Keikhlasan

0 0 0
                                    

Matahari menyambut kami di ufuk timur sana. Menandakan hari baru telah siap untuk dilewati. Dikarenakan hari ini aku bebas tugas, jadi aku berencana untuk mengajak Tere kencan. Yah walaupun kami belum mengesahkan hubungan, tetapi kurasa kami sama-sama telah mengetahui perasaan satu sama lain. Jadi sah-sah saja kan?

Selepas membersihkan badan, ku ajak Tere yang saat itu sedang mengobrol dengan Nadya. Kulihat ia senang-senang saja.

"Huh iya deh yang baru jadian mah. Gak ada traktiran apa-apa nih?" Kata Nadya meledek.

"Nanti ya kalo aku sudah jadi juragan minyak". Jawab ku ngasal.

Kami pun segera pergi ke sebuah taman kecil di kota Sansani. Walaupun pengamanan saat itu cukup ketat, namun jika kami tidak mencurigakan atau tidak memakai atribut Wiratra, maka aman-aman saja. Lagipula kami hanya berjalan-jalan, bukan mencari keributan.

"Mas, bisa kau buatkan aku puisi lagi? Jika waktu itu sore hari, maka aku ingin siang ini". Kata Tere tiba-tiba.

"Loh tumben, memang sekarang pukul berapa?" Tanya ku.

"Baru jam 11.28 sih". Jawabnya.

"Hmmm...kau bawa pulpen?"

"Ada kok, memang untuk apa?" Katanya seraya memberi pulpen.

"Untuk menulis lah, memangnya apalagi kegunaan pulpen". Jawab ku sambil menarik tangannya.

Hey bidadari
Jangan kau terlalu sempurna
Karena disini
Ada aku yang begitu terpesona

"Ih mas Langit bucin. Haha..." Kata Tere setelah melihat tulisan ku dilengannya.

"Lah orang kamu yang minta, lagipula kau memang pantas di bucin kan". Jawab ku malu.

Setelah puas melihat-lihat taman kota, kami pun memutuskan untuk makan siang di warung yang tak jauh dari situ. Dan mungkin saat ini lah waktu yang cocok bagi ku untuk melaksanakan janji ku ke ayah Tere waktu itu.

"Tere, boleh aku meminta suatu hal pada mu?" Tanya ku ke Tere disela-sela makan kami.

"Boleh kok. Apapun yang kau mau". Jawab Tere dengan ceria.

"Aku meminta mu untuk kembali ke keluarga mu, keluar dari Wiratra". Ujar ku ragu.

"Maksud mu apa? Bukan kah kita akan berjuang bersama? Kenapa malah menyuruh ku berhenti sekarang?" Kata Tere kaget.

"Aku tahu ini mengagetkan. Namun aku tidak ingin kau ikut demo 3 hari lagi. Aku ingin kau kembali ke keluarga mu besok". Jelas ku.

"Tapi kau tetap akan ikut demo itu kan? Kenapa aku tidak boleh?" Kata nya ngotot.

"Baiklah, aku akan berjanji. Demo 3 hari lagi itu, adalah  gerakan terakhir ku dalam Wiratra ini. Setelah itu aku ingin kita hidup bersama selama hidup kita. Bagaimana?" Kata ku menjelaskan.

"Tapi jika kau menyuruh ku pulang sekarang? Kau pasti tidak mengenal ayah ku mas. Ayah ku sangatlah keras kepala". Jawabnya mencari alasan.

"Yakin lah pada ku, ayah mu sudah berubah. Ia sudah jadi lebih baik saat ini. Kau percaya padaku kan?" Kata ku meyakinkan.

"Iya deh, tapi aku ingin kau melakukan satu hal dulu". Katanya.

"Apakah itu?".

"Kau yang mengantar ku pulang" katanya dengan senyum palsu.

"Iya, akan aku antar kau. Dan akan ku pegang janji ku tadi, tidak apa-apa kan?"

"Iya deh" jawab Tere pasrah.

Langit Yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang