhawatirkan Cahaya serta Juani. Pasalnya, sejak pukul dua siang, ia tidak mendapat kabar dari Abah-nya.

"Ya Allah, lindungilah keluarga hamba," ujar Rizki.

"Aamiin Ya Allah. Sabar, ya, Mas... semoga Abah dan Ibu baik-baik aja. Semoga ponselnya kehabisan baterai atau sedang sibuk dengan registrasi peserta."

Tak mau tinggal diam, Rizki ingat bahwa kemarin pernah berinteraksi dengan salah satu peserta yang lolos juga. Akhirnya, ia pun mencari tahu keberadaan Juani serta Cahaya lewat orang tersebut.

Rizki:
Assalamu'alaikum, Pak. Ini saya, Rizki, anaknya Ajengan Juani. Maaf, Bapak sedang dengan Abah saya tidak? Ponselnya dihubungi tapi tidak ada jawaban.

Beberapa saat kemudian, Rizki mendapat informasi bahwa ponsel Juani telah hilang.

Peserta SPSU:
Saya terakhir lihat Pak Juani sama istri dan anak-anaknya di stasiun kereta. Saya sudah sampai di pesantren, Kang. Nanti kalau ketemu mereka saya kabari.

Rizki dan Ainiy pun merasa sangat khawatir. Pasangan muda itu selalu berdoa semoga orang tua sekaligus mertuanya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Di stasiun, Juani dan Cahaya sudah lelah mencari ponsel. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengikhlaskan alat komunikasi tersebut dan segera meneruskan perjalanan ke Pondok Pesantren Nur Al-Iman.
***

"Entah kenapa, semakin naluri keibuan ini menuntut akan balasan kasih sayang dari anak, yang kudapatkan justru ujian."
-Siti Cahaya-

Naluri, Ujian, Rizki - [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang