BAB 11

1.5K 232 16
                                    

✿ PENGUMUMAN 

Dibuat bagi pembaca-pembaca baru di lapak ini. Yang merasa baru mengikuti akun saya atau cerita-cerita saya. Tolong, jangan membiasakan diri kalian meninggalkan komentar; next; lanjut; cepetan up-nya thor; dan kata perintah tidak manusiawi lainnya. Block adalah jalan satu-satunya, lebih sialnya kalau kumat gilanya, bakal banyak kata makian tersemat.

Sejak pertama kali saya membuat fanfiksi, saya selalu update setiap hari. Tolong, hargai saya. Walau kalian tidak bisa mentraktir kopi atau memberikan dukungan lainnya bahkan tidak sanggup memberikan vote sekalipun, tolong sekali lagi hargai saya jangan menuliskan kata keramat di kolom komentar. Kalau mood saya berubah buruk, sama saja kalian menghancurkan harapan pembaca lain untuk melanjutkan cerita ini.

Tidak bisakah di dalam kepala kalian itu memberikan komentar yang lebih baik dari sekadar itu? Kalau masih ada yang beranggapan bahwa itu termasuk komentar dukungan dan artinya sebagai bagian contoh ungkapan menyukai cerita saya, itu alasan terbodoh yang kalian punya. Karena komentar seperti itu sama sekali tidak membantu.

Kenapa saya tidak pernah lagi membuat pengumuman semacam itu berulang kali? Karena terdapat reader egois yang dikasih pengumuman yang sama malah memaki penulis fanfiksi balik dan tidak mau disalahkan atas keegoisan mereka sendiri. Entah orang itu sengaja memancing demikian atau memang primitif saja, hanya Tuhan yang tahu.

 ✿ SELAMAT MEMBACA 

■□■□■□■□■

Naruto datang lebih awal, walaupun makan malam di keluarga Hyuuga telah usai. Ayah terlihat tidak terlalu hangat untuk menyapa sementara kakek senang dengan kedatangan Naruto di rumah itu. Sebaliknya dengan Neji, pria itu meninggalkan begitu saja ruang makan, terbilang masih sopan untuk berpamitan menghindari yang namanya minum teh bersama.

Sepulangnya dari rumah Hyuuga, Naruto menghempaskan dirinya sendiri di atas kasur. Hinata menepuk kakinya pelan dan memerintahkan kemudian dirinya untuk pergi ke kamar mandi. "Sikat gigimu dan cuci mukamu sebelum tidur." Kata perempuan itu. "Seharian ini apa yang kaulakukan?" ketika Naruto berdiri dari duduknya, hendak masuk ke dalam kamar mandi, nada istrinya terdengar penasaran.

"Makan dan tidur. Sebenarnya seharian aku menunggu kau mengirim pesan," diam seribu bahasa, Hinata mendekati suaminya dengan rasa bersalah yang amat menyulitkan hatinya. "Aku tahu, kau pasti sibuk merangkai bunga dengan ibu. Kakek tadi memberitahu, kalau vas bunga besar yang baru saja diletakkan di ruang makan adalah hasil kerja keras kalian hari ini."

"Kami minum teh dan merangkai bunga," kata Hinata. "Kemudian aku memberitahu ibu soal kita." Mata Naruto berkedip-kedip. Ia tampak penasaran, ini soal apa. Mungkinkah pertengkaran mereka? Seolah-olah Hinata dapat membaca kekhawatiran suaminya, ia kemudian menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Bukan soal itu. Tapi tentang, mungkin saja kita dapat memberikan cucu untuk mereka dalam waktu dekat."

"Benar. Kita akan punya bayi. Kita juga harus memberitahu ibuku." Naruto tampak antusias.

Hinata mengusap lengan suaminya lembut. "Kurasa kita tidak perlu membicarakan program kehamilan pada orang lain. Kita akan memberitahukan kabar baiknya kalau kita benar-benar berhasil."

"Kapan itu berhasil?"

"Tentu saja ketika nanti aku hamil." Naruto mengangguk-anggukkan kepala. "Pergilah ke kamar mandi, setelah itu kita harus istirahat."

"Tidur?" Hinata kembali memutar tubuhnya menghadap suaminya. Mencermati secara dalam, apa maksud dari pertanyaan itu. "Kurasa kita harus membuat anak pertama." Berjalan perlahan, Naruto menangkap tubuh ramping istrinya kemudian. "Kalau berendam bersama dan melakukan sesuatu di kamar mandi bagaimana?"

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang