Nabila membersihkan ruangan luas yang isinya tidak jauh dengan tempat pembuangan sampah. Pria Jepang itu memberikan keringanan soal DSLR yang ia pecahkan, ganti ruginya dengan membersihkan apartemen pria asing itu setiap hari.
"Satu bulan gaji kamu lima juta, DSLR saya harganya 150 juta, kamu kerja sebagai pembantu saya selama tiga puluh bulan." Akas yang duduk bertumpang kaki sembari memainkan DSLR barunya berkata.
Nabila tetap membersihkan remahan makanan di atas karpet, sebenarnya ia kaget mendengar kontrak kerja 30 bulan, namun, apa daya ia tidak punya pilihan lain, uang pun ia tidak punya untuk mengganti rugi.
"Mulai saat ini juga kamu harus tinggal di rumah saya, saya kasih kamu satu kamar, saya jarang berada di rumah, itung-itung kamu memelihara rumah saya dari angker." Akas menambahkan ucapan.
Pria tinggi bertubuh tegap itu melangkah menjauhi Nabila, membawa kamera di lehernya keluar rumah.
Barulah Nabila bisa meluruhkan badan, ia terduduk menyandar ke sofa.
"Jika dia bisa beli DSLR yang baru mengapa begitu kekeh minta ganti rugi ke saya, sih? E tapi apa yang saya rusak mesti diganti, bagaimana pun saya harus bertanggungjawab." Nabila bergumam sendiri, tidak ingin berlama-lama di ruangan tersebut, ia mempercepat bersih-bersih.
Setelah semuanya rapih, Nabila menyiapkan makanan dari bahan-bahan yang sengaja ia bawa, sekalian untuk menyambut pemilik rumah, meskipun ia tidak terlalu yakin, apa yang dimasaknya bakal dimakan oleh orang itu.
Nabila mulai menyantap hasil masakannya lahap, kerja seharian membuat tenaganya terkuras habis, dan sedari pagi ia belum makan apapun.
"Kamu makan tanpa ijin dari saya?"
Nabila terkejut, makanan di mulutnya termuntahkan, dilihatnya, Akas berdiri di sampingnya, menatap intens kepadanya.
"Eh iya ... Tuan, biasanya kalau pembantu makan juga kan di rumah majikannya. Sedari pagi saya belum makan, lapar sekali." Nabila nyengir sembari mengusap perutnya sendiri.
Akas menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Nabila.
"Sepertinya yang kamu masak enak, ya? Sudah lama saya tidak menikmati masakan hasil rumah." Pria Jepang itu menyuapkan nasi, wajahnya langsung berubah cerah.
"Wah ... Ini enak sekali, saya suka. Apa namanya makanan ini?" Ia bertanya sembari menunjukkan bulatan hijau kecil. "Ada hotnya juga."
"Itu namanya sambal petai Tuan." Nabila menjawab di sela makannya.
"Berapa umurmu?"
"Saya delapan belas tahun Tuan."
"Kamu tidak usah kerja lagi di kafe itu, selesai beres-beres rumah kamu bisa berkuliah tempatnya dekat dari sini."
"Kuliah kan butuh biaya." Nabila menghentikan gerakan tangannya menyuapkan nasi.
"Itu tak usah dipikirkan, yang mengajar dan mengadakan kelas saya. Itu kelas sastra, fotografi dan seni."
"Nanti saya pikirkan, sebab saya masih punya tanggung jawab."
"Tuan ... Jika saya tinggal di sini, bolehkah adik saya juga tinggal di sini jika adik saya liburan." Setelah beberapa detik saling terdiam, Nabila memberanikan diri berkata.
"Oh boleh ... Asalkan adik kamu tidak merokok dan minum alkohol."
"Oh tidak Tuan, dalam Islam hal tersebut dilarang."
"Tapi banyak orang Islam yang merokok dan mabuk."
"Itu salah orangnya bukan ajaran Islamnya, Tuan, mereka tidak patuh terhadap ajaran Islam."
Akas mengangkat bahunya. "Baiklah kalau begitu." Ia berujar.
***
Nabila menunggu di ruang tamu sembari memeriksa isi ponsel Nokia. Langkah kaki membuatnya menoleh.
"Bagaimana kabarmu, Dek?" Nabila tersenyum melihat adiknya terlihat semakin tinggi dan gemuk.
"Alhamdulillah ... Saya sehat, Teh." Zayn duduk di kursi samping Nabila.
"Ini uang saku buat kamu." Nabila menyelipkan uang tiga ratus ribu di tangan Zayn.
"Terima kasih, Teh."
Nabila mengeluarkan bekal makanan dan menyerahkan ke Zayn.
"Yang baik ya di pondok, jangan nyusahin Ustaz."
"Enggak Teh, tapi banyak santri yang nakal sama saya."
"Itu udah biasa, nanti yang seperti itu bakal jadi kenangan terindah saat lulus." Nabila menepuk pundak Zayn sembari tersenyum hangat.
***
Saat sedang memeriksa isi ponsel di kursi, Akas tiba-tiba saja duduk di samping Nabila membawa ransel besar.
"Saya mau bertugas jaga rumah baik-baik, ya."
"Iya Tuan." Nabila mengangguk.
"Kamu masih memakai ponsel jadul seperti, itu?" Akas melirik ponsel kecil Nokia yang Nabila pegang.
"Hehe adanya ini Tuan, ini juga terpaksa beli untuk berkomunikasi dengan wali santri dulu, di asrama, saya pernah mengajar di Asrama."
"Kamu pernah mengajar?"
"Iya."
"Mengajar, apa?"
"Inggris dan Arab Tuan, banyak sih."
"Kalau begitu, saya akan kirim anak-anak didik saya kesini untuk les bersama kamu setiap sore. Ada banyak anak Indonesia yang ingin bisa berbicara bahasa asing."
"Oh ... Boleh." Nabila mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ucapan Pria Beristri (Tamat)
RomanceMempercayai pria bersitri, sama saja dengan masuk ke dalam mulut buaya