8

3.1K 130 6
                                    

🕊🕊🕊🕊

Masih flash back ya

==========

Tibalah saatnya kelulusan itu, Nabil merasa berbahagia sekaligus lega, karena dapat lolos seleksi masuk Universitas, tak lepas dari proses yang melelahkan tentunya. Untuk menunggu sampai masuk kuliah, Nabil membantu mengajar terlebih dahulu di pondok.

Sehabis salat magrib, Nabil nimbrung dengan teman-teman berbuka puasa. Ada banyak teman angkatannya yang telah pulang, yang tersisa merupakan teman-teman pengabdian.

"Perasaan baru kemarin deh kita sekolah, tau-tau udah lulus saja." Humaira membuka percakapan.

"Iya, sedih tau mengingat masa-masa SMA. sepertinya kita masih pelajar aja ya."

Sambil memakan takjil teman-teman mengobrol sembari bernostalgia masa SMA, sementara Nabil sesekali ikut ngobrol, selebihnya mendengarkan perbincangan mereka.

Terdengar pintu diketuk dari luar, Alisa berdiri, berjalan menghampiri pintu.

"Ada, apa Silvia?" tanya Alisa.

"Itu Ustadzah Nabil dipanggil ke rumah Ustaz Hasbi." Silvia memberitahu lantas kembali pergi.

Nabila yang mendengar berita tersebut, langsung meraih jilbab dan kaos kaki.

"Dipanggil tuh, Bil. Mungkin mau dijodohkan." Alisa asal bicara namun sukses membuat Nabil tak enak hati.

"Yang benar saja, kau ini." Nabila menyahut sembari melangkah ke luar kamar.

Sesampainya di teras rumah Ustaz Hasbi, rupanya telah hadir Ustaz Imam. Nabil mulai merasa tak enak hati, namun ia tepis perasaan tersebut.

Ustaz Hasbi dan Imam duduk berhadapan di atas karpet saling mengobrol, menyadari kehadiran Nabila, kedua lelaki itu tak meneruskan ucapan.

"Bagaimana, kabarnya Ustadzah Nabila?" tanya Ustaz Hasbi setelah mempersilakan gadis itu duduk tak jauh dengannya.

"Alhamdulillah, Stadz." Nabila menyahut sembari menundukkan pandangan.

"Gimana? Ustadzah?" tanya Ustaz Hasbi sembari tersenyum.

"Gimana, apanya Stadz?" Nabila teramat hafal, pimpinan pondoknya, suka sekali bergurau.

"Masa nikahnya, ya kuliahnya lah." Ustaz Hasbi langsung menyahut sembari menahan senyum.

"Alhamdulillah, Stadz sudah diterima, tinggal berangkat."

"Bagus!" Ustaz Hasbi mengangkat suara. "Lebih baik berkuliah memang, masa depan akan lebih cerah."

Ustaz Imam ikut tersenyum, memandang sekilas Nabila.

"Jadi gak ada rencana lain gitu, selain kuliah?"

"Gak ada lah Stadz saya ingin belajar."

"Kalau begitu, Ustazah Nabila, silakan kembali ke tempatnya, semoga kuliahnya lancar."

Dua orang lelaki itu kembali berbincang, sementara Nabila, melangkah keluar dari teras Ustaz Hasbi.

***

"Saya ingin melamar Nabila Stadz." Imam menyatakan keinginannya, ia rasa inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan niat, sedari dulu dia menahan perasaan kepada gadis itu.

Ustaz Hasbi meneguk air, lantas berujar. "Ada Ustadazah yang lebih matang dibandingkan Nabila, yang selevel dengan antum Stadz."

Imam merasa tersinggung, apa maksud selevel tersebut?

"Saya hanya ingin menikahi Nabila, itu saja."

"Nabila baru lulus SMA, ilmunya belum matang. Ada beberapa nama Ustadzah yang siap menikah."

"Apa salahnya jika kita bertanya terlebih dahulu kepada Nabila, barangkali ia setuju menikah."

Ustaz Hasbi tersenyum, lantas memanggil pelajar yang lewat. "Panggilkan Ustazah Nabila!"

Beberapa menit kemudian, orang yang teramat dirindui Imam datang. Melangkah mendekat, semakin membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Sudah lama ia tak melihat Nabila semenjak kelulusan SMA gadis itu, hampir saja ia mendatangi rumah gadis itu untuk melamar.

Ustaz Hasbi bertanya beberapa pertanyaan dengan Nabila dan Imam hanya menyimak.

"Bagus!" Ustaz Hasbi mengangkat suara. "Lebih baik berkuliah memang, masa depan akan lebih cerah."

Imam merasa Ustaz Hasbi menyindirnya, dan seolah menegaskan ia tak pantas untuk Nabila. Imam memaksakan senyuman tipis menanggapinya.

"Jadi gak ada rencana lain gitu, selain kuliah?"

"Gak ada lah Stadz saya ingin belajar." Jawaban gadis itu membuat hati Imam teriris.

"Kalau begitu, Ustazah Nabila, silakan kembali ke tempatnya, semoga kuliahnya lancar."

Begitu Nabila pergi dari hadapannya, Imam merasa rendah diri dan sakit hati, Ustaz Hasbi seolah tak memperbolehkan niatannya melamar Nabila dan seolah dirinya tak pantas untuk gadis itu. Imam sungguh sadar, ia hanyalah santri yang dulunya yatim ditampung belajar di pesantren yatim untuk menghafal Qur'an. Tak pernah mengenyam pendidikan kuliah, karena tak sempat.

"Seperti yang antum dengar, anak itu mau belajar bukan menikah." Ustaz Hasbi menjelaskan.

"Bagaimana ia mau menerima saya, anda sendiri tak langsung berbicara ada yang melamar." Imam berkata dalam hati.

"Ada beberapa pengajar perempuan yang telah siap menikah, diantaranya Ustadzah Hasna, Lusi, Mardia, Latifah."

Fokus Imam buyar, yang ada dalam pikirannya hanya Nabila seorang.

"Bagaimana Stadz, antum mau coba dulu taarufan sama mereka?"

"Saya mau istikharah dahulu, Stadz." Imam menjawab kemudian pamit pergi.

***

"Ya Rabbku, Hamba mencintainya, berikanlah hatinya untuk hamba ya Allah, apalah daya hamba yang tak bisa menghalau pesonanya dari bayang-bayang. Tolong hamba ya Allah." Dalam tahajudnya Imam berdoa. Air mata mengalir di pipinya, membayangkan gadis itu pergi kuliah sungguh ia tak rela.

Setiap pagi Imam sengaja berjemur di meja bundar demi melihat Nabila lewat. Sekedar menyapa gadis itu, meskipun sapaannya tak digubris. Namun, kali ini, ia tak melakukannya, pria itu hanya memandang Nabila dari kejauhan. Benar kata Ustaz-ustaz itu gadis bernama Nabila itu terkesan angkuh, sehingga lelaki yang berniat baik juga mundur teratur, dan saat ini ia merasakannya.

Seorang perempuan berjilbab pashmina melintas di hadapan Imam, baru kali ini Imam melihat perempuan tersebut, atau karena matanya buta karena terlalu fokus kepada Nabila. Imam tersenyum menanggapi sapaan salam para guru perempuan itu.

"Itu Ustazah Lusiana Stadz, yang memakai pashmina ungu, sama dia saja." Abdan mengajak bercanda.

"Untuk saat ini, saya mau pamit pulang dulu." Imam menatap perempuan yang dimaksudkan Abdan.

"Lah, kenapa?" Abdan mengernyit.

"Karena, jika saya melihatnya tiap hari, hati ini sakit jika membayangkan penolakan halus itu." Imam berkata dalam hati. "Mencintai sepihak itu sakit."

"Tentu saja saya mau menemui ibu saya lah Stadz."  Imam menjawab, sembari tersenyum lembut.

"Oh, begitu."

Ucapan Pria Beristri (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang