Chapter 1

72.2K 2.9K 68
                                    

KAGET YA?! pasti enggak 👄

N : Semua alur cerita masih tetep sama, tp ada sedikit perubahan yg ngga banyak. Baca sampe bawah yaps, thanks 💓
*Saran: Baca ulang agar lebih nyaman, bcz ada beberapa nama tokoh yang diubah plus semua ini udah full dirombak lebih rapi dan enak dibaca.

⚜️⚜️⚜️

Sepasang mata itu secara perlahan terbuka, menampilkan bola mata yang bulat. Seorang gadis dengan balutan piyama mengerang pelan seraya bersembunyi dari sinar matahari yang menusuk penglihatannya. Rungunya seketika perih mendengar teriakan dari luar kamarnya.

"Bangun, Mora! Kamu mau telat berangkat sekolah?"

"Aku udah bangun, Bun."

"Mandi bebek aja. Sarapannya bisa-bisa dingin kalau kamu kelamaan."

Gadis berdarah campuran dengan nama lengkap Aurora Moranzy Caidos itu mendengkus sebelum mulai mengumpulkan kesadarannya yang masih di ambang-ambang. Sedikit menaruh rasa kesal pada Klaerra Maya– Bundanya.

Dengan malas matanya bergulir ke jam dinding. Sontak, dia terperanjat melihat angka jarum jam yang mengarah pukul tujuh kurang sepuluh menit.

"BUNDAAA! Kenapa nggak bangunin aku?! Aku telat ini!" Jeritan histeris Mora memenuhi seisi kamarnya. Hingga Klaerra, memasuki kamar sambil memegang sendok masak. Wanita itu menarik pelan cuping Mora.

"Bilang apa, hm? Daritadi Bunda terus panggil kamu tapi nggak dijawab? Salah siapa? Bunda?" oceh Maya dengan rasa kesalnya.

Bukan Klaerra yang salah, karena dari pukul setengah 6. Klaerra terus membangunkan Mora tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Dia terlalu sibuk untuk mendatangi langsung ke kamarnya.

"Ish. Tapi, kan, aku jadi telat bangun begini. Bunda sih nggak masang alarm."

Klaerra lantas membuang nafas dengan pelan. Lalu menatap putrinya selembut mungkin. "Sayang, inget tadi malem kamu habis apa? Maraton nonton film sampai pagi. Dan lihat, semua ini sisa-sisa snack yang belum kamu bersihkan. Untuk urusan alarm, bukannya kamu sendiri yang rutin setel? Kenapa jadi Bunda?"

"Iya, ya? Kalau gitu, maaf, Bun. Maklum aku baru bangun." Mora menyengir kuda.

Klaerra geleng-geleng. "Tunggu apa lagi? Mandi!"

"Astaga. Iya-iya," ujar Mora kelabakan.

🃏🃏🃏

Mora sudah berpenampilan rapi. Dia memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal. Terakhir Mora memoles bedak tipis, lipbalm dan menyemprotkan parfum dengan harum segar. Perfect, batinnya.

Mora keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan langkah santai. Setelah libur selesai, perasaannya kembali bersemangat. Dengan memilih sekolah baru yang populer dikalangan para remaja. Sejujurnya, bukan tanpa alasan dia pindah. Pekerjaan ayahnya yang diharuskan untuknya berpindah-pindah sekolah maupun tempat tinggal.

SMA Camphione, cukup menyita rasa penasarannya. Sebab, dari sekolah-sekolah yang pernah Mora tempati. Sekolah ini katanya berbeda dari yang lain. Alhasil, sekolah inilah yang menjadi pilihannya dari rekomendasi-rekomendasi ayahnya.

Mora duduk di kursi makan berhadapan dengan kakak tertuanya. Lantas menoleh ke sang Ayah, Agleer Jeron Caidos.

"Ayah yang anter Mora, kan?"

Agleer yang baru saja meletakkan cangkir kopinya, menoleh sekilas ke arah putrinya. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

"Nggak, Ra, maafin Ayah. Hari ini Ayah ada panggilan klien di kantor. Jadi, Naresh yang akan anter kamu," jawab Agleer tak enak hati.

"Lho? Aku nggak mau sama Abang. Dia naik motor hobi ngebut, Yah." Mora mendesah kecewa setelah mendengar jawaban Agleer.

Naresh Zandres Caidos, kakak laki-laki Mora. Ikut menatap adiknya dengan senyum jail. Laki-laki itu selalu menyukai ekspresi sinisnya. Bukan rahasia lagi bagi keluarga Caidos, kalau Naresh sering memacu motor besarnya dengan bar-bar. Dia lebih suka mengendarai motor dibanding dengan kendaraan beroda empat. Alasannya karena motor mudah menyelip.

"Kamu tenang aja. Pasti Ayah omelin kalau dia berani ngebut." Agleer mengusap kepala Mora lembut. Sembari mempringati Naresh lewat tatapannya.

Mora mendengarnya hanya mencibik. "Kamu mau telat?" tanya Naresh seraya menenteng tas Adidas bercorak birunya.

Mora kontan melahap roti yang tersisa di tangannya. Mulutnya menjadi penuh. "Ra, buruan. Sebentar lagi terlambat."

"Iya, iya. Bawel banget, deh," gerutu Mora.

Setelah memastikan Mora duduk di jok belakang, Naresh mulai menghidupkan mesin motor. Tanpa ancang-ancang, dia menancap gas dalam. Membuat Mora nyaris terjungkal kebelakang jika dia tidak sigap memegang jaket Naresh.

Helaian rambutnya berakhir beterbangan mengikuti arah angin. Naresh yang meliriknya lewat kaca spion, tertawa pelan dibalik helmnya.

"NARESH! Pelanin motornya!"

"Nggak bisa, Ra. Kaki Abang stuck gini. Gimana dong?"

Mora memandang penuh kekesalan di belakang sana. Menyumpah serapahi Naresh dalam hati. Lima menit berlalu, mereka memasuki pelataran parkir gedung sekolah. Mora bisa melihat dari tempatnya berpijak bahwa sekolah ini berukuran terlewat besar.

"Jadi kelas aku ada di mana?" tanya Mora celingukan.

"Lihat mading. Di sana ada daftar nama-nama siswa." Selepas itu, Naresh meninggalkan Mora sendirian.

Mengedikkan bahu, Mora berjalan menyusuri lorong sembari mencari letak keberadaan mading. Setelah menemukannya, dengan cepat dia mencari namanya yang tertulis jika kelasnya berada di lantai 4.

"Duh, yang tabah kaki. Jauh banget kelasnya." Sepanjang jalan, Mora menggerutu sebal.

Sepi.

Itulah pendapatnya. Lantai 4 sangat berbeda jauh dari lantai 1 dan lainnya. Sepanjang lorong sunyi dan sedikit temaram. Ntah, memang rata-rata murid di sini lebih condong pendiam, atau lainnya. Tetapi, Mora tak memusingkan perihal itu. Dia mencari letak kelasnya, setelah menemukannya dia mengetuk pintu.

Tungkai Mora melangkah pelan sembari melihat isi kelas. Banyak siswa-siswi yang mencari tempat untuk mereka tempati selama berjalannya proses belajar. Dan kali ini, Mora sangat tidak beruntung.

Hanya tersisa kursi paling belakang yang kosong, terpaksa dia berjalan ke meja yang terletak dipojok ruangan. Mora menengok teman sebangkunya. Gadis itu tersenyum singkat melihat seorang laki-laki yang menduduki bangku sebelahnya.

"Hai. Boleh kenalan? Aurora Moranzy. Nama kamu siapa?" sapa Mora ramah.

Laki-laki itu melempar senyum sambil membetulkan kacamatanya. Setelahnya menerima uluran tangan Mora. Kedua matanya naik, saling bertabrakan dengan iris mata yang pernah didambakannya.

ᨆᨈᨉᨊ
TBC.

HALOO! Aku serta tokoh-tokoh Agaamora kembali lagi nih 😬.
Tenang aja! Aku penuh kerja keras bgt (🤢) ngembangin cerita ini lebih hidup dan gak boring kayak sebelumnya ༎ຶٹ༎ຶ

Silakan yg mau hujat, kolom komentar terbuka bebas 😂

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang