Zweiundzwanzig (22)

22 7 0
                                    

Hujan lebat mengguyur kotaku malam ini. Disertai angin kencang, turun dengan asyiknya selepas maghrib tadi. Aku yang tengah asyik memakan mie bungkus terdiam. Aku takut.

Aku membuka pintu rumah, melihat air hujan yang turun begitu derasnya. Aku berpikir, "Bagaimana rasanya ketika tertimpa bencana seperti tsunami? Hujan begini saja aku sudah sangat takut."

Aku tak pernah terbayang dan tak ingin membayangkan seperti apa rasanya. Ketika kita kehilangan apa yang kita punya. Kehilangan tempat tinggal, ntah bagaimana jadinya. Kehilangan sanak saudara, dan kehilangan-kehilangan lain yang tiada orang mengharapkan.

Nguungg.. nguungg..

Suara-suara itu terdengar di luar sana. Aku tak tahu pasti itu suara apa. Terdengar seperti angin bergemuruh. Kadang aku suka berpikir, apakah akan datang angin topan? Hah. Aku benci pikiran-pikiran buruk itu.

Hujannya, nggak berhenti. Sejak kemarin, sering terjadi begini. Yaa, meskipun kita memang tidak boleh menyalahkan turunnya hujan, sebab, hujan itu rahmat dari Yang Maha Kuasa.

"Ah, sinyal nya jelek. Gara-gara hujan nih."

"Yah mati lampu. Pasti ulah hujan deh."

"Tuh kan, nggak jadi pergi. Kenapa segala hujan, sih?"

Dan berbagai keluhan lain, menyalahkan kehadiran hujan. Padahal, hujan itu datang membawa manfaat untuk bumi. Apa jadinya bila hujan tidak mau turun? Bahkan para peneliti sampai membuat hujan buatan ketika di suatu daerah tidak kunjung turun hujan. Sawah kering, pepohonan mati, kekurangan air, dan berbagai hal lainnya.

"Tapi, hujan bikin banjir!"

Hmm, bukan salah hujan kalau soal itu. Hujan tidak salah. Salahnya manusia kenapa tidak mau menjaga alam. Salahnya manusia kenapa masih suka buang sampah sembarangan. Salahnya manusia kenapa sibuk dengan gedung pencakar langit sampai lupa daerah resapan tanah.

"Jadi, manusia emang selalu salah, gitu?"

Yaa.. memang kodratnya sudah begitu, kawan. Tapi, manusia diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Tinggal bagaimana manusianya, mau atau tidak. Mau, atau pura-pura tidak peduli.

Ceklek!

Pintu rumahku terbuka. Adikku pulang dari musala dalam keadaan kuyup. Hah, dasar adikku. Dia senang sekali hujan-hujanan.

Gluduk.. gluduk...

Akhirnya terdengar geluduk. Sebab, sejak tadi aku hanya mendengar suara air turun saja. Hujan ini seram, tapi lebih baik. Hujan menjadi lebih menakutkan ketika ditambah dengan suara-suara guntur yang menggelegar, tak lupa dengan kilatan kemilaunya. Beberapa hari yang lalu, hujannya seperti itu. Sangat menakutkan.

Tapi, aku hanya takut. Aku tidak mau menyalahkan kehadirannya. Biarlah ia turun karena sudah masanya ia jatuh. Biarkan awan melepaskan ribuan air yang menyusunnya. Biarkan siklus air berjalan sebagaimana mestinya.

Kok, sepertinya arah tulisanku random sekali, ya? Haha. Aku hanya menyampaikan semua yang terlintas di otakku saja. Jadi maaf apabila tidak nyambung.

Hmm, sepertinya sudah dulu. Masih banyak yang harus dilakukan.

Terimakasih sudah bersedia membaca tulisanku. Siapapun kamu, dimanapun kamu. Semoga, selalu dikuatkan dalam keadaan ya.

Salam manis dari tempatku saat ini
Bekasi, 20 Mei 2020
Di Hari Kebangkitan Nasional
6.55 p.m.

ein SchreibenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang