13. Speechless

47 6 4
                                    

Jam tujuh pagi kurang lima belas menit, Daisy sudah melangkahkan kakinya di koridor. Di tangannya terdapat paper bag cokelat yang berisi oleh-oleh dari Bulan sebelum kembali ke Indonesia.

Paper bag itu nantinya akan Daisy kasih ke Devan. Bulan yang menyuruhnya tadi pagi saat sarapan di meja makan. Tidak mau pikir panjang lagi. Daisy pun akhirnya menuruti ucapan Bulan.

Setibanya di kelas, Daisy menghampiri Devan yang sedang melakukan rutinitasnya. Apalagi kalau bukan menggambar di atas sketchbook.

"Pagi-pagi udah coret-coret kertas aja," celetuk Daisy.

"Bukan coret-coret. Tapi gambar," ucap Devan yang masih fokus pada sketchbooknya.

"Hehe. Eh by the way, gue bawain ini buat lo." Daisy menaruh paper bag tersebut di meja Devan.

"Apa?" Devan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Daisy.

"Oleh-oleh dari Bunda untuk lo." Daisy menaruh tasnya, duduk dikursinya.

"Untuk gue?"

"Iya, Devan Nathan Ganen... Ganen... Apaan sih, Dev nama panjang lo?" Daisy malu sendiri dan tertawa karena ia lupa nama panjang Devan.

Devan hanya tersenyum tipis melihat tingkah Daisy.

"Devan Nathan Ganendra," jawab Devan menyebut nama lengkapnya.

"Oh, Ganendra."

"Makasih ya, Sy." Devan berterima kasih kepada Daisy. Ia langsung memasukkan paper bag itu ke dalam laci meja.

"Iya sama-sama. Eh Dev, mau liat gambar lo dong? Boleh gak?" tanya Daisy tidak sabar untuk melihat gambar yang dibuat oleh Devan setiap hari.

Belum sempat Devan menjawab pertanyaan Daisy. Tetapi bel masuk sudah berbunyi.

"Kapan-kapan aja, Sy. Udah masuk," jawab Devan. Sebenarnya Daisy agak kecewa tapi, ya sudahlah.

"Oh ok." Daisy membenarkan posisi duduk menghadapi ke arah papan tulis.

Perasaan Daisy ada yang janggal. Pandangan Daisy melihat ke arah kursi Moza. Ternyata Moza belum datang ke kelas. Atau mungkin Moza tidak masuk?

"Tumben banget Moza belum dateng? Mungkin aja dia telat," ucap Daisy positive thinking.

Waktu kegiatan belajar sudah berjalan sekitar dua jam lebih. Hingga bel istirahat pertama sudah berbunyi. Ternyata Moza beneran tidak masuk sekolah.

"Daisy, istirahat bareng gue mau gak?" tanya Achel ketika Daisy sedang membereskan alat tulisnya.

Sebenarnya Daisy tidak mau istirahat bareng Achel. Daisy harus memutar otak untuk menolak mentah-mentah tawaran Achel. Devan kebetulan lewat di samping meja Daisy. Dengan cepat Daisy memanggil nama Devan.

"Devan!" Yang dipanggil menoleh ke arah Daisy.

"Kenapa?"

"Oh iya, kita jadi istirahat bareng, kan?" Daisy menatap dengan wajah yang penuh harap kepada Devan supaya Achel percaya dan tidak mengajak dirinya.

"I-iya, gue istirahat bareng Daisy." Daisy membuang napas lega mendengar jawaban Devan.

"Ayo Sy, ke kantin." Tidak ada hujan, tidak ada badai, Devan menggandeng tangan Daisy keluar dari kelas.

Sontak saja teriakan dari kaum hawa memecah di kelas. Apalagi gengnya Marcella heboh melihat Daisy dan Devan bergandengan. Speechless. Itulah yang Daisy rasakan sekarang.

••••


"Kenapa pakai acara gandengan segala sih?" tanya Daisy, tertawa renyah.

"Gak apa-apa sih sebenernya, Dev. Haha."

"Biar Marchel panas."

"Bisa aja lo, haha."

Mereka berdua sudah di kantin. Duduk berdua saling berhadapan. Memesan menu makanan dan minuman yang sama, yaitu batagor dan es teh.

Momen ini mungkin akan menjadi limited edition bagi Daisy. Pasalnya ia tidak mungkin istirahat berdua dengan Devan lagi. Ini saja cuma kebetulan.

"Kenapa ngelamun dah?" Pertanyaan Devan membuyarkan lamunan Daisy.

"Hm, nggak kok." Daisy pun melanjutkan makan batagor.

"Gue dari tadi gak liat Abi. Dia gak masuk ya?" tanya Daisy.

"Iya."

"Lo save nomor WhatsApp gue, Dev?"

"Belum," jawab Devan santai.

"Emang lo ngesave nomor gue juga?" Devan berbalik tanya.

"Belum juga, hehe."

"Yaudah nih, save aja nomor lo di handphone gue." Devan menyodorkan handphonenya ke arah Daisy. Daisy pun langsung menerimanya.

Setelah mencari nomor telepon Daisy di grup kelas, Daisy langsung menambahkan kontak baru, dan mengetik nama kontaknya.

"Nama kontak lo jangan aneh-aneh," celetuk Devan.

"Nggak aneh kok. Malah lucu banget. Nih, udah selesai." Daisy menaruh handphone Devan di atas meja.

Handphone Daisy tiba-tiba bergetar di saku rok seragamnya. Daisy mengambil handphonenya. Ternyata ada panggilan video masuk dari Moza.

"Parah lo, Za, gak sekolah."

"Daisy, gue telat bangun woyyy. Coba lo bayangin, gue baru bangun jam sembilan pagi."

"Ya kali gue datang ke sekolah jam segitu."

"Emang lo abis ngapain sih?"

"Nonton drama korea, ehe."

"Dih, pantesan aja bangun telat."

"By the way, Abi juga gak masuk tau, Za. Cie, bisa barengan gitu."

"Mulai dah gak jelas. Gue sih bodo amat ya, mau Abi gak masuk, atau apa kek. I don't care."

"Halah, palingan juga gak ketemu sehari udah rindu."

"Ngomong tentang Abi lagi, gue santet online lo, Sy."

"Haha."

"Lagi istirahat ya lo? Sama siapa?"

"Kepo."

"Coba dong Sy, ganti jadi kamera belakang."

"Gak mau."

"Sebentar doang kok. Please."

"Nih, sebentar ajakan?"

Dengan cepat Daisy mengganti kameranya menjadi kamera belakang yang menyorot Devan. Setelah enam detik, Daisy mengubahnya kembali memperlihatkan wajahnya.

"Gila, itu seriusan Devan?!"

Panggilan video sengaja Daisy putuskan. Soalnya Moza akan membanjiri pertanyaan. Dan harus menceritakannya terlebih dahulu dari akarnya.

"Mohon maaf mengganggu waktu istirahatnya sebentar, panggilan kepada Devan Nathan Ganendra kelas XI IPA 2 segera ke ruang BK sekarang." Suara tersebut berasal dari sound system yang ada di pojok pintu masuk kantin.

"Dev, lo di panggil ke ruang BK," ucap Daisy.

"Aduh, males banget gue. Yaudah ya, Sy, gue duluan ke ruang BK."

"Ok." Devan mengambil handphonenya di atas meja, lantas beranjak dari duduknya, dan pergi meninggalkan Daisy.

"Lo kenapa sih, selalu dipanggil ke ruang BK?" batin Daisy bertanya-tanya.

🌼🌼🌼

Kirain aku ini ada 1000 kata lebih. Ternyata cuma sekitar 800 ㅠㅠ

DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang