Akhir

0 0 0
                                    

Terbangun aku disebuah ruangan sekitar 4×5 meter. Hanya terdapat sebuah lampu ditengah ruangan, juga meja dan 2 kursi yang berhadapan. Sepertinya aku tahu ruang apa ini, sebab aku pernah berada disini dulu. Tempat yang ku anggap sebagai jelmaan neraka. Seperti dulu pula, tangan ku terikat dibelakang. Tak bisa bergerak dan mulut terikat. Ini terasa seperti dejavu, dimana kenangan yang kuingat itu adalah kenangan hal buruk tentang siksaan.

"Langit Chandrakusuma, nama belakang mu itu seperti tidak asing bagiku". Kata seorang pria berbadan besar yang masuk ke ruangan tersebut.

"Katakan apa hubungan mu dengan Guntur Chandrakusuma?" Tanya nya mengancam.

"Mengapa kau bertanya itu hah?" Jawab ku melawan.

"Karena terakhir aku melihat nya, adalah saat-saat terakhir baginya". Katanya penuh teka-teki.

"Apa maksud mu? Apa yang kau lakukan pada ayah ku?". Tanya ku kesal.

"Kau tidak perlu menyadarinya sekarang, sebab sebentar lagi kau akan menyusulnya". Katanya tersenyum puas.

"Hasan Purnama, Lucas Raharja, dan juga Sapta Mulyadi. Mereka semua juga sudah tertangkap pagi tadi. Aku hanya memberi sedikit info siapa tahu kau ingin tahu". Kata pria itu.

Aku mendengarkan perkataannya dengan kesal dan pasrah. Tak ku sangka 3 teman dekat ku telah tertangkap. Tapi tadi ia tidak menyebutkan nama Nadya, artinya Nadya yang ikut dengan ku semalam belum tertangkap. Aku cukup bersyukur akan hal itu.

"Tapi sebentar lagi teman mu seperti Nadya, Intan, Zaid, dan juga Teree...."

Saat nama Tere disebut, mata ku langsung melihatnya dengan tajam.

"Wah ternyata benar, anak ini adalah kekasihnya Tere. Wah wah sungguh hal yang kebetulan". Katanya sambil tertawa.

"Tapi tenang saja, kami tidak bisa menyentuhnya karena ia anak menteri. Tapi tidak bisa secara hukum bukan berarti tidak juga secara langsung bukan?" Katanya seraya tersenyum.

"Bajingan kau". Teriak ku sembari berusaha bangun dan berlari mendorongnya.

Entah dari mana aku dapat kekuatan sebesar itu, aku berhasil mendorongnya hingga yang bersangkutan pun tersungkur. Kursi tempat ku terikat pun patah dan berserakan. Saat ku ingin melawan ia dengan sigap segera bangun dan menendangku. Aku dipukuli habis-habisan tanpa ampun olehnya.

"Sadari posisi mu sekarang ! Dasar anak dimabuk cinta". Katanya kasar sambil meninggalkan ku sendirian diruangan tersebut.

Badan ku remuk, seakan segala tulang di raga ini patah karena nya. Kepala ku pusing dan penglihatan ku mulai buyar. Sial, sudah waktu ku kah saat ini? 

Terbangun aku dengan tubuh kembali terikat rapat. Namun posisi ku tengah berada disebuah mobil jeep. Dua orang tengah mengapit ku dari kanan dan kiri. Tak lama mobil pun berhenti dan kami semua turun.

"Kemana ini?" Tanya ku lemah.

"Kau ingin tahu apa yang terjadi pada ayah mu kan? Mari ku antar kau menyusulnya". Jawab pria tadi sambil menarik ku dengan kasar.

Yang kulihat, ini hanyalah sebuah hutan berantara. Aku tidak tahu mengapa dan kenapa mereka membawa ku kesini. Namun hal yang bisa ku yakini dengan pasti, bahwa usia ku sudah tak lama lagi. Perasaan tak berdaya, perasaan pasrah akan keadaan. Itulah yang aku rasakan saat itu. Rasa yang lebih buruk dari kematian adalah rasa tidak adanya kemauan tuk melanjutkan kehidupan.

"Pukul berapa sekarang?" Tanya ku di tengah perjalanan kami.

"Untuk apa menanyai hal itu?" Tanya salah satu orang yang membawa ku.

"Hanya ingin tahu..." Jawab ku lemah.

Sampai lah kami ditepi jurang, dimana saat itu kaki ku sudah lemah sehingga dengan mudah mereka membuat ku tertunduk jatuh.
Salah seorang pria yang ada dibelakang ku pun berkata

"Sekarang pukul setengah 4 subuh, sudah puas hah ?".

"Yah ini lebih baik" ucap ku seraya kaki salah satu dari mereka menendang keras punggung ku.

Membuat ku terlempar jatuh ke jurang tanpa dasar itu. Berputar kembali memori yang selama ini telah menjadi alasan ku untuk hidup.

Maafkan aku bunda, maaf aku tidak bisa menepati janji ku untuk menceritakan segalanya pada mu. Maaf aku tidak bisa menemani mu dalam melewati hari tua mu nanti.

Maafkan aku Tere, maaf karena aku telah ingkar janji. Harusnya saat ini kita sudah hidup bersama, merancang keluarga kecil bahagia kita sendiri. Maaf aku tak bisa menjadi yang selalu ada bagi mu....

Semuanya...

Maafkan aku...

Langit Yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang