i. bentuk cinta

4.2K 171 87
                                    

Nat's Note : Bahasa lokal, akan dibuka request di akhir cerita. Ingat ini oneshoot. Chapter 1 murni ideku, chapter depan terserah kalian mo request ide cerita kekmana, oke selamat membaca :)

.

.

.

.

.

Aku memarkirkan mobil ayahku. Kulihat bagaimana berbedanya suasana disini. Maka aku mengambil posisi berdiri di hadapan rumah baru. Lebih mungil dari yang lama, tapi aku rasa tempat ini akan membuatku lebih nyaman.

Lalu tidak lama kudengar deru mesin motor di belakangku. Ayah. Astaga, aku tidak habis pikir dengannya.

"Yah, ngerti gitu tadi aku tungguin aja rapatnya. Baru juga nyampe sini." Aku ngomel di depan abang g*jek yang masang muka minta bayaran.

"Sebentar ya nak. Sembilan ribu ya bang. Terimakasih."

Tap tap tap

Dapat kulihat wajah tua tapi tampan milik ayahku, ia terlihat bingung. Jangankan peduli ceramahku, helm g*jek aja mau dibawa masuk ke rumah.

"Pak pak, permisi mohon maaf. Helmnya, hehe."

"O-oh iya maaf. Aduh, tumben saya blo'on gini. Maaf ya bang."

Kulihat ayah mengembalikan helm itu kerempongan melihat bagaimana banyak berkas yang dibawanya sebagai oleh-oleh rapat besar. Ya, seperti inilah kehidupan ayahku dengan nametag yang melekat di seragam perusahaan resminya, Kim Seokjin.

.

.

.

"Joon, gimana rumah baru kita? Asik kan?" Ayah bertanya padaku yang tengah disibukkan membongkar beberapa kardus.

"Kenapa ayah minta pindah sih?" Celetukku.

Ayah terdiam. Mungkin pertanyaanku terdengar lancang.

"Ayah pengen aja balik ke suasana dulu."

"Dulu? Dulu yang mana?" Tanyaku bingung. Setahuku, dulu waktu aku kecil pun, kita sudah ditakdirkan hidup di suatu rumah besar, mewah dan tentunya terletak di daerah yang ramai seperti perkotaan.

"Sebelum ibumu meninggal. Tepatnya, waktu kamu masih ada di dalam kandungannya."

Dapat kusaksikan bagaimana perubahan garis wajah sang ayah. Kenapa jadi sedih begini? Ya, aku adalah anak pertama dan terakhir, memiliki takdir yakni dilahirkan tanpa melihat bagaimana cantiknya rupa ibuku. Maka seperti inilah, aku hidup berdua saja dengan sang ayah.

"Yauda deh, ngga usah baper gitu. Ayo bantuin ayah dekor ini rumah. Eh menurutmu gimana? Suka nggak sama rumah barunya?"

"Kecil sih yah, tapi aku ngerasa rumah ini suasananya lebih nyaman daripada yang lama. Kalo barusan tadi aku lihat-lihat, tetangga disini ramah ya?"

"Hm, disini mah, ayah berasa hidup. Nggak kaya disana, tiap harinya berasa social distancing, padahal juga corona dah mau tamat."

"Kenapa sih semua orang tuh pada bahas corona? Populer banget dia, siapa sih? Cantik nggak?"

"Woy! Ayo bantuin angkat barang-barang dapur. Ayah udah ngga sabar masakin kamu di rumah baru." Ujar ayah dengan tubuh tegapnya berjalan menaiki tangga bersama barang-barang berat.

"Widiih masakin makanan andalanku ya yah." Aku nyengir idiot. Eh, nyengir ganteng maksudnya.

"Yang mana? Kamu mah, semua makanan masuk mulut."

RV's Scrapbook (Open Request)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang