BAB 10

1.6K 205 36
                                    

■□■□■□■□■

Piama bermotif boneka dengan celana pendek sangat cocok bagi Hinata. Rambut panjangnya digulung di dalam handuk berwarna gelap. Hinata kemudian menyibak tirai di kamarnya sementara Naruto langsung menggeliat begitu cahaya matahari menyengat kelopak matanya.

Tangannya menarik bantal, selanjutnya digunakan untuk menutupi wajahnya agar sinar matahari tidak mengganggu.

Sedangkan tubuh telanjangnya terlalu nyaman di atas kasur sembari selimut memeluknya hangat. Ia tidak peduli kalau istrinya akan memerintahkannya bangun. Seingatnya, dia belum memiliki jadwal untuk pergi ke kantor, maka dia akan tetap terlelap pagi ini.

"Hari ini aku akan pulang ke rumah," Naruto buru-buru membuka mata saat suara istrinya menyeruak. Ia pikir masalah sudah diselesaikan. Perlahan, ia menurunkan bantal dengan perasaan waspada. "Ibu meminta tolong sesuatu, jadi aku tidak bisa menolak. Kak Neji akan menjemput."

Dengan muka masam Naruto mengambil duduk. "Aku bisa mengantarmu pulang," tentu saja alasan utamanya dia tidak ingin Neji memiliki peluang besar. "Tidak perlu dijemput kakakmu. Dia pikir mungkin aku tidak perhatian padamu. Oh iya, soal ibu. Aku ingin memberikan salam kepadanya. Biar aku saja yang pergi bersamamu." Hinata mengambil duduk di pinggir kasur sambil memperhatikan suaminya, lalu mencium bibir suaminya sebagai ucapan selamat pagi. "Aku saja." Naru memelas.

"Kurasa aku pergi menemui ibu bersama kak Neji saja. Kupastikan pulang sebelum makan malam. Lanjutkan untuk merakit mainanmu."

Kemarin, seingatnya Hinata tidak pernah berkata demikian. Tidak pernah sekalipun menyuruhnya bermain. Tapi apa sekarang?

Istrinya seperti memberi perintah pada anak kecil. Paling tidak, Hinata berkata sebaliknya sebagai seorang istri untuk memerintahkan suaminya tetap fokus bekerja daripada bermain seperti anak-anak di sepanjang waktu mereka.

"Tidak ada mainan yang perlu aku rakit," Hinata menoleh ke belakang usai membuka lemari. "Aku tidak mau di rumah sendirian. Mungkin saja keluargamu senang dengan kedatanganku. Sakura bilang—" sepertinya dia harus berhenti menyebut nama teman merah mudanya itu. "Sakura dan Sasuke bilang, kalau aku harus sering-sering menyapa keluargamu agar hubungan kami semakin baik."

Hinata mengangguk, seolah-olah ia tidak pernah peduli. "Kak Neji sebentar lagi akan datang. Rasa-rasanya tidak baik juga menyuruhnya pulang. Dia mengirim pesan katanya sudah di tengah perjalanan."

Suaminya langsung membuang napas berat. Begitu Hinata mendapatkan terusan berwarna putih tak berlengan. Dia kembali menjatuhkan pandangan pada suaminya yang berwajah cemberut seperti anak SD. "Bagaimana kalau kau menjemputku saja nanti?" Naruto tersenyum cerah. "Kau bisa jemput aku di rumah, 'kan?"

Kepala Naruto terangguk-angguk. Itu jauh lebih baik daripada membiarkan Neji mengambil kesempatan yang lain untuk mendekati istrinya.

Naruto tahu, kalau Neji bukan sekadar kakak Hinata. Namun lelaki itu adalah kakak sepupu yang mungkin saja memiliki peluang untuk bisa bersama—walau di Jepang sendiri, praktik untuk pernikahan sedarah telah dilarang, tapi pernikahan antar sepupu Naruto kira tidak pernah jadi masalah.

Menyadari bahwa hanya tiduran di atas kasur tidak ada manfaat sama sekali. Naruto pergi ke kamar mandi untuk menikmati pagi yang cerah.

Selesai membersihkan diri, Naruto menjumpai istrinya berdandan sangat cantik di depan meja rias, bel berbunyi beberapa kali kemudian. "Itu pasti kak Neji." Kata Hinata. "Biar aku saja yang bukakan pintu."

Naruto cepat-cepat untuk mengenakan pakaiannya. Ia tidak boleh membiarkan begitu saja istrinya pergi tanpa dia mengantarnya. Neji mungkin berpikir bahwa hubungan mereka tidak berjalan baik. 

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang