BAB 7

1.4K 206 16
                                    

■□■□■□■□

Hinata mulai menilai apartemen yang akan dia tempati bersama suaminya. 

Apartemen yang katanya dibeli menggunakan gaji pertama suaminya, berlokasi di jantung Roppongi. Hinata menyukai tempat sekecil ini. Satu-satunya balkon ada di ruang tengah hingga menyatu dengan dapur yang modern serta sederhana. 

Selesai menarik tiga koper besar masuk ke dalam apartemen mereka. Naruto melihat Hinata menyingkap tirai di balkon sambil meneliti tirai elegan berwarna cokelat muda dan tirai tipis sulam berwarna putih gading. 

Angin meniup helai rambut panjang Hinata. Memunggungi suaminya yang termenung di tempat, tak bergerak seolah terhipnotis oleh kecantikan dewi Yunani yang tak terkira. 

Sambil terus memikirkan segelintir arahan dari Sakura Haruno di dalam kepala; tentang Hinata adalah istrinya; perempuan itu akan menerima kekurangannya yang tak sekalipun bersikap dewasa dan mengerti kondisi apalagi situasi. Naruto lemah untuk membaca itu semua.

Satu-satunya teman wanita yang tahu bahwa dirinya seorang yang kekanak-kanakan adalah Sakura Haruno. Ketika ada saatnya mereka semakin dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, Sakura tidak sekali mengingatkan pentingnya untuk mencari orang yang jauh lebih mengerti dari perempuan berambut seindah permen kapas itu.

"Kau pasti berjuang membersihkan tempat ini," Naruto masih mengamati punggung Hinata, sementara perempuan itu terus-menerus memandangi pemandangan dari lantai dua puluh apartemen mereka. "Tidak mudah menata ruangan."

Naruto lebih mendekat. "Mm, sebenarnya Sakura yang menatanya karena dia tinggal di sini." Secepat itulah Hinata langsung membalikkan badan. Jadi maksud suaminya, tempat ini dulunya tempat tinggal Sakura? Dan suaminya membeli tempat ini untuk Sakura? "Dan, sekarang tempat ini—" Hinata menjauhi balkon. Naruto mengamati istrinya mengambil koper dan memasukkannya ke kamar mereka. "Sudah mau tata-tata baju?"

"Kalau tidak sekarang memang mau kapan?" 

"Apa kau tidak capek, tadi malam kau tidak benar-benar tidur, semalaman hanya membalikkan badan. Atau kau ingin makan sesuatu? Atau, kita membicarakan soal apakah kita siap mendapatkan bayi?" usai membuka koper, Hinata masih bergeming sambil berlutut. Menemukan situasi tidak biasa dari istrinya. Naruto terdiam di pinggir kasur. "Sepertinya kau belum siap. Dan harusnya aku tahu, kalau pernikahan bisnis seperti ini tidak pantas untuk membicarakan soal bayi. Kau menikah pun bukan karena mencintaiku, tapi karena kedai-kedai itu."

Hinata ingin membalik semua kata-kata itu. Namun ketika melirik ke arah Naruto, suaminya justru menunduk sedih. Hinata bertanya-tanya di dalam kepalanya, mengapa suaminya berlagak bagai yang tersakiti. Seandainya laki-laki itu mau mengerti, istrinya inilah yang merasa sangat sakit saat suaminya malah menyebut wanita lain di sepanjang waktu mereka bersama.

Akan tetapi, Hinata tidak dapat mengungkapkannya. Dia kembali menata pakaian mereka dan memasukkannya ke dalam lemari. 

Sebab Hinata berpikir, kalau percakapan ini diteruskan, kemungkinan besar bakal ada pertengkaran di antara mereka. Tentu saja waktunya tidak tepat mengingat mereka baru satu hari menjadi sepasang suami-istri. 

Maka sebagai perempuan yang lebih berpengalaman untuk mengalah, Hinata masih tetap mengalah dan diam saja, entah sampai kapan—sebelum bom atom yang berdamai di dalam kepalanya tidak tiba-tiba menghitung mundur.

■□■□■□■□

Tiga hari berturut-turut Naruto dimanjakan oleh masakan Hinata. Kadang-kadang mereka mengundang ibu untuk berkunjung ketika siang hari dan menghabiskan waktu untuk minum teh sambil menikmati camilan yang baru keluar dari oven. 

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang