Bab 2 - Musuh Baru

2.1K 231 47
                                    

Musuh Baru

"Niel, kamu kenapa? Kok kelihatan lesu gitu?" tanya tantenya ketika menjemputnya sore itu.

Daniel hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Baru hari pertama masuk, kamu nggak bikin masalah, kan?" Angga, suami tantenya, ikut bertanya.

"Bukan aku yang bikin masalah," jawab Daniel kesal.

Angga bersiul pelan.

"Dan Om sama Tante kalau nggak antar-jemput aku ke sekolah nggak bisa, ya?" protes Daniel. "Aku udah bisa kok, bawa mobil sendiri."

"Tantemu khawatir kamu mampir ke mana-mana kalau nggak dijemput," sahut omnya enteng.

Tantenya berdehem. "Tante cuma khawatir sama kamu."

Daniel memutar mata. "Tante, aku udah nggak gabung geng aneh-aneh lagi sekarang. Nggak ada preman, nggak ada baku hantam lagi. Aku janji," ucap Daniel.

Tantenya kembali berdehem. "Bukan cuma itu, Niel. Tapi ... Tante senang aja bisa lihat kamu berangkat dan pulang sekolah."

Daniel menghela napas. Ini pun, sepertinya ia harus mengalah. Karena sungguh, ia tak ingin menyakiti tantenya lagi.

"Tapi, kamu kenal sama anak itu?" tanya omnya tiba-tiba.

Daniel yang tadinya menatap keluar jendela samping, menatap Angga, mengikuti arah tatapannya di depan sana. Daniel mengerutkan kening melihat gadis berambut cokelat dan bermata biru di depan sana.

"Dari tadi dia melototin kita terus. Kamu nggak bikin masalah sama dia, kan, Niel? Kayaknya dia berbahaya, tuh," ucap omnya itu.

Daniel menghela napas lelah. "Aku juga nggak tahu dia siapa, Om," balas Niel sebelum melengos.

"Oh ... nggak tahu ..." balas Angga, tapi dengan nada meledek.

Daniel memejamkan mata, berharap bisa tidur daripada menerima ledekan omnya yang entah akan berlangsung sampai kapan.

***

Syvia bersiul mendengar informasi yang diungkapkan Dino tentang Daniel Harrison di basecamp apartemen mereka.

"Ayahnya meninggal dalam kecelakaan sama dia, ibunya meninggal karena shock, tapi dia selamat di kecelakaan itu. Habis itu, dia tinggal sama tantenya dan sering bikin masalah, bahkan ikut geng preman?" Syvia tak dapat menahan dengusan.

"Dia bisa sekolah di sini pasti karena tantenya yang waktu itu sekretarisnya putra ketiga Key Group," tebak Merry.

Dino mengangguk.

"Kenapa di sekolah kita banyak banget sampah, sih?" Syvia mendecak kesal.

Merry mengangguk-angguk sembari memegangi gagang kacamatanya.

"Yang ini, mau kamu apain, Vi?" tanya Dino.

Syvia berpikir sejenak. "Semester kemarin kayaknya dia sama sekali nggak bikin masalah. Kenapa?"

Dino mengedik. "Mungkin udah tobat. Well, setelah patah hati."

"So, the conclusion is, dia naksir istri dari kakak omnya sendiri, trus patah hati gitu? Iyuh ..." Merry kembali menunjukkan ekspresi jijiknya.

Syvia mendengus.

"Tapi, kayaknya bakal susah deh, kalau mau macam-macam sama dia. Lawannya Key Group, Vi," Dino mengingatkan.

Syvia mendesah dramatis. "Itu juga yang dari tadi aku pikirin."

"Ah! Aku ada ide!" seru Merry.

To Choose an Enemy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang