Zwölf (12)

30 7 0
                                    

Sebuah cerpen— Pay dan Egonya

Aku menyukai laut. Ketika melihat laut, hatiku merasa tenang. Seolah-olah semua masalahku telah dibawa pergi bersama ombak yang menari-nari. Dan, berlatar tempat di suatu laut, izinkan aku bercerita.

Disana, tinggalah seekor ikan moorish idol bernama Ge. Ge hidup bersama kedua orangtua nya, Joa dan Vy, dan satu adiknya bernama Bo.

Pagi itu, cahaya matahari mengintip malu-malu. Perlahan, laut mulai disinari cahayanya.

"Ge! Bangun!" Bo membangunkannya.

"Ayo, Ge.. kita sarapan," sahut Vy lembut.

"Hmmm..." Ge menjawab malas.

"Ya sudah, Ge nanti nggak dapat makan! Wlee!" Bo meledeknya.

Mendengar itu, Ge terpaksa bangun. Ia merenggangkan sirip-siripnya.

"Hoaahmmm.." rasa kantuk Ge belum hilang, akibat begadang semalam. Padahal Jou sudah memperingatkan Ge kalau tidak boleh begadang.

Usai sarapan, Ge berangkat ke sekolah. Sementara Bo, masih terlalu kecil untuknya masuk sekolah. Sehingga ia hanya menghabiskan waktunya dengan bermain, atau membantu Vy.

"Hai, Ge!" sapa Pay, si gurita. Pay merupakan sahabat terbaik Ge. Pay selalu membantu Ge apabila membutuhkan bantuan. Dan begitupun sebaliknya.

"Halo, Pay! Dimana Nes dan Res?" tanya Ge. Nes dan Res juga merupakan sahabat terbaik Ge di sekolah.

"Ntahlah. Kau seperti tidak tahu mereka saja. Tukang ngaret, hahaha.." canda Pay.

"Hey! Tidak untuk hari ini." terdengar suara yang tidak asing di telinga mereka. Sontak Ge dan Pay menengok ke sumber suara. Terlihat Nes dan Res, dua penyu kembar kakak beradik itu telah sampai di kelas.

"Wah, for the first time kalian tidak terlambat!" puji Pay, meskipun sebenarnya pujiannya itu merupakan sindiran halus.

"Iya, kami sadar kalau kami ini jalannya lambat. Tidak seperti kalian yang lincah," balas Res kesal.

"Eh, bukan begitu maksudku. Jangan marah ya, maaf.." Pay merasa bersalah.

"Hahaha.. tidak apa-apa, kok. Lagian apa yang kamu bilang itu benar, Pay." ucap Nes.

Pay hanya bisa membalas dengan senyuman yang dipaksakan.

Bel sekolah berbunyi. Obrolan mereka pun terhenti. Guru mulai memasuki kelas.

"Pagi, anak-anak!" sapa Em, ikan badut killer yang pintar bahasa.

"Pagi, Em!!" sahut murid-murid serentak. Di laut ini, memang tidak ada sebutan untuk menghormati orang yang lebih tua seperti Pak, Bu, atau Kak. Semua memanggil dengan nama satu sama lain, tak terkecuali.

"Hari ini kita akan belajar bahasa ikan tingkat tiga. Perhatikan penjelasan saya, jangan ada yang tidur!" Em sudah terkenal galak sejak pertama kali mengajar di sekolah ini.

"Em!" salah satu murid mengacungkan tangan, hendak bertanya.

"Ya?"

"Apakah saya juga perlu mempelajari bahasa ikan? Sementara saya ini seekor ubur-ubur." tanya murid itu.

"Tentu saja perlu. Di dunia manusia, mereka mempelajari bahasa asing yang bukan dari daerah mereka. Apa tujuannya? Supaya mereka bisa saling berkomunikasi."

"Tapi kan kita sudah ada bahasa nasional, bahasa laut, Em?"

"Tetap saja kita perlu mempelajari bahasa lain untuk pengetahuan dan menambah kosa kata bahasa."

ein SchreibenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang