BAB 8

1.5K 200 24
                                    

Karena ada tugas negara, aku tidak bisa update sampai beberapa hari. Happy quarantine, and thanks for voting on this story ღღღ

■□■□■□■□

Hinata tengah mengasingkan diri untuk menenangkan pikirannya dengan datang ke Bibliophile yang diceritakan oleh suaminya. 

Mengenai suaminya yang memiliki kepekaan paling rendah sebagai seorang laki-laki, membuat Hinata tidak lagi bisa memikirkan apa yang dapat dia lakukan untuk hubungannya bersama laki-laki itu.

Naruto seperti anak kecil yang tak pernah diajari untuk menjaga perasaan antara orang di sekitarnya. Ada yang aneh, tapi Hinata tidak mengerti. Ia pun enggan untuk mencari tahu.

Seharusnya, kalau sebegini parahnya, dia perlu memikirkan lebih lama. Bukan pernikahan yang diadakan sebulan kemudian. Selain menghela napas, tidak ada yang lebih menarik dari itu sejak kedatangannya di sini sambil memikirkan Naruto.

Bergerak untuk mengambil cangkir, dibarengi oleh kedatangan Neji yang terengah-engah. Hinata merasa enggan mengatasi masalah yang hampir dapat dilupakan olehnya.

Tanpa menyambut kedatangan Neji. Hinata meletakkan kembali cangkirnya. Karena yang dia harapkan kedatangannya adalah ibu, bukan Neji. Bersama kemungkinan yang paling besar dapat memperkeruh keadaan dan membuatnya makin panas. 

Sebelum pernikahannya saja bersama Naruto. Neji sudah berulah dengan beberapa kali meyakinkan Hinata untuk lari ke suatu tempat. Pernikahan itu tidak harus ada. Pernikahan itu tidak harus terjadi, dengan kata-kata seperti mantra yang seolah dapat menyelamatkan Hinata, tapi pada akhirnya Hinata tahu pria seperti Neji adalah bencana.

Neji duduk di depan Hinata, yang langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di lantai dua instrumen piano tidak terlalu terdengar. Tapi tirai putih diterpa angin menjadi pemandangan yang menarik dan mengobati penatnya.

"Terjadi sesuatu padamu dan laki-laki itu?" Hinata mengangguk—hanya mengangguk. Ia tidak akan mau membicarakan soal Naruto di hadapan Neji. Karena yang dibutuhkan oleh Hinata adalah ibu. "Sudah aku bilang sejak awal. Kau tidak harus menikah dengannya. Aku bisa mencari jalan keluar untuk kedai-kedai itu." 

Hinata menatap Neji gelisah. "Aku tahu," kata perempuan itu. "Aku tahu kau bisa melakukan semuanya. Segalanya. Melakukan sesuatu yang tak aku mampu. Pernikahan itu bukan juga karena bisnis, karena aku memang menginginkannya."

"Kau ingin keluar dari Hyuuga. Aku bisa melakukannya untukmu. Membiarkanmu berlari ke luar negeri."

"Tapi yang kuinginkan bukan masalah baru," balas Hinata. Neji terdiam. "Masalah yang membuat aku, ibu, dan ayah semakin menjauh. Hubungan dengan keluargaku yang hancur mungkin selamanya. Aku tidak mau menggunakan cara darimu dengan risiko yang lebih besar. Karena aku tidak sekalipun memikirkan dampak sampai sejauh itu."

"Lalu sekarang, kalaupun kau meminta bercerai secepat ini, kau bakal membuat keluarga kita pun jadi buruk; hubungan ayah dan ibu; hubungan dengan kakek; hubungan dengan keluarga laki-laki itu." 

Hinata membuang tawa ke udara, seolah Neji tahu semuanya padahal tidak. "Aku tidak mengatakan akan bercerai. Aku hanya butuh ibu karena aku ingin tahu, dalam situasi semacam ini apa yang harus aku lakukan. Perceraian sesuatu yang belum pantas untuk diambil sebagai pilihan. Yah, walau sejenak berpikir aku tidak tahan dengan sikap suamiku."

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang