Prolog

428 31 0
                                    

"Bagaimana kelanjutan dari perjanjian kita kemarin?" tanya pria berdasi merah yang sedang berdiri dengan wajah pucat

"Tergantung. Seberapa banyak yang telah Anda siapkan untuk kami."

Kemudian, pria berjas hitam yang menjadi lawan bicaranya melangkah perlahan menuju sofa di sudut ruangan, mengisap sebatang rokok yang dari tadi terselip di antara jemarinya.

"A ... apa jaminannya?" tanyanya lagi.

"Jika Anda masih meragukan kinerja kami, anggaplah perjanjian ini tidak pernah terjadi," ulas pria berjas hitam. "Saya mengerti. Anda akan mendapatkan hasil yang jauh lebih besar daripada apa yang Anda keluarkan."

Pria berdasi merah itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang terisi penuh. Dilemparkannya amplop itu ke atas meja.

Kemudian, pria berjas hitam menukar amplop tersebut dengan selembar kertas dan sebatang pena. Tanpa berkata apa pun, si laki-laki berdasi merah seakan-akan mengerti bahwa hal terakhir yang harus dia lakukan sebelum pergi dari tempat yang mulai membuatnya tak nyaman itu hanyalah meninggalkan sebuah tanda tangan miliknya.

"Anda tahu, tidak murah harganya untuk bisa mengambil hati manusia-manusia tidak berguna itu. Sayangnya, saya masih membutuhkan mereka untuk saat ini," ujar laki-laki berdasi merah.

"Bukan hal sulit untuk menyetir mereka," tandas pria berjas hitam.

"Jadi ... kapan kalian mulai bekerja?"

"Segera."

"Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya? Saya tidak ingin pekerjaan kalian justru mengancam posisi saya sekarang."

Seutas senyuman penuh arti telihat di bibir laki-laki berjas hitam yang kini sedang bersantai di atas sofa empuknya. Ini bukanlah pertama kali baginya menghadapi seseorang yang serupa dengan yang sedang dia hadapi saat ini. Namun, tuntutan profesi seakan mengubur semua emosi itu di dalam kewibawaan yang selalu diperlihatkannya.

"Tentang itu... bukan hak Anda untuk mengetahuinya," jawabnya dengan tenang. "Seperti yang telah saya beritahukan sebelumnya, Anda hanya perlu duduk manis di balik meja Anda dan ikuti permainan kami." Sebelah tangannya melambai ke arah dua orang laki-laki bertubuh kekar yang sedari tadi berdiri mematung di depan pintu. "Waktu kunjungan Anda hari ini sudah habis. Pengawal saya akan mengantar Anda ke tempat mereka menjemput Anda sebelumnya."

Dua orang laki-laki mendekati laki-laki berdasi merah dan menutup matanya, kemudian menuntunnya untuk meninggalkan ruangan.

***

"Anda tidak akan kecewa."

"Ya, terima kasih. Dengan begini saya merasa sangat terbantu."

"Beberapa hari ke depan, kami akan siap menyambut kedatangan Anda lagi untuk mendengar kabar baik yang akan Anda dapatkan segera."

"Saya sudah bisa merasa tenang sekarang, karena berkali-kali permohonan ini tidak kunjung mendapatkan perhatian dari pihak kepolisian."

"Lain kali, Anda tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan kami."

"Iya, sekali lagi terima kasih banyak. Kalau begitu, saya pamit."

"Silakan."

Seorang laki-laki setengah baya bermata sipit mengencangkan dasinya yang mulai mengendur. Rasa letih tampak jelas dari raut wajahnya, padahal jam dinding masih menunjukan pukul sebelas siang. Meskipun begitu, wibawanya seakan-akan tidak pernah hilang. Dengan sigap, tubuhnya merespon saat terdengar suara pintu diketuk. Laki-laki berkacamata dengan rambut ikal berdiri di baliknya. "Wah, jarang-jarang Anda berkunjung. Silakan masuk!"

"Tampaknya hari ini melelahkan sekali."

"Yah ... wajar saja, karena ini hari Senin dan klien yang datang lebih banyak daripada minggu kemarin." Pria sipit itu mengangkat gagang telepon yang ada di atas meja kerjanya. "Tolong antarkan dua cangkir kopi ke ruangan saya!"

"Rasanya tidak enak sekali datang pada waktu istirahat."

"Tidak apa-apa, karena tampaknya Anda membawa sebuah kabar penting."

"Saya ingin Anda melihat ini," ujar laki-laki berkacamata sambil menyodorkan setumpuk file.

"Data base kepolisian pusat?"

"Ya, entah sudah berapa lama sejak pihak kepolisian terakhir kali meminta bantuan kita. Saya pikir negara ini sudah menjadi semakin aman. Namun, ternyata saya salah. Tercatat bahwa angka kasus kejahatan semakin membengkak, begitu pula dengan kasus yang terabaikan karena tak kunjung terselesaikan."

"Tampaknya itu salah satu penyebab pekerjaan saya mulai bertambah berat akhir-akhir ini."

Sambil membuka-buka file yang ada, laki-laki bermata sipit itu meneguk kopi yang baru saja diantar ke ruangannya. Dahinya mulai mengernyit, menandakan ada sesuatu yang terbesit dalam pikirannya. "Entah hanya perasaan saya saja atau memang kasus-kasus yang ada menjadi semakin rumit?"

"Kau tahu, tidak semua orang di dunia ini menyukai ketenangan. Sebagian dari mereka justru hidup dari kekacauan yang terjadi. Di saat keamanan negara kita lengah, mereka benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Itulah mengapa kantor kita semakin ramai akhir-akhir ini."

"Tunggu dulu, maksudnya..."

"Ya, mungkin ini ulah mereka."

"Tidak mungkin!"

"Sebenarnya saya sudah tidak terkejut ketika mengetahui hal ini karena sejak lama sudah terpikir bahwa saat ini akan tiba. Namun, yang saya khawatirkan, apakah kita akan siap menghadapinya?"

"Anda tidak perlu khawatir, Pak. Kita memiliki orang-orang terbaik yang dapat diandalkan."

"Ya, saya tidak meragukan kalian semua. Namun, akan lebih baik jika kita merekrut lebih banyak anggota ke dalam organisasi kita ini."

"Hm ... ya, sepertinya itu ide yang bagus."

"Itulah alasan mengapa saya ada di sini sekarang. Namun, urusan itu bisa kita pikirkan belakangan. Untuk saat ini, cukup selidiki saja kasus-kasus yang ada. Firasat saya berkata bahwa kita akan segera bertemu dengan teman-teman baru."

"Ya, saya selalu yakin dengan firasat. Firasat selalu tepat."

"Oh iya, ajaklah seorang dari divisi tiga untuk menemanimu, ada beberapa kasus yang perlu kalian selesaikan."

"Baiklah."

"Dan ... misi kalian akan dimulai dari sini," ujar laki-laki berkacamata sambil menunjuk salah satu file yang tergeletak di atas meja. "Makassar!"

Project X: The New Beginning of Net Detective IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang