BAB 4

1.4K 192 12
                                    

Aku lupa belum berterima kasih sama SenaAyuki dan Iis1993 karena telah mentraktir kopi, huhuhu, Saranghae ♥‿♥

□■□■□■□■□

Makan malam di ruang pribadi di Les Saisons, Imperial Hotel mengusung tema bistro. Sambil mengamati ruang makan itu. Hinata berpikir bahwa keluarga mereka akan berada dalam kecanggungan. 

Namun sebaliknya, ayah dan ibu seperti biasa berbincang-bincang, akan tetapi ayah tidak nyaman karena anak dari calon besannya justru datang terlambat. 

Hinata dapat melihat raut wajah masam ayah yang ditutupi senyuman palsu. Putrinya tentu saja menghafal semua gurat kecemasan itu. Apalagi ibu yang sudah menebak kalau pernikahan putrinya mungkin dalam bahaya, dipenuhi oleh drama-drama perselingkuhan. Tapi perkawinan bisnis tetap tak bisa dihindari. 

Sementara itu, ibu semakin mencurigai kehadiran Naruto Uzumaki yang terlambat memang penuh dengan kesengajaan. Sikapnya demi mendapatkan pandangan minus dari ayah dan ibu.

Di balik itu semua, ada yang jauh lebih gawat, jika mau mengingat kedai-kedai milik Hyuuga yang tersebar luas hampir di Jepang mulai gulung tikar.

Kakek telah berjuang mendapatkan dana investasi besar-besar supaya Hyuuga kembali bangkit seperti lima tahun silam. Kalau boleh Hinata menebak, bukan seluruh camilan itu tidak enak. Tapi konsep ketinggalan zaman yang terus dipertahankan membuat pengunjung jelas merasa bosan. 

Selesai dengan hidangan pembuka, pintu diketuk beberapa kali. 

Orang-orang di dalam ruang pribadi itu mengarahkan pandangan mereka ke arah pintu. Naruto muncul menunjukkan senyuman cerah. Hati Hinata kalang kabut. Ia mengambil air putih untuk membasuh tenggorokan yang terasa sakit dan kering. 

"Maaf, saya terlambat." Selesai membungkukkan badan, Naruto duduk di tempatnya, diapit oleh ayah dan ibunya di setiap sisi tubuhnya. "Selamat malam." Naru menyapa Hinata, yang hanya menganggukkan kepala sejenak untuk lelaki itu. 

Menu utama dihidangkan, terlibat diam bukan waktu yang tepat. 

Mereka semua masih bercengkerama satu sama lainnya. Membahas masalah bisnis mereka masing-masing dan apa yang dilakukan oleh mereka dalam sepekan belakangan ini. 

Sementara Naruto dan Hinata hanya diam di tempat duduk mereka. Keduanya lebih terlihat seperti anak-anak yang dipaksa oleh orangtua mereka untuk duduk dengan tenang dan hanya makan terus sampai mereka sendiri kenyang. 

Begitu Hinata dengan berani untuk membuka suara demi membangun hubungan yang baik. Pandangannya bertemu dengan mata biru indah itu. 

Hinata terkesima  mendapati Naruto ternyata memperhatikan dirinya dalam-dalam. Dada Hinata berdenyut. Mata biru Naruto sangat cerah ketika cahaya lampu menyoroti mata itu. 

Usai ketahuan tengah mengamati, Naruto tersenyum pada Hinata. Senyum ramah yang biasa ditunjukkan oleh pria itu kepada semua orang. 

"Aku yakin kita pernah bertemu," ibu Naruto melirik dan mencubit paha putranya. "Sakit, ibu!" bisiknya. 

"Dia teman sekolahmu. Dia juga teman satu kampus." 

Naruto mengamati kembali. "Iya, aku ingat." Naruto cemberut, ia sepertinya masih merasakan sakit, tangannya terlihat sedang mengusap di bawah meja. "Kalau kampus, terlalu besar. Jadi, mungkin kita jarang bertemu. Kalau sekolah, mungkin kita berada di kelas berbeda."

"Saat kelas satu, kita berada di kelas yang sama."

"Oh, benarkah?" 

Hinata mengangguk. "Bersama Sasuke dan Sakura juga." 

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang