Part 8: Kilasan Rasa

12 2 0
                                    

Siang hari yang cerah menyinari studio foto di pusat kota Jakarta. Cahaya matahari menembus jendela besar, memantulkan kilauan di lantai kayu yang mengilat. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar ke seluruh ruangan, memberikan semangat baru bagi para kru yang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Kamera-kamera dipersiapkan, lampu-lampu difokuskan, dan para model berbaris di ruang ganti, menunggu giliran mereka untuk berpose di depan lensa.

Di tengah kesibukan itu, Ardyaz berdiri dengan cemas. Ia memeriksa jam tangan berulang kali, menyadari bahwa waktu semakin menipis. Dengan cepat, ia meraih tas kulit hitamnya yang tergeletak di sofa dekat ruang rias.

Sebelum Ardyaz bisa melangkah keluar, seorang wanita dengan penampilan rapi dan mata yang tajam menghampirinya. Hazela, manajer yang selalu tampak tenang meski dalam situasi paling menegangkan, berdiri di hadapannya. Rambutnya yang lurus sebahu tergerai rapi, dan senyumnya, meski tipis, penuh kewibawaan.

"Ardyaz, kamu mau kemana?" tanyanya dengan nada semiformal, tetapi jelas menahan sesuatu.

"Aku harus pergi sebentar, ada urusan mendadak," jawab Ardyaz, matanya terus melirik ke arah pintu keluar.

"Tapi kita ada sesi foto lagi jam tiga sore nanti. Kamu tidak bisa pergi sekarang," kata Hazela dengan tegas.

"Aku janji akan kembali sebelum itu. Aku hanya butuh waktu sebentar," balas Ardyaz, suaranya meyakinkan.

Hazela menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, tapi pastikan kamu kembali tepat waktu. Kita tidak bisa menunda sesi berikutnya."

"I see. Bye!" Ardyaz bergegas keluar.

Ardyaz melangkah cepat menuju mobil sport hitamnya yang terparkir di depan studio. Ia memasuki mobil dan segera melajukannya dengan cepat, menyusuri jalan-jalan kota yang ramai. Di tengah perjalanan, ia meraih ponselnya dan menelepon Arsella, kekasihnya.

Wajah Arsella muncul di layar, tampak sibuk di butiknya yang dipenuhi pengunjung. Rambut panjangnya diikat rapi, dan senyumnya terlihat meski matanya sedikit lelah.

"Sayang, keliatannya kamu sangat sibuk hari ini," kata Ardyaz, mencoba untuk tidak mengganggu.

"Aku emang sibuk, tapi selalu ada waktu untukmu," jawab Arsella, matanya menatap lembut. "Kamu mau kemana? Beberapa hari ini kamu sibuk banget, sampai jarang ada waktu buat aku."

Ardyaz tersenyum, tapi dengan nada misterius ia menjawab, "Aku hanya ada urusan sebentar, nanti juga kembali."

Arsella mengerutkan kening, jelas heran. "Kenapa kamu tidak mau cerita? Ada yang kamu sembunyikan?"

"Bukan begitu, sayang. Nanti aku jelaskan. Sekarang kamu fokus dengan butikmu dulu, ya. Bye, sayang!" kata Ardyaz sebelum memutus panggilan.

Ardyaz akhirnya tiba di sebuah restoran mewah bernama Le Jardin. Seorang pria dengan dasi kupu-kupu menyambutnya di pintu masuk.

"Bonjour, monsieur. Apa yang bisa saya bantu?" tanya pria itu dalam bahasa Prancis.

"Saya ingin mereservasi meja makan malam VVIP," jawab Ardyaz dalam bahasa yang sama, suaranya tenang dan penuh percaya diri.

Pria berdasi kupu-kupu itu mengangguk dan mengantarnya ke meja reservasi. Di sana, Ardyaz diminta menunggu sejenak. Ia melihat seorang karyawan berjalan mendekati seorang wanita berambut panjang yang sedang menyapa beberapa pelanggan di meja.

Dari kejauhan, Ardyaz memperhatikan wanita itu. Senyumnya yang lembut dan cara bicaranya yang penuh keramahan membuatnya terpana. Ketika wanita itu berbalik dan berjalan menghampirinya, senyumannya semakin jelas terlihat.

"Bonjour, monsieur. Apa yang bisa saya bantu?" sapa wanita itu dengan suara yang merdu.

Ardyaz berdiri dari kursinya, sejenak tertegun. "Bonjour. Saya ingin mereservasi meja VVIP untuk makan malam lusa."

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang