Di tengah malam yang cukup dingin, Abah Farid pergi ke luar untuk menemui kakaknya atas permintaan sitri tercinta. Pria bergelar kiai di Pondok Pesantren Al-Husain Nur itu telah sampai di rumah kakaknya yang hanya berjarak sepuluh meter saja dari rumahnya.
Abah Farid mengucap salam dan mulai mengetuk pintu rumah Abah Habib. Tak lama kemudian Ibu Malika membukakan pintu.
"Wa'alaikumussalam," sahut Ibu Malika dan mendapati adik iparnya di depan pintu. "Eh, aya perlu naon?"
"Kang Habib ada, Teh?" tanya Abah Farid.
"Ada atuh, masuk dulu mangga, tunggu sebentar, ya," sahut Ibu Malika dan beringsut ke dalam untuk memanggil suaminya.
Tak lama, Abah Habib pun ke luar menemui Abah Farid.
"Aya naon, Id? Malam-malam ke sini, ada hal yang pentingkah?"
"Iya, Kang. Sebenarnya penting tidak penting, Farid teh cuma ingin menyampaikan keinginan istri saja," ujar Abah Farid.
"Maksudnya teh naon?" Abah Habib merasa tidak mengerti.
"Gini, Kang. Jadi, Faridah teh sudah lama menyimpan rasa sama Juani." Abah Farid terdiam merasa tidak percaya diri untuk menyampaikan pesan istrinya.
"Tapi Juani pan udah keluar dari sini," ujar Abah Habib.
"Iya itu dia, Kang. Firasar urang mah, Juani teh pergi gara-gara Farid."
"Maksudnya gimana? Kamu teh udah dewasa, udah punya anak istri, jadi kiai di pesantren besar. Atuh kalau ngomong yang jelas, teu usah muter-muter."
"Sebelum lomba dakwah kemarin, Farid menyampaikan pada Juani, apakah dia bersedia menjadi suami Faridah? Juani bilang akan memberi jawaban setelah lomba dskwah. Setelah lomba dakwa, dia keluar dari pesantren ini dengan alasan ingin mengabdi di kampungnya dan meminta pendapat pada orang tua."
"Iya, terus?"
Abah Farid pun menceritakan tentang Juani yang mengirim surat padanya dan tanggapan Umi Fairuz tentang surat tersebut. Abah Farid pun menyampaikan bahwa Umi Fairuz memberi saran agar Juani dinikahkan dengan Cahaya secepaf mungkin, demi kebaikan keduanya. Abah Habib pun menanggapi saran Abah Farid dengan baik tanpa ada pikiran buruk sedikitpun.
"Wah, saran yang baik itu, Id."
Abah Farid terkejut mendengar jawaban kakaknya. Ia berpikir bahwa Abah Habib akan tersinggung dan marah karena telah lancang meminta kakaknya untuk menikahkan Cahaya.
"Tapi, Akang teh harus bicara dulu sama Neng Malika. Jadi, nggak bisa ngasih keputusan sekarang."
"Teu nanaon atuh, Kang. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Atuh kalau gitu mah Farid pulang dulu saja. Nggak enakan ini teh udah malam."
"Mangga, atuh." Abah Habib pun mengantarkan adiknya sampai ke depan pintu rumahnya.
Setelah Abah Farid sampai di depan rumahnya, Abah Habib pun kembali memasuki rumah dan tak lupa menutup pintu serta menguncinya. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Husain Nur itu pun menemui istrinya di kamar, mengajaknya untuk ke ruang tamu untuk membicarakan perihal saran Abah Farid.
Ibu Malika menolak permintaan suaminya, karena Jubaedah, anak bungsunya baru saja tidur dan masih menyusu.
"Sok atuh ngomong aja di sini, Bah," bisik Ibu Malika.
Abah Habib pun terpaksa menceritakan kronologis Abah Farid yang memberi saran mengenai pernikahan Cahaya dengan cara berbisik agar anaknya tidak terganggu. Ibu Malika pun merasa terkejut dengan ucapan suaminya.
"Malika teh nggak setuju, Bah. Kita nikahkan dulu Salamah dengan Gofur, baru setelah itu memikirkan Cahaya." Ibu Malika selalu ingin memprioritaskan anak sulungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Naluri, Ujian, Rizki - [TELAH TERBIT]
General FictionNovel ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Cahaya, putri dari kiai yang ingin mencari arti kebahagiaan. Tapi, banyak sekali rintangan yang ia hadapi, sehingga sulit untuk mendapatkan kebahagiaan. Lewat pemuda yang memiliki nama berartikan...