CHAPTER 10 : PEMAKAMAN

5 0 0
                                    

"UNDER THE MASK"

.

.

.

Kegelapan dilangit malam Jakarta hari itu berbeda dibanding biasanya. Sebuah pembunuhan terhadap karyawan swasta terjadi di tengah hiruk pikuknya keramaian kota. Polisi yang mencoba memburu sang pelaku, tak mendapatkan cukup bukti untuk ditelusuri. Tanpa disadari oleh semua orang, terror sang pelaku mulai mengintai para mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di kota Jakarta.

Siapakah dia?

Apa motifnya?

Siapa target berikutnya?

Perburuan di kota itu pun, dimulai.

.

.

.

[Jakarta, 19 September 2020]

[Jacob POV]

Sabtu itu cukup mendung. Mungkin langit memproyeksikan perasaan kami semua saat berada di pemakaman ini. Aku bersama teman-temanku—mahasiswa bimbingan dan konseling sedang menghadiri pemakaman salah satu teman kami, Hadiyanto Saputra. Kami biasa memanggilnya Hadi—terkhusus Fadhil, ia biasa memanggilnya Yanto yang mana kami semua tahu itu hanya sebuah candaan saja. Namun, jika kami memikirkan setiap canda-candaan Hadi saat di kelas, kenangan itu hanya membuat kami tambah pilu. Takdir sudah berkata. Hadi meninggalkan kami lebih cepat, meninggalkan kami semua dengan setiap kenangannya yang akan tetap hidup di dalam diri kami.

Sorot mataku memandang sekeliling suasana pemakaman. Tidak terlihat ekspresi apapun selain kesedihan yang terpancar dimasing-masing wajah mereka. Fadhil, Fabian, Mahdi, Ardi, Magriza, dan masih banyak teman-temanku lainnya berdiri memandang lubang tanah yang besar yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir Hadi. Satu persatu orang dewasa di sana masuk ke dalam lubang kuburan yang telah tergali, sedangkan sebagian lainnya berada di atas sembari membopong tubuh teman kami yang telah terbungkus oleh kain kafan berwarna putih.

Banyak dari teman-teman perempuanku yang tak sanggup melihat tubuh Hadi diletakan di dalam kuburan. Ada yang menangis. Ada yang menatap bingung seolah tak percaya apa yang sedang dilihat. Semua perasaan campur aduk. Kami—bahkan aku sendiri tidak bisa mendeskripsikan sendiri dengan jelas perasaan apa yang paling mendominasi diriku ini. Mengapa harus seberat ini kehilangan teman?

Setelah jasad Hadi ditaruh di dalam lubang kuburan itu, orang-orang dewasa tersebut mulai menutup kuburan Hadi dengan tanah. Sedikit demi sedikit, jasad Hadi mulai terkubur hingga akhirnya tidak dapat kami lihat kembali—hanya timbunan tanah coklat kehitaman yang dapat kami saksikan saat itu. Setelah proses penguburan selesai, kami tidak lupa mendoakan teman kami tersebut sesuai kepercayaan kami masing-masing. Seorang ustadz yang kebetulan berada di sana, memimpin doa bagi umat muslim.

'Hadi... semoga lu tenang ya.'

---

Proses pemakaman selesai pada siang hari itu. Namun, langit mendung yang menyelimuti langit Jakarta seolah tidak memberikan celah bagi sinar matahari untuk menerobos masuk. Orang-orang yang berada di pemakaman itu perlahan meninggalkan tempat. Tak terkecuali kami semua—mahasiswa bimbingan dan konseling juga satu persatu beranjak meninggalkan lokasi pemakaman Hadi.

"Siang ini bakal hujan ya?" tanya Mahdi entah kepada siapa.

Mendengar pertanyaan Mahdi, aku langsung menengadah kepalaku ke atas. Memang benar langit sangat mendung. Entah apakah akan hujan atau tidak.

"Mungkin." jawab Fabian singkat.

Aku tak merespon banyak pertanyaan Mahdi. Kami telah berjalan menjauh dari kuburan Hadi. Sesaat aku menolehkan kepalaku ke belakang untuk melihat kuburan Hadi terakhir kalinya. Di sana masih ada sebagian orang—yang aku yakini mereka pasti adalah sanak kerabat dan keluarga dari Hadi. Di dalam penglihatan ku, mereka nampak masih sangat sulit menerima kenyataan yang ada.

UNDER THE MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang