Titik Rendah

2 0 0
                                    

"BANGUN !!!" Teriak si Raksasa.

Ia membangunkan ku secara kasar dan menurunkan ku dengan paksa. Aku tidak tahu aku dimana, mungkin ada di markas atau pos jaga mereka. Terdengar suara kesakitan dari Hasan. Sialan, tidak lihat kah mereka bahwa Hasan sedang terluka. Kami digiring ke dalam suatu bangunan yang kuduga adalah markas mereka. Lalu masuk lah aku kedalam suatu ruangan yang dipenuhi oleh bau rokok yang sangat pekat.

"Dimana ini?" Tanya ku lemah.

Mereka tidak menjawab. Hanya memaksa ku untuk duduk lalu mengikat kedua tangan ku kebelakang. Saat kain penutup itu dibuka, mata ku terasa sakit akibat cahaya terang yang tiba-tiba datang menusuk. Perlahan mulai terlihat para aparat berwajah seram. Ruangan tempat ku diikat ini seperti ruangan introgasi, dimana hanya terdapat 2 kursi dan sebuah meja ditengah nya. Juga jam yang menunjukan pukul 2 siang.

Dihadapan ku duduk seorang introgator. Terlihat sekali bahwa ia berusaha tuk memasang wajah seseram mungkin.

"Langit Chandrakusuma, seorang sekertaris dari organisasi pemberontak Wiratra. Umur mu masih 22 tahun, tapi tingkah mu sungguh merepotkan". Katanya sambil memperhatikan ku dengan seksama.

"Nama ku adalah Letnan Johan Gunawan, kepala sekaligus penanggung jawab wilayah tenggara. Ini akan berjalan mudah jika kau menjawab pertanyaan ku dengan jujur dan jelas". Jelasnya dengan suara lantang.

"Ada maksud apa kau datang ke wilayah Tenggara?" Tanya nya dengan nada mengancam.

Jujur aku cukup lega dia bertanya begitu, sebab itu artinya dia tidak mencurigai Desa Atas yang baru saja kami tinggali.

"CEPAT JAWAB !" Tanya nya tak sabar.

"Kami hanya camping, tapi ditengah perjalanan uang kami dicuri orang sehingga kami pun terpaksa berjalan kaki". Jawab ku dengan asal.

Sebuah tamparan keras mendarat tepat dipipi ku. Ia terus melempar pertanyaan yang selalu aku jawab dengan asal. Tapi tetap saja setelah aku selesai menjawab, ia selalu menghadiahkan ku dengan tamparan atau pukulan. Tidak puas dengan siksaan seperti itu, ia mengambil sebuah batang yang memiliki ujung berserabut tembaga.

"Seperti nya kau tidak bisa dengan cara halus seperti tadi ya, kalau begitu mari kita sedikit main kasar". Katanya seraya menyetrum ku dengan alat tersebut.

Sialan, ternyata batang itu adalah alat penyetrum dengan tegangan cukup tinggi. Pertanyaan selanjutnya pun dilontarkan, bersamaan dengan setruman sialan itu...

Langit Yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang