BAB 2

1.7K 197 2
                                    

□■□■□■□■□

Hinata sedang membaca buku di ruang tengah sambil menikmati teh dan kue kering buatan tukang masak di rumahnya. 

Ia hanya ingin menikmati suasana akhir Januari dengan membaca buku. Kenyamanan sederhana yang jarang didapatkan olehnya. Beruntung tidak ada yang tahu perilaku tidak terpuji Neji pada malam tahun baru—meski sebenarnya kakaknya tidak melecehkannya, tetapi untaian kata tentang perasaannya membuat Hinata tidak nyaman.

Ketika masih berada di ruang tengah, Hinata dapat mendengar langkah kaki yang berlarian serentak. Sepertinya ada yang datang; ibu atau ayah; mereka semua menyambut majikan mereka penuh dengan tata krama kuno yang menyebalkan. 

Seandainya dia berdiri tegak penuh keberanian dalam merevolusi rumah ini, Hinata bersumpah ia akan mengubah selusin pelayan di rumahnya mengenakan seragam yang lebih sederhana ketimbang kimono yang terlalu ketinggalan zaman.

Keluarga Hyuuga berdiri bukan karena dikenal sebagai kaum bangsawan—seharusnya darah kebangsawanan mereka terputus—mereka lebih dikenal sebagai pemilik kedai camilan manis Jepang secara turun-temurun. 

Toko-toko tersebar di antara Asakusa dan di luar Tokyo. Tahun ini, usia kedai yang turun-temurun di cabang utama telah memasuki setidaknya satu abad. Logo yang tetap dipertahankan dari pertama kali kedai itu dibuka serta resep yang rasanya tidak pernah berubah. Menjadi daya tarik wisatawan, hingga camilan dari kedainya selalu dijadikan sebagai oleh-oleh nomor satu bagi turis mancanegara.

Namun sayang, Hinata tidak dapat mewarisi semua kedai itu. Ia hanya anak perempuan yang harusnya duduk manis meski telah mengambil sekolah bisnis. Semua tidak berarti. Bagaimana bisa dia menguasai rumah dan kedai-kedai yang tersebar luas kalau perempuan seperti dia hanya dipandang sebelah mata. 

Sekarang setelah menjadi sarjana, tujuannya kemudian barangkali menikah atau dipaksa menikah. Kehadiran ibu mungkin semakin memperjelas. Begitu dia mendongak, Hinata mencium sesuatu yang tidak beres mulai terjadi sekarang.

Ibu duduk di seberang menikmati teh sejenak sembari menikmati makanan manis yang dihidangkan untuknya. "Bagaimana kabarmu?" buruk, seandainya ibu tahu, atau seandainya Hinata dapat memberitahu. Ia tak yakin dirinya dapat kembali ke sediakala—sebelum Neji mengacaukan harinya. "Ada yang mengusik pikiranmu?" 

"Kepulangan ibu tidak sesuai jadwal. Aku merasa kalau sedang terjadi sesuatu." Tidak perlu dijawab, Hinata seolah mendapatkan semua yang dia cari saat ibu mulai bersikap aneh. "Salah satu toko di luar Tokyo ditutup lagi? Kali ini di mana? Osaka? Kyoto?"

Ibu tersenyum penuh arti. "Tapi kami sudah mendapatkan jawabannya."

"Jawaban?" Hinata menutup bukunya. Meletakkan kemudian di atas meja. Ia menunggu ibu memberitahu sesuatu tentang solusi atau sebagaimana ibu mendapatkan jawaban dalam pertanyaan yang Hinata sendiri tidak mengerti dalam konteks apa. "Jawaban apa?"

"Kami tidak bisa menghindari ini, satu-satunya jawaban memang soal pernikahan," hati Hinata berdenyut sakit. "Kakek sudah memutuskan. Kami berusaha semaksimal mungkin, tapi memang pernikahan bisnis tak dapat dihindari."

Bagi kakeknya, seorang anak perempuan tidak akan bisa mengurus kedai-kedai yang tersebar di luar sana. Makanan tradisional yang dibuat secara turun-temurun. Resep yang dikembangkan sampai menciptakan kualitas rasa tak tertandingi, tak pantas dipegang oleh anak perempuan mereka. Laki-laki yang pada akhirnya mewarisi. Dan satu-satunya yang bisa dilakukan anak perempuan di keluarga mereka adalah menikah bisnis. 

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang