Terjatuh

1 0 0
                                    

Sang fajar belum tampak di ufuk timur sana. Tapi kami harus segera berangkat pulang ke markas Wiratra. Markas kami berada di pedalaman hutan pinggiran kota Sansani. Lokasinya cukup strategis dan tidak mudah ditemukan oleh aparat membuat kami menjadikan tempat itu sebagai markas pusat pergerakan. Kami pun sengaja berangkat sebelum matahari terbit agar tidak bertemu dengan aparat.

"Semua sudah siap Langit, ayo berangkat". Kata Hasan yang telah selesai mengecek bawaan kami agar tidak ada yang ketinggalan.

"Pak, terima kasih telah menjamu kami dengan baik. Maaf jika selama disini kami merepotkan". Kata ku kepada kepala desa.

"Tentu tidak merepotkan kok. Hati-hati dijalan ya". Kata kepala desa.

Kami pun memulai perjalanan kami kembali. Rute yang kami lewati cukup sulit. Kami terpaksa melewati medan dengan rintangan yang cukup berat karena kami ingin menghindari jalanan utama. Sebab saat ini, aparat kepolisian sedang gencar-gencar nya melakukan patroli.

"Ahhh....lumpur semua sudah kaki ku ini" Kata Intan mengeluh.

Maklum saja, semalam hujan deras turun. Membuat jalanan tanah yang kami lewati menjadi lumpur yang lengket dan kotor.

"Yasudah nanti aku bersihkan kaki indah mu wahai tuan putri". Jawab Hasan meledek.

"Ih apasih kak. Iya iya aku nggak ngeluh lagi deh". Kata Intan kesal.

Matahari pagi mulai menyinari bumi. Saat itu sudah pukul setengah 7 pagi. Sudah waktunya untuk sarapan. Kami memutuskan untuk berhenti dan istirahat sejenak disebuah warung kopi sembari menyantap gorengan pagi dan segelas kopi.

Tak lama datang lah 3 orang berambut cepak dan berbadan tegap. Tidak salah lagi mereka pasti dari aparat kepolisian. Seorang diantara mereka memakai kacamata hitam, jadi sebut saja ia Pak Buta. Dan 2 orang lainnya yang berbadan besar, sebut saja Pak Raksasa dan Pak Gendoruwo. Tak kusangka patroli dilakukan sampai seketat ini. Mereka pun duduk dikursi luar warung sambil melirik kami beberapa kali.

"Kurasa kita sudah dikenali Lang, bagaimana ini?". Tanya Zaid bisik-bisik.

"Sepertinya memang wajah tampan ku ini mudah dikenali". Kata Hasan.

"Masih bisa nya kau bergurau disaat seperti ini". Kata Tere yang nampaknya kesal dan gemas terhadap Hasan.

"Sudah-sudah. Jika terjadi sesuatu, maka sesuai aba-aba ku kita lari ke arah utara sejauh-jauhnya. Jangan tengok belakang, lari lah dan cari tempat persembunyian hingga sekiranya suasana kembali aman". Kata ku tegas mengingatkan.

Tiba-tiba saja si Raksasa pun pergi entah kemana. Hal ini membuat ku semakin waspada akan penyergapan tiba-tiba yang mungkin terjadi. Kulihat si Buta memasukan tangannya ke kantong jaket kulit yang ia kenakan seraya berdiri. "DIAM DI TEMPAT !!!" Kata si Buta dengan lantang dan tegas.

Tentu kami tidak menggubris kata-katanya.

"Sekarang!!!" Teriak ku dengan lancang.

Kami pun serempak lari dengan segenap tenaga yang kami miliki. Saat kami tengah sibuk berlari, si Raksasa yang ternyata sudah bersembunyi dibalik batu besar pun menyergap kami. Aku pun segera menghadiahkan ia sebuah tendangan tepat diwajahnya. Namun tiba-tiba si Gendoruwo meninju wajah ku dan membuat ku jatuh tersungkur.

Hasan yang tidak tega melihat sahabatnya dipukuli seperti itu pun segera berlari menolong. Ia mendorong si Gendoruwo hingga orang yang bersangkutan pun terpental. Aku segera bangun dan menarik Hasan untuk kembali lari. Saat itulah ku dengar suara tembakan yang lumayan nyaring, diikuti dengan teriakan Hasan yang menjerit kesakitan. Seketika kami pun berhenti. Si Buta berhasil menembakan pelurunya tepat di kaki kanan Hasan yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan tidak bisa berlari.

"Ini tak bisa dibiarkan."

Aku pun segera berlari menghampiri si Buta untuk menghujaninya dengan pukulan maut ku. Namun si Raksasa secara tiba-tiba berhasil menangkap ku dari belakang. Tenaganya sungguh kuat dan membuat ku tidak bisa sedikit pun bergerak.

"Langittt...." Terdengar teriakan Tere yang menjerit dengan kerasnya.

"Lariii.... Jangan hiraukan aku, Zaid kuserahkan padamu". Perintahku yang sambil meronta-ronta.

Hingga akhirnya si Buta menodongkan pistolnya tepat di depan wajah ku, aku mulai pasrah karena perlawanan kami akan sia-sia belaka. Hasan yang panik melihat ku ditodong begitu, segera mengangkat tangan dan menyerah kepada ketiga aparat sialan itu.

Yaa, kami kalah...

Tapi setidaknya aku berhasil mengulur waktu agar Tere dan yang lainnya bisa kabur. Karena jika ia sampai tertangkap, aku takkan pernah memaafkan diri ku sendiri. Mereka kemudian memborgol dan menutup mata ku dengan sebuah kain hitam. Aku masih mendengar suara erangan kesakitan dari Hasan. Sungguh tidak tega diri ku mendengarnya.

"Tenang Hasan kita akan baik-baik saja". Ucapku menenangkan.

Aku tidak tahu apakah Hasan ditutup juga matanya, namun yang jelas kami dimasukkan ke dalam sebuah mobil yang sama. Karena kami didudukan bersebelahan dan Hasan mengatakan pada ku bahwa kakinya terasa seperti dibakar. Aku marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya dapat pasrah, dibawa entah ke bagian bumi mana.

"Tidak apa asalkan dia baik-baik saja" ucapku dalam hati sambil memikirkan bagaimana caranya agar dapat terbebas dari masalah ini...

Langit Yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang