BAB 1

2.8K 215 13
                                    

□■□■□■□■□


Kepingan 1; Jatuh Cinta

Seperti yang pernah Jimi Hendrix bilang; Cerita tentang hidup itu lebih cepat daripada kedipan mata, cerita tentang cinta adalah pertemuan dan perpisahan.

Hinata tidak pernah menyangka secepat ini dia tumbuh besar hingga perasaan semacam itu menyelusup ke hatinya. Semua orang pernah mengalaminya, jatuh cinta yang melibatkan pertemuan dan perpisahan.

Sejauh Hinata mengamati, anak laki-laki yang dia kagumi bisa berbaur dengan siapa saja. Keramahtamahan yang membuatnya bersinar di antara yang lainnya. Untuk seukuran Hinata yang pendiam dan penyendiri, kadang-kadang ia menyadari, ia termasuk orang yang tidak pantas disandingkan dengan si energik Uzumaki.

Sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang memabukkan sanubari, Hinata bersandar di bawah pohon belakang dekat lapangan bola yang penuh debu. Anak laki-laki itu berlarian. Matanya biru bersinar memancarkan kehangatan. Memeluk leher temannya dengan girang ketika satu tembakan bola melesat ke gawang lawan.

Hinata tersenyum dan terus mengamati dalam diam. Kalau dia yang dipeluk erat-erat seperti itu, sudah pasti akan pingsan.

Dengan keterpaksaan, Hinata kemudian bangkit untuk masuk ke kelas musik setelah nanti dilanjutkan ke klub merangkai bunga—ah, banyak sekali kegiatan yang diikuti olehnya, juga karena ingin menambah nilai, pastinya untuk menambah pengalaman. 

"Naruto! Kau tidak dengar ya, dari tadi kau disuruh ke kantor kepala sekolah!" 

Hinata menengok pada seorang anak laki-laki lainnya yang memanggil si pirang itu dengan berteriak. Mendesis kemudian sambil mengumpat, anak laki-laki lain itu menyerang Naruto dengan makian ganas tak sopan ketika si pirang hanya membalasnya dengan lambaian tangan.

Keelokan yang tak dapat terelakkan itu membuat Hinata membeku di tempatnya. Naruto yang berlari menyeka keringat seolah sedang menghampirinya dengan tersenyum ramah. Apa yang bisa dilakukan Hinata? Tentu tidak banyak, selain merasakan denyut nadinya yang naik-turun dan hal tersebut cukup menyiksa. 

Namun seribu sayang, si pirang energik itu melewatinya begitu saja tak melirik ke arahnya, menunjukkan pada Hinata status tak pentingnya yang hanya berani menjadi pengagum rahasia. 

Hinata menunduk memeluk buku musiknya. Rasa sedih menyerang hatinya di saat ia menyadari satu hal. Hinata tak seceria Sakura Haruno—gadis berambut merah muda yang terus menempel di sisi Naruto.

□■□■□■□■□

Kepingan 2; Hari Kelulusan

Di tengah hari kelulusan bahkan tak banyak yang Hinata dapat lakukan. Padahal ia ingin seperti anak gadis lainnya dengan berani; bertukar kartu pelajar; meminta kancing tengah seragam anak laki-laki; atau segala macam permintaan sebelum perpisahan.

Melainkan kini ia hanya duduk di kursi memandangi si energik yang memeluk seorang gadis berambut merah, membuat hati Hinata teriris. 

Ya Tuhan, sakitnya memang bukan main. 

Kecemburuan yang tak pantas itu menguasai dirinya. Hinata harusnya tahu diri ketika mereka tidak saling mengenal sekalipun, dan yang paling pertama membuatnya sakit memang hal itu.

Sementara temannya yang lain asyik untuk berswafoto sebelum perpisahan, Hinata tetap di tempatnya sambil memperhatikan sekitarnya. Kehadiran keluarganya bahkan sama sekali tidak membantu dirinya yang teramat kesepian.

□■□■□■□■□

Kepingan 3; Peron Kereta

Selama transportasi umum sangat nyaman, Hinata tidak akan menerima alasan ayah dan ibu mengkhawatirkan dirinya. Menggunakan sopir pribadi ke mana-mana memang bukan kebiasaannya. Sejak dulu, Hinata sudah berbeda dengan kakaknya yang lebih senang diantar tanpa mau berdesak-desakan di dalam gerbong kereta.

Fallen Heart [PDF] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang