Warning ⚠️
Cerita ini hanya untuk pembelajaran bagi banyak perempuan yang hidup di pesantren. Harap bijak dalam membaca. Tak semua Ustaz itu bisa menjaga pandangan dan hati. Ia adalah laki-laki seperti laki-laki pada umumnya, punya nafsu dan perasaan. Oleh karenanya jagalah pandangan, kemaluan, hati dan raga dari yang bukan mahram.
"Jangan bermain dengan api asmara, jika kamu tidak sanggup terbakar"
****
Ketika Nabil berjalan di lorong menuju kelas, tanpa diduga dari arah berlawanan Lusi melangkah menggandeng lengan Imam. Jantung Nabil bertalu lebih cepat, ia berusaha tetap tenang.
Pasangan suami istri itu berlalu tanpa menyapa. Nabil merasakan hatinya teriris namun ia mengabaikan perasaan tersebut.
Setibanya di kelas anak-anak telah duduk rapih. Nabil mulai membuka pelajaran. Saat sedang menerangkan materi, dari jendela masih bisa terlihat, Imam dan Lusi boncengan motor keluar dari halaman sekolah.
"Bu guru. Saya hafalannya belum selesai." Suara cadel khas anak kecil membuyarkan lamunan Nabil.
"Oh, ya?" Perempuan itu terperanjat.
"Jadi, Bu guru jangan pergi dulu sampai kita selesai hafalan, ya." Mereka berkata kompak.
Nabila merenung, akhir bulan ia memang akan berangkat kuliah. Ujian tulis bahasa arabnya lulus seleksi, dan diterima di Universitas cabang timur di Indonesia.
"Gak, kok. Bu guru gak pergi." Nabil lebih memilih menenangkan anak-anak berwajah polos itu.
Bel istirahat berdenting, Nabil membereskan barang-barang, setelah jam istirahat ia tak memiliki jadwal mengajar.
Wanita itu melangkah ke kantor sekolah, bergabung dengan pengajar lain. Namun, sikap mereka, seolah tak suka dengan kehadirannya, perlahan Nabil pergi dan duduk sendiri di bangku luar.
"Dasar pelakor. Emang gak ada laki-laki lain apa. Selain Ustadz Imam." Bisik-bisik tertangkap oleh pendengaran Nabil. matanya panas, dada terasa sesak. Namun berusaha ia mengontrol perasaan.
"Iya, tuh. Amit-amit deh."
"Mungkin ia gak laku kali, makannya ngincar laki orang."
"Bisa jadi. Ustadz Imam sebenarnya gak suka sama dia, dianya aja keganjenan."
Tangan Nabil yang bertumpu di paha mengepal. Kedua matanya berlinang.
"Hay ... Nabil." Lelaki berkacamata duduk di hadapan Nabila. Menyadarkan lamunan gadis itu.
"Eh ... Dani." Bila segera memalingkan wajah, menyeka air mata.
"Kamu sebentar lagi akan pergi, ya. Masya Allah yang masa depannya cerah."
"Antum bisa saja." Nabil menyahut, dalam hati ia tak terlalu yakin bakal pergi jika mengingat Imam menjanjikan pernikahan.
***
"Kamu sudah berangkat kuliah, Nak?" Sabrina Ibunya Nabil bertanya dari sebarang telepon.
"Belum Mah." Nabil menyahut, jika mengingat uang saku yang ia pegang merupakan hasil ibunya meminjam dari tetangga, semangat Nabil kembali muncul. "In syaa Allah bulan akhir Mah."
"Yang irit ya, Nak. Semoga tercapai cita-citamu."
"Aamiin." Seperti tersentak Nabil hampir menangis, di kampung ibunya mati-matian mencari uang untuk biaya sekolahnya, tetapi ia justru melayani perasaan Ustaz ganjen yang kesepian.
Hari itu Nabil mempersiapkan keperluan untuk pergi ke Universitas, ia berusaha meneguhkan hati agar tak terayu omongan Imam.
Pulang dari mandi. Nabil memeriksa ponsel, dan melihat, 30 panggilan dari Imam terlewat. Gila memang lelaki itu.
Panggilan selanjutnya masuk.
"Ada, apa?" Tanya Nabil to the point.
"Kamu benar-benar mau pergi kuliah?"
"Iya," jawab Nabil, secepat itu berita akan kepergiannya tersebar, sampai kepada telinga Imam.
"Kamu tega ninggalin saya di sini?" Nada bicara lelaki itu sendu. Nabil menghela napas, memegang dada yang terasa kembali sesak.
"Kamu sudah menikah dan berisitri."
"Tapi kamu yang hanya saya cintai Nabil." Imam berkata tegas.
"Saya harus meneruskan cita-cita saya."
"Kalau kamu sampai pergi, tau-tau kamu telah jadi istri saya."
"Apa?!" Nabil takut. Bagaimanapun ia tak ingin menikah dini.
"Saya tinggal datangi orang tuamu, menyatakan niat, tanpamu akad pun tetap akan berjalan."
"Kamu gila, ya!" Nabil gregetan.
"Saya serius, Sayang, makanya, jangan pergi, saya mencintai kamu."
"Saya udah daftar kuliah dan harus pergi."
"Kalau begitu tau-tau kamu akan jadi istri saya."
Nabil termenung, dia tak mau cepat menikah, bahkan tak mau untuk saat ini. Membayangkan jika Imam jadi suaminya ia tak suka.
"Terserah kamu." Nabil berseru ragu.
"Saya mencintaimu Bil. Jangan pergi." Imam berkata lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ucapan Pria Beristri (Tamat)
RomanceMempercayai pria bersitri, sama saja dengan masuk ke dalam mulut buaya