BAB 15

1.3K 198 17
                                    

Sebelum tugas negara memanggil, sesempat mungkin aku melanjutkan.

■□■□■□■□■

Roda kereta perawat mengganggu pendengarannya. Bunyi bergerumuh orang berbicara apalagi. Begitu matanya terbuka. Hanya ada asap-asap dari mesin humidifier di kamarnya—mungkin juga bukan.

Aroma disinfektan cukup kental. Naruto tidak pernah suka. Salah satunya karena dia benci jarum suntik dan minum obat, maka dari itu, dia berharap ini bukan rumah sakit.

Matanya sangat berat untuk membuka. Seakan-akan dia sudah tidur lama. Badannya apalagi, beberapa mati rasa. Punggungnya selurus papan triplek. Pintu digeret. Naru menghafal jenis pintu ini sepertinya hanya ada di kamar rumah sakit. Ah, dia kesal bukan main.

Sekuat tenaga dia membuka mata. Seorang wanita berbicara, "Naru," suara ibunya yang khas akan kesedihan. Suara serak sehabis menangis. "Naru, ini ibu. Kau ada di rumah sakit. Katakan mana yang sakit. Ibu akan segera panggilkan dokter untukmu."

"Tidak." Naruto mengangkat tangannya, mencegah ibunya untuk pergi. "Aku benci dokter! Ibu tahu itu, 'kan?" ibunya kembali duduk, menggenggam tangannya kuat-kuat seolah takut kehilangan. "Aku ingat kejadiannya." Lanjutnya kemudian. "Hinata, setidaknya aku membutuhkannya di sini. Dia juga tidak boleh tahu kalau kakaknya berulah."

Kushina menggenggam lebih erat tangan putranya, ia menitikkan air matanya kemudian. "Terlambat," katanya, dengan suara yang amat parau. Sekuat tenaga Naruto membuka matanya. Ia memandangi ibunya cemas. "Hinata sudah tahu. Keluarga Hyuuga sedang menyesali perbuatan mereka."

"Tidak. Hinata dan Hyuuga tidak tahu apa-apa. Ini masalah pribadi kami."

"Tahu. Ibu sangat tahu."

"Bagaimana dengan Neji? Bagaimana dengan lelaki itu? Dia tidak melukai Hinata, 'kan?"

Kushina menggelengkan kepalanya. "Keesokan paginya dia langsung menyerahkan diri. Dengan badan berlumuran darah. Pria bernama Omoi menemukanmu ketika dia akan membuang sampah di belakang bar-nya. Kau tidak sadarkan diri dan hampir tidak tertolong karena kehabisan darah, juga suhu tubuhmu semakin turun. Kami berterima kasih padanya. Sungguh, bagaimana jika dia tidak menemukanmu di sana." Ibu menangis sejadi-jadinya. Wajahnya pucat dan tidak ada riasan tebal yang biasa ibu poles ketika keluar dari rumah.

Dari situ saja Naruto tahu, masalah penusukan itu membuat banyak orang hampir gila. "Aku ingin bertemu Hinata. Apakah dia baru pulang? Apakah semalaman dia mengambil jadwal untuk menunggu aku di sini?" ibu mendadak keluh, hanya memandangi dirinya sangat gelisah dan bergetar. "Terjadi sesuatu selama aku tidur berhari-hari?"

Ibu menggelengkan kepala. "Sebulan." Ibu seolah mengoreksi. "Kau sudah sebulan tidak sadarkan diri. Ini hari ke-31. Semua orang khawatir. Kau bahkan mengalami serangan jantung."

"Astaga, penusukan itu tidak separah itu."

"Kau bilang tidak parah? Kalau tidak parah mengapa kau sampai tidak bangun selama itu? Semua orang menunggumu terbangun. Kau hampir mati karena kehilangan darah. Suhu tubuhmu turun drastis. Kau hampir mati!" ibu menjerit histeris. Ayah kemudian masuk ketika mendengar teriakan dari ibu. "Mengapa kau sampai bilang tidak separah itu?"

Disusul kakek dan nenek kemudian masuk dengan wajah lega karena cucu mereka terbangun. Tapi Naruto bertanya-tanya dengan nasib keluarga kecilnya. "Hinata. Di mana dia?"

"Tidak ada yang namanya berurusan dengan keluarga Hyuuga!" nenek mendekat, marah, tentu saja. "Kami semua sepakat untuk mengakhiri hubungan kalian. Keluarga tidak tahu malu. Keluarga yang tidak tahu terima kasih. Mereka mencelakaimu. Kalian harus bercerai."

Naru menggelengkan kepalanya. Ia mengambil duduk susah payah kemudian, agar sanggup mengatasi masalah terberat yang akan dihadapinya. "Mereka tidak ada sangkut-pautnya!" kali ini bergantian dia yang berteriak. "Mereka tidak ada sangkut-pautnya dalam masalah ini. Ini masalah pribadi antara aku dan Neji. Hyuuga tidak tahu apa-apa. Apalagi istriku. Dia sama sekali tidak terlibat dalam hal ini."

Nenek mundur sembari meletakkan telapak tangannya di depan dadanya. "Astaga, astaga, astaga." Kata wanita itu gemetaran. Cucunya tidak pernah mengeluarkan suara sekeras itu, apalagi membentaknya. "Ini dampak dari kita memilih langkah yang salah. Dia membentakku sekarang."

Naruto terperangah atas ucapan neneknya. "Kau tidak pernah berubah," nenek meliriknya waswas. Siap menyemburkan kemarahan begitu cucunya selesai membentaknya. "Kau selalu menyalahkan orang lain. Kau selalu seperti itu. Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku. Kalian semua tidak akan pernah tahu penderitaanku dan mengapa aku bisa seperti ini!"

Tenaganya yang tersisa ia gunakan untuk menghancurkan sekitarnya. Mencopot slang infus hingga tangannya berdarah. Alat-alat medis. Humidifier pun tak tertinggal Naruto dorong sampai terbelah menjadi dua ketika benda itu membentur lantai.

Staf medis datang berusaha menenangkan Naruto. Meminta keluarga pria itu keluar. Tapi nenek masih syok, sehingga merasakan kakinya pun gemetar. Beliau melihat staf dokter memegangi setiap tangan dan kaki Naruto yang meronta. Salah satu dari mereka berteriak untuk meminta obat penenang.

Selang setengah jam kondisi aman. Dokter pribadi yang menangani Naruto menghela napas. Ia mengumumkan dengan senyuman yang mengembang. Tidak ingin menambah kekhawatiran. "Hal seperti itu biasa terjadi pada orang-orang yang mengalami serangan fisik. Saya akan menghubungi departemen psikiatri untuk memulihkan kondisinya. Jadi, Anda tidak perlu khawatir."

"Tidak perlu khawatir ketika cucuku seperti itu?" nenek melangkah maju, menghardik sang dokter. Tetapi putrinya memaksanya mundur dengan wajah ingin marah. "Aku sedang berbicara dengannya."

"Itu yang ibu bilang berbicara? Apakah ibu tidak merasa berdosa atas apa yang ibu lakukan? Coba jika ibu menahan kata-kata ibu, Naruto tidak akan semarah itu. Ibu harus menyadari satu hal, kalau Naruto baru siuman. Tunggu kondisi aman untuk memberitahu dia." Ibu mengambil napas untuk terus melanjutkan, sementara nenek tetap tidak terima atas nasihat putrinya.

"Naru sudah besar. Memiliki keputusannya sendiri. Seharusnya sebagai orangtua, kita bertanya padanya. Apa yang terjadi dan mengapa bisa seperti itu. Mengapa ibu terus mendesaknya hingga menuruti semua kemauan ibu! Mengapa ibu seperti itu pada anakku?"

"Kushina! Jaga ucapanmu!" nenek membentak sampai-sampai suaranya menggema di lorong. "Apa karena mereka temanmu, maka kau tidak suka kalau aku mengatakan hal yang sebenarnya? Keluarga tidak tahu diri itu berani menyerang cucuku. Coba kau pikirkan jika ahli waris—"

"Cukup!" ibu membalas berteriak. Suaminya bahkan tak berkutik. "Masih ibu lanjutkan? Apa aku perlu obat penenang juga? Supaya aku tidak berteriak ke muka ibu. Dari dulu yang ibu katakan tentang ahli waris dan lain-lain. Yang ibu katakan tidak mau kehilangan Naruto, tapi ibu tidak pernah memberikan kebebasan untuknya. Tolong, aku mohon, ibu, tolong cukup hanya aku saja. Jangan putraku."

"Mito, sebaiknya kita pulang." Kakek menyela, memaksa nenek untuk pergi dari sana. Tapi nenek tetap kukuh berdiri memandangi putrinya dengan wajah marah, masih tidak terima. "Kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Anak kita. Cucu kita. Mereka memiliki kehidupan masing-masing. Mereka sudah dewasa. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita tidak perlu lagi ikut campur."

Ibu berlutut, menangis di tengah lorong dan lagi-lagi suaranya menggema. Para staf rumah sakit yang berdiri di stasiun perawat terus mengamati pertengkaran keluarga mereka dan berbisik-bisik setelahnya.

Ayah ikut berlutut, memeluk ibu erat-erat untuk menenangkannya.

Sementara kakek dan nenek pergi dari sana. Tidak mau meneruskan keributan.

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang