Aksi

0 0 0
                                    

"Bangun hey...tidur mulu kerjaannya". Teriak sebuah suara yang berdengung kencang di telinga ku.

Ah sial, tidak salah lagi ini pasti Nadya. Ia akan sangat cerewet jika aku bangun kesiangan, apalagi dihari yang penting begini. Ku bilang hari ini penting sebab besok adalah hari dimana kami akan melakukan demo besar-besaran. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa, tapi semoga saja membukakan jalan menuju revolusi yang diimpikan semua orang.

"Iya iya aku bangun, ngomong-ngomong dimana Hasan?" Tanya ku ke Nadya.

"Ia sudah menunggu mu dari tadi. Cepat sana siap-siap, mentang-mentang pujaan hati sudah tak disini kau jadi malas-malasan". Ujarnya sebal.

Aku hanya meringis mendengarnya. Lalu dalam beberapa menit sudah duduk nyaman lah aku di mobil berdua dengan Hasan. Hari ini kami berdua sedang menyiapkan rombongan mana saja yang akan ikut dalam demo esok. Kami mendatangi lagi beberapa desa yang sekiranya aman untuk di singgahi. Sedangkan yang tidak, kami kirimkan mereka surat untuk bersiap-siap. Hal ini dilakukan untuk mengecek kembali apakah desa-desa itu yakin ingin ikut demo atau tidak, karena kami tidak ingin ada yang mundur saat hari-H. Pekerjaan itu cukup ringan, sehingga tidak sampai jam 1 siang kami sudah selesai menyiapkan segalanya.

"Semua sudah beres Langit, kita makan dulu yuk sebelum pulang". Kata Hasan yang sudah keroncongan.

"Boleh, tapi sebentar ya. Aku ingin mengirim surat untuk seseorang". Jawab ku.

"Jaman sekarang kok masih surat-suratan. Dasar anak kuno". Kata Hasan mengejek.

Tapi memang sih cara ini kuno. Namun aku suka surat menyurat seperti ini karena akan lebih kerasa dalam mengungkapkan rasa. Setelah ku tulis sebuah surat untuk Tere yang isinya hanya meminta doa untuk keberhasilan gerakan esok. Dan semoga saja tidak ada bentrok atau kericuhan di demo besok. Yah walaupun kemungkinan itu sih kecil memang.

Keesokan harinya, tepat pukul 10 demo pun di mulai. Demo dimulai dengan gerakan menutup jalanan utama di kota Sansani. Pendemo saat itu baru berjumlah sekitar 300 orang dengan menggunakan 4 bis kota untuk menutup jalanan. Banner dan poster bertebaran dimana-mana, berisikan tentang aspirasi kami yang tentunya harus didengar oleh para penguasa negeri ini.

Kemacetan kota saat itu sudah tidak bisa dihindari, mengakibatkan polisi segera bertindak untuk mengamankan urusan demo tersebut. Beberapa polisi mulai menembakan gas air mata untuk membubarkan masa. Saat itu lah aku segera naik keatas sebuah bis kota yang terparkir disana. Dengan suara lantang dan toa yang menambah volume suara ku, ku teriakan dengan tegas

"AYO TUNJUKAN KEKUATAN MU !!!".

Saat itu lah sekitar 1000 orang datang dari berbagai arah. Mereka adalah orang-orang dari desa yang sudah kami minta bantuan beberapa hari sebelumnya. Mereka memang sengaja kami sembunyikan dahulu untuk memberi kejutan bagi para pak polisi yang haus gaji itu. Secara spontan, para polisi yang tadi sok berani dengan senapan air matanya mulai mundur karena takut akan banyaknya massa.

Saat itulah kami seperti berada diatas angin, sebab seperti tidak ada yang bisa membubarkan kami. Namun ternyata aku salah, ada hal yang telah kami lupakan padahal seharusnya inilah yang paling berbahaya jika tak kami perhatikan sejak awal.

"Hey berhenti, jangan rusuh !" Teriak ku kepada beberapa orang yang sibuk melempari para aparat dengan batu.

Penampilan mereka memang seperti warga desa lainnya, tapi terlihat betul bahwa gaya dan pembawaannya bergaya militer. Tidak salah lagi mereka adalah 'oknum' yaitu orang pemerintah yang sengaja ikut demo ini hanya untuk mengadu domba. Tujuan mereka adalah membuat situasi jadi tidak kondusif dan pihak pendemo lah yang akan disalahkan. Ini memang hal yang sering sekali terjadi, tapi sangat sulit pula tuk diatasi.

"Hasan, kau tangkap orang-orang itu !" Perintah ku pada Hasan.

Ia pun segera lari mengejar para oknum tersebut. Namun padatnya para pendemo, membuat oknum-oknum tadi dapat kabur dengan mudah. Sial, sebentar lagi pasti akan terjadi kerusuhan disini.

Dan benar saja, tak lama polisi kembali datang dengan gas air mata andalannya dan juga water cannon. Kami pun dipaksa mundur karena memang tak kuat menahan siraman kuat air tersebut. Beberapa barisan aparat juga mulai menyerbu kami secara terbuka. Berusaha menangkap orang yang dituduh sebagai provokator.

Ini adalah sebuah situasi yang berbahaya bagi ku dan para pemimpin lainnya.

"Semua nya ! Segera mun...." Belum genap kata-kata itu keluar dari mulut ku, seseorang telah menarik ku dengan paksa dan membuat ku jatuh tersungkur.

"Sssttt...jika kau teriak kau akan ditangkap, dasar bodoh !" Kata Nadya berbisik.

Tanpa menunggu lama ia segera menarik ku dan kami segera keluar dari keramaian.

"Kemana yang lain?" Tanya ku padanya.

"Teknik amoeba Langit. Kita harus segera membelah diri, berpencar agar tak tertangkap. Lagipula sepertinya mereka menandai mu Langit. Jadi sekarang kau sepertinya sudah menjadi target operasi mereka". Kata Nadya memerintah.

Aku segera paham situasinya sekarang. Memang sejak awal demo posisi ku lah yang paling berbahaya. Sebab aku di sana sebagai orang yang berteriak-teriak memberi arahan dari atas bis kota. Jadi wajar jika menjadi incaran dibanding yang lain.

"Jangan tengil dan hilangkan sifat sok jagoan mu dulu ya". Kata Nadya pelan.

Aku hanya bisa mengangguk dan kembali mengikuti nya menjauh dari kota. Kami tentu tidak langsung ke markas, melainkan ke tempat-tempat yang lain dulu untuk menghindari intel dan aparat yang mengejar.

"Kita aman disini, yuk makan dulu". Kata ku memberi saran.

"Kau memang selalu santai dalam menghadapi banyak hal ya". Kata Nadya tersenyum.

Kami pun segera makan untuk mengisi tenaga karena kami harus bersembunyi dahulu hingga esok hari. Sebab jika kami kembali ke markas hari ini, dikhawatirkan akan ada orang yang mengikuti. Ini sudah menjadi perjanjian dan juga perintah bagi setiap anggota. Karena kami tidak ingin lokasi markas kami bocor ke tangan musuh.

Langit Yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang