Study in Celebes

280 22 1
                                    

"Hei ... mengapa kamu terlihat begitu sedih, apa kamu tidak menikmati setiap hal yang saya lakukan padamu? Detik demi detiknya, tahap demi tahap ... " tanya seseorang dengan suara lembut. Walaupun lembut, suaranya penuh tekanan dan mengerikan, seperti dengkuran burung hantu di tengah malam yang sunyi. "Setiap jengkal tubuhmu begitu menarik dan setiap teriakan-teriakanmu begitu menggairahkanku," lanjutnya lagi menjilati bibirnya sendiri.

Seorang perempuan dengan tubuh penuh luka cambuk, gigitan, dan sayatan hanya menangis sesesungukan. Bahkan, untuk menangis pun dia sudah kehabisan tenaga.

"Mengapa kamu melakukan ini?" katanya dengan napas yang terputus-putus. Mata sembabnya menatap penuh iba kepada orang di hadapannya. Berharap agar dilepaskan, meskipun dia tahu semua harapannya adalah hal sia-sia.

"Plakk....!!" sebuah tamparan mendarat di pipi si perempuan, yang kemudian disusul dengan dua tamparan lagi. Wajah yang awalnya cantik sekarang mulai tidak berbentuk karena memar di mata dan pipi. Deretan giginya yang semula rapi mulai tanggal beberapa, keadaannya begitu menyedihkan.

"Kamu tidak punya hak untuk berbicara, Nona. Kamu hanya punya satu kewajiban, mengikuti permainan saya sampai saya puas. Kamu tahu, begitu tidak bergunanya teriakan dan tangisanmu. Itu hanya membuang-buang energi!" katanya sambil mendekati wajah si perempuan yang kembali menangis.

Tangannya mencengkram pipi si perempuan dengan sangat kuat. Air mata si perempuan kembali mengalir. "Ah...ekspresi itu... Tahan ekspresi itu, saya sangat suka melihatnya," katanya dengan senang.

Dia berjalan cepat ke belakang sambil bersiul membongkar tumpukan kardus di atas meja. Mengambil sebuah kamera, lalu berjalan kembali dengan senyum lebar yang ditujukan kepada si perempuan. Dengan cepat dia mulai mengabadikan raut wajah yang menunjukan ketersiksaan yang mendalam.

Kilatan-kilatan blitz menimpa wajah objeknya. Semakin keras si perempuan menangis, semakin senang pula dia mengambil gambarnya. "Bagus sekali, bagus, kamu adalah favorit saya. Yang pertama begitu gampang menyerah," katanya senang. "Ayo ... ayo ... jangan buang waktu, kita lanjutkan saja permainannya!" lanjutnya sambil menukar kamera yang semua digenggamnya dengan sebuah cambuk, beberapa ikat tali dan beberapa alat lain yang sangat mengerikan.

"Tidak... tidak.... saya mohon sudahi ini," ujar si perempuan lirih tanpa pernah dipedulikan oleh orang di depannya itu.

Hanya air mata yang bisa mewakili betapa menderita dan sakitnya yang harus dirasakan, tetapi semua air mata yang mengalir dan permohonan yang terucap, tidak membantu sedikit pun. Orang itu benar-benar tidak punya rasa kemanusiaan. Iblis! Mungkin sebutan itu lebih cocok untuknya.

***

Pada hari ini, kota Makassar tampak sama seperti hari-hari sebelumnya. Cerah, matahari menyinari begitu terik, tetapi tidak menghentikan orang-orang untuk berlalu-lalang dengan sepeda motornya. Sebagian yang berkecukupan merasa nyaman di dalam mobil-mobil mereka.

Kota ini terkenal dengan sebutan kota orang-orang yang keras. Entah apa maksudnya, mungkin mereka hanya menilai dari tayangan-tayangan televisi swasta yang menampilkan begitu brutalnya para demonstran jika sedang menjalankan aksinya. Bahkan, rumah makan yang tidak ada hubungannya dengan tema demonstrasi mereka pun akan kena batunya jika orang-orang itu bergerak. Jarang sekali masyarakat luar kota dapat melihat demonstrasi tanpa diakhiri dengan sebuah aksi kekerasan.

Bagiku sendiri memang seperti itulah yang terlihat jika ada aksi demosntrasi. Premanisme pun masih cukup merajalela di kota ini. Walau tentu saja sudah jauh berkurang dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Bagaimana pun, itu hanya secuil tampilan yang diketahui dari karakter asli orang-orang di kota ini.

Project X: The New Beginning of Net Detective IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang